Mongabay.co.id

Aturan Baku Mutu Air Limbah PLTU Batubara Bisa Bahayakan Laut

Dua orang anak berjalan di kawasan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Cirebon I di Desa Kanci, Astanajapura, Cirebon, Jabar, pada awal Maret 2017. Menurut Greenpeace, PLTU berbahan batubara berpengaruh pada kesehatan karena mencemari udara karena asapnya mengandung polutan berbahaya. Foto : Donny Iqbal

 

 

 

 

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) pada awal Desember 2018, mengkaji peraturan-peraturan yang berfungsi sebagai sarana pengendalian kegiatan PLTU batubara supaya tak merusak lingkungan. Hasil analisis mengungkapkan, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (PermenLH) No.8 /2009 yang menetapkan baku mutu air limbah untuk pembangkit listrik tenaga termal termasuk PLTU batubara sangat longgar, dan bertentangan dengan aturan lain.

Untuk itu, perlu penguatan kebijakan dengan membentuk peraturan baru khusus baku mutu air limbah PLTU batubara yang dibuang ke laut. Tujuannya, memberi jaminan perlindungan bagi ekosistem pesisir dan laut.

Temuan itu ditanggapi Direktur Jenderal Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, MR Karliansyah. Karliansyah bilang, tak perlu aturan baru, karena PermenLH No.8/2009 sudah mengatur batas maksimum baku mutu air limbah yang boleh dibuang ke lingkungan.

Jika mereka minta izin membuang limbah ke laut, izin pembuangan air limbah harus ada kajian pembuangan air limbah ke laut,” katanya, seperti dikutip dari Kompas, 6 Desember 2018. Dalam penilaian ICEL, kajian pembuangan air limbah dibuat supaya air limbah yang dibuang dapat memenuhi baku mutu sesuai PermenLH No.8/2009. Apabila, baku mutu terlalu longgar, kajian pun tidak akan mampu meminimalisasi dampak PLTU batubara terhadap ekosistem pesisir dan laut.

Masalah ini harus jadi perhatian serius karena dalam rencana umum penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2018-2027, kontribusi PLTU batubara 54% dari target bauran energi Indonesia pada 2025. Dari PLTU batubara yang sudah beroperasi dan akan dibangun dalam memenuhi target energi itu, 82% berlokasi di wilayah pesisir. Besaran PLTU batubara di wilayah pesisir mengakibatkan potensi kerusakan ekosistem pesisir dan laut makin mengerikan.

Dengan begitu, baku mutu air limbah sesuai PermenLH No.8/2009, tak cukup kuat sebagai acuan baku mutu air limbah PLTU batubara yang dibuang ke laut. Aturan itu merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah No.82 2001 soal pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air. PP ini, tak mengatur air laut hingga aturan menteri yang dibuat pada 2009 itu tak tepat sebagai acuan bakumutu air limbah PLTU batubara yang dibuang ke laut.

 

Dermaga PLTU Labuan II. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

Lemahnya perlindungan PermenLH No. 8/2009 juga terlihat dari penetapan baku mutu suhu limbah bahang yang tak dapat mendukung terpenuhinya baku mutu air laut yang ditetapkan dalam KepmenLH No.51/2004. PermenLH No.8/2009, memperbolehkan limbah bahang dibuang ke laut dengan suhu maksimal 40oC. Sementara KepmenLH No.51/2004, hanya memperbolehkan peningkatan suhu air laut tidak lebih dari 2oC. Kalau dilihat dari suhu rata-rata air laut di Indonesia, bekisar pada 29,5oC, maka kenaikan suhu air laut tak boleh lebih dari 31,5oC. Pembuangan limbah bahang dengan suhu terlalu tinggi berpotensi meningkatkan suhu air laut secara permanen.

Universitas Diponegoro melakukan penelitian pada 2014 di PLTU Tanjung Jati B Jepara menunjukkan, suhu air laut akibat limbah bahang PLTU meningkat hingga 34,5oC dan menyebar sampai 4.709 meter. Penelitian serupa juga dilakukan Universitas Hasanuddin terhadap perairan di sekitar lokasi PLTU Jeneponto pada 2014. Sejak beroperasi tahun 2005, suhu air laut awalnya 28oC-29oC meningkat jadi 29oC-33,4oC. Perairan di sekitar lokasi PLTU masuk dalam kategori pencemaran sedang dan cukup/berat sampai pencemaran berat.

Peningkatan suhu air laut akan berdampak krusial terhadap ekosistem pesisir dan laut. Stephen L. Coles dalam “Marine Management and The Sitings of Electrical Generating Stations on Tropical Shorelines,” menyebutkan, kenaikan suhu 3oC-5oC mengakibatkan kematian bagi organisme laut. Sementara kenaikan suhu 2oC-3oC berdampak kronis, misal, menghambat metabolisme dan fotosintesis.

 

 

Logam berat
PermenLH No.8/2009, sangat longgar dalam menetapkan parameter logam berat dari air limbah. Ada parameter-parameter logam berat penting yang tak ditetapkan untuk sumber kegiatan tempat penyimpanan batubara. Bahkan untuk sumber kegiatan flue gas desulfurization (FGD) sistem sea water wet scrubber tidak ditetapkan parameter logam berat sama sekali. Padahal, FGD tidak hanya mengandung sulfur juga logam-logam berat dari batubaranya.

Selain itu, PermenLH No.8/2009, juga tidak menetapkan baku mutu air lindi untuk sumber kegiatan tempat penyimpanan dan penimbunan abu batubara. Air lindi mengandung logam berat yang berpotensi mencemari ekosistem laut.

Minimnya penetapan parameter logam berat dalam aturan itu menyebabkan logam berat masuk ke laut dalam jumlah tidak terkontrol, akhirnya mengancam kualitas air laut, ikan-ikan, dan kesehatan manusia.

Melihat permasalahan-permasalahan ini, jelas aturan itu tidak bisa mencegah dampak kegiatan PLTU batubara terhadap lingkungan pesisir dan laut. Pemerintah, dalam hal ini KLHK hendaknya bisa segera membentuk peraturan baru khusus baku mutu air limbah PLTU batubara yang dibuang ke laut. Peraturan khusus ini, terutama mengatur tentang berbagai isu itu.

Peraturan baru ini untuk menciptakan perlindungan hukum yang kuat terhadap ekosistem pesisir dan laut serta melaksanakan amanat UU No.32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

 

 

Keterangan foto utama:      Dua orang anak berjalan di kawasan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Cirebon I di Desa Kanci, Astanajapura, Cirebon, Jabar, pada awal Maret 2017. Menurut Greenpeace, PLTU berbahan batubara berpengaruh pada kesehatan karena mencemari udara karena asapnya mengandung polutan berbahaya. Foto : Donny Iqbal/ Mongabay Indonesia

 

Perkampungan padat warga dekat dengan PLTU Labuan. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version