Mongabay.co.id

Tumpang Tindih Perizinan Sulitkan Nelayan Kecil Melaut, Apa Solusinya?

Sekelompok nelayan di pantai Depok, Yogyakarta. Foto : Wisuda/Mongabay Indonesia

***

Nelayan kecil pemilik kapal berukuran dibawah 10 GT di Flores Timur (Flotim), Nusa Tenggara Timur (NTT) mengeluhkan tumpang tindihnya perizinan kapal dan perikanan sehingga menyulitkan mereka untuk menangkap ikan di lautan.

Sesuai dengan UU No.17/2008 tentang Pelayaran dan UU No.45/2009 tentang Perikanan mewajibkan kapal yang berlayar memiliki Surat Persetujuan Berlayar (SPB). Sedangkan penerbitan SPB (port clearance) sesuai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.3/Permen-KP/2013 dan Permenhub No.82/2014 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Persetujuan, disyaratkan dokumen Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI).

Padahal dokumen SIUP, SIPI/SIKPI sesuai Permen KP No.30/MEN/2012 pasal 12 dikecualikan bagi nelayan kecil, pemerintah, pemerintah daerah atau perguruan tinggi untuk kepentingan pelatihan dan penelitian/eksplorasi perikanan.

Sementara dalam UU No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan dan Petambak Garam pasal 1 ayat 4 menyebutkan bahwa nelayan kecil adalah nelayan yang melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang tidak menggunakan kapal penangkap ikan maupun yang menggunakan kapal penangkap ikan berukuran paling besar 10 GT.

Dengan peraturan itu maka nelayan kecil seharusnya tidak perlu mengurus Surat Laik Operasi (SLO). Permasalahannya nelayan kecil harus memiliki Surat Persetujuan Berlayar (SPB) untuk melaut. Dan syarat pengurusan SPB, harus sudah memiliki SLO.

baca : Pemerintah Harus Tepati Janjinya untuk Pangkas Proses Perizinan Kapal Perikanan

 

Kapal nelayan sedang membongkar ikan di pelabuhan PPI Amagaparapati, Larantuka Flores Timur, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indoensia

 

Dilema Nelayan

Sekretaris DPD Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Nusa Tenggara Timur (NTT) Wham Wahid Nurdin kepada Mongabay-Indonesia akhir Desember 2018 mengatakan kapal nelayan diwajibkan mengurus SPB  kecuali SLO.

“Kapal ukuran 10 GT tidak perlu SLO karena tidak miliki SIUP, SIPI/SIKPI sesuai peraturan menteri. Tapi mereka juga harus urus SPB dan syarat urus SPB harus sudah mengantongi SLO. Ini persoalan yang kami hadapi,” ungkapnya.

Bila kapal di bawah 10 GT tidak mengurus SLO maka saat mereka menangkap ikan kualitas ekspor seperti Cakalang dan Tuna maka tidak bisa menjualnya ke perusahaan.

Dokumen tentang hasil tangkapan itu ada di dalam SLO. Ini yang membuat nelayan dilema. Ada kapal di bawah 10 GT yang mengurus SLO dan SPB dan ada juga yang tidak.

baca juga :  Tata Kelola Kapal Perikanan Masih Amburadul?

Sedangkan Apolinardus Y.L. Demoor, dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Pemkab Flores Timur (Flotim) menjelaskan dari operasi rutin tim terpadu yang beranggotakan DKP,TNI AL, Polair dan WCS, menemukan kebanyakan nelayan tidak memiliki SIPI, SLO dan SPB. Sehingga DKP Flotim memberi waktu nelayan yang tidak memiliki dokumen mulai mengurusnya hingga akhir Desember 2018.

“Kapal nelayan di atas 10GT wajib memiliki semua dokumen yang dibutuhkan termasuk SLO dan SPB. Untuk kapal di bawah 10GT memang tidak ada kewajiban (SLO dan SPB) karena adanya Permen KP tersebut,” kata Apolinardus.

menarik dibaca :  Nelayan Kecil di Sikka Masih Urus Surat Laik Operasi. Kok Bisa?

 

Kapal lampara dengan bobot diatas 10 GT sedang bersandar di PPI Amagarapati, Larantuka, Flores Timur, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

  

Harus Lewat Agen

Ketiadaan Syahbandar Perikanan  yang bertugas di Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Amagarapati Larantuka, Flotim, menyebabkan kapal nelayan khususnya yang berbobot di atas 10GT mengharuskan mengurus SPB melalui agen yang ditunjuk Unit Penyelenggara Pelabuhan (UPP) Larantuka.

Pice Dasanto, nahkoda kapal Nelayan Bakti berbobot 13GT menjelaskan kepada Mongabay-Indonesia bagaimana mengurus SPB di 3 kantor agen terdaftar yang kantornya berada di dalam areal pelabuhan Larantuka.

“Sekali urus SPB biayanya Rp150 ribu tapi kalau ada surat ukur atau pas besar mati maka harus membayar Rp300 ribu lagi,” sebutnya.

Pice mengaku berulangkali mencoba mengurusnya langsung ke kantor UPP Larantuka namun diarahkan harus melalui agen, tidak boleh langsung ke kantor syahbandar.

UPP Larantuka beralasan agen membantu mengurus SPB bila nelayan melaut sampai malam. Tapi kenyataannya Pice pernah mencoba mengurus pada malam hari, kantor agen juga tutup. “Kami nelayan tentu bingung dan merasa dirugikan dengan ulah syahbandar,” sesalnya.

Pice merasa dipersulit oleh kantor UPP Larantuka, seperti tidak diberi kuitansi bukti mengurus SPB dan terkadang petugas yang tidak ada di kantor, padahal nelayan sudah keluarkan biaya dan waktu.

Kalau setiap hendak melaut harus urus SPB dengan biaya Rp.150.000, kata Pice, nelayan  keberatan karena gaji mereka sebagai ABK hanya Rp.1juta/bulan, sedangkan biaya SPB sebulan sebesar Rp.4,5 juta.

Padahal dalam aturannya, lanjut Pice, tidak ada biaya mengurus SPB. Tetapi petugas UPP Larantuka mengatakan ada biaya. “Ini membingungkan. (Biaya) ini bisa dikatakan pungutan liar kalau diaturannya tidak ada biaya,” ucapnya.

Pice juga mengeluhkan adanya biaya bila mengurus melalui agen dan terkadang prosesnya lama karena menunggu pengesahan dari petugas syahbandar.

baca :  Cerita Tragis Para Nelayan Penyelam Kompresor

 

Kapal nelayan sedang bersandar di perairan Waibalun, Larantuka, Flores timur, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Sementara Salma, dari kantor agen yang biasa mengurus SPB PT. Rahmat Setia Keluarga dan PT. Masako mengakui biaya mengurus SPB sebesar Rp.100 ribu dan biaya jasa keagenannya Rp.50 ribu. Dan ada nelayan yang masih belum melunasi biaya pengurusan SPB.

“Kami tidak memaksa nelayan untuk dibantu mengurus SPB. Kapal barang dan penumpang juga mengurus di kami tapi tidak ada yang protes,” jelas Ina dari kantor agen lainnya kepada Mongabay-Indonesia, Jumat (18/1/2019)

Dari data yang ada, terdapat 149 kapal berukuran 5-9 GT dan 171 kapal berukuran 10 – 30 GT terdiri dari kapal lampara dan pole and line di Flotim selama 2018. Rata-rata kapal di atas 10 GT masuk kategori sehari melaut (One Day Fishing).

Bila rata-rata setiap kapal di atas 10 GT rutin setiap hari mengurus SPB dengan biaya Rp.150 ribu maka nelayan mengeluarkan biaya Rp.4,5 juta/bulan dan Rp36 juta bila melaut maksimal 8 bulan. Belum lagi pemasukan biaya SPB kapal dibawah 10 GT meski tidak wajib.

baca juga :  Kapal Berukuran Kecil Lakukan Praktik Perikanan Ilegal?

 

Kapal purse seine atau Lampara berukuran di atas 6 GT sedang membongkar hasil tangkapan ikan di pelabuhan TPI Alok Maumere, Sikka, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Tidak Wajib

HINSI NTT, jelas Wham sudah melaporkan permasalahan ini, langsung ke Menteri Kelautan dan Perikanan. Setelah dilaporkan ke Ombudsman provinsi NTT, nelayan tidak diwajibkan urus SPB melalui agen.

Permasalahan serupa dialami nelayan di kabupaten lainnya di NTT karena ketiadaan kantor syahbandar perikanan terdekat. Nelayan pun bisa melaporkan bila ada pemaksaan kepengurusan SPB baik oleh pihak kantor syahbandar maupun agen.

Wham mengatakan pihak UPP Larantuka juga harus transparan dengan memajang biaya kepengurusan SPB di kantor syahbandar agar nelayan tahu.

Kepala Perwakilan Ombudsman NTT Darius Beda Daton yang dihubungi Mongabay-Indonesia membenarkan pihaknya telah menerima pengaduan permasalahan kepengurusan SPB dari nelayan dan pemilik kapal.

Ombudsman, lanjut Darius, telah melakukan pengecekan lapangan dan menkonfirmasi  permasalah ke beberapa pihak. Hasilnya akan diserahkan ke UPP Larantuka.

“Kami masih melihat lagi dasar hukumnya sebab hal ini juga terjadi di beberapa kantor Ssyahbandar. Kalau agen kankhusus untuk kapal-kapal besar. Kalau kapal-kapal kecil seharusnya tidak melalui agen,” tutur Darius.

Sedangkan Kepala UPP Larantuka Simon Baon yang ditemui Mongabay-Indonesia menyarankan pemilik kapal yang mengurus SPB agar mengurus SLO di PPI Amagarapti dahulu.

Simon menjelaskan pihaknya menempatkan petugas di pelabuhan Waiwerang Adonara sehingga seharusnya nelayan dari Pulau Solor dan Adonara tidak perlu ke Larantuka. Simon menyarankan kepada DKP Flotim untuk menempatkan petugas pengurus SLO di pelabuhan Terong Waiwerang sehingga nelayan tidak perlu mengurus ke Larantuka.

Soal mengurus SPB melalui agen, Simon mengatakan nakhoda kapal bisa mengurus sendiri bila tidak terdapat perusahaan pelayaran. Bila ada, maka perusahaan pelayaran yang mengurusnya.

“Tapi kalau tarif jasa pengurusan kami tidak berwenang. Saya juga panggil perusahaan pelayaran agar bisa membantu para nelayan dengan membayar dengan harga yang tidak mahal,” tuturnya.

Simon mengakui kantornya mengurus SPB pada malam hari ketika ada nelayan datang pasca terkena operasi penertiban tim terpadu.

menarik dibaca :  Perkasa di Depan Kapal Asing, Susi Pudjiastuti Kesulitan di Depan Kapal Dalam Negeri

 

Para perempuan dan anak-anak yang berada di kapal purse seine usai menjual ikan hasil tangkapan di TPI Alok Maumere, kabupaten Sikka, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

  

Beri Kemudahan

Solusi permasalahan kepengurusan SPB sebenarnya telah disepakati bersama antara Ombudsman NTT, HINSI NTT, KSOP Kelas III Kupang, Kantor Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Kupang dan DKP Pemprov NTT.

Dalam surat kesepakatan bersama yang dibuat (16/5/2017) tersebut, dijelaskan  pemilik kapal perikanan dapat melaksanakan pengurusan surat-surat kapalnya secara langsung atau memberi kuasa kepada pihak lain.

KSOP Pelabuhan Kelas III Kupang pun wajib membuat maklumat pelayaran yang berisi standar pelayanan untuk masing-masing unit pelayanan dan menempatkannya di lokasi yang mudah diakses publik. Serta menyediakan unit pengaduan pelayanan publik.

“Untuk Kupang, bagi kapal yang one day fishing Pole and Line maupun Lampara ada kesepakatan SPB berlaku hingga 7 hari baru diurus lagi. Kalau kapal one day fishing SPB dikeluarkan setiap hari kalau mau melaut lagi maka sulit mengurusnya,” sebut Sekretaris HINSI NTT.

Rinto Fernandez, Kepala Kantor Satwas PSDKP Flotim pun sependapat. Pihaknya pun telah menghimbau nelayan mengurus SLO dan SPB.“Kami sudah rapat bersama dengan TNI AL, Polair dan  DKP Flotim. Disepakati untuk memberi SLO dengan jangka waktu 7 hari. Ini kebijakan lokal,” sebutnya.

Rinto menyesalkan kapal-kapal nelayan di pulau Solor dan Adonara banyak yang tidak mau mengurus SLO dan SPB, karena jauhnya jarak ke kota Larantuka dan tidak ada niat dari nelayan kecil.

Untuk nelayan kecil di bawah 10 GT, Satwas PSDKP Flotim lebih fokus kepada pembinaan. Selama 3 kali ditemui tidak miliki dokumen akan diberi tahu, tetapi setelah itu langsung diambil tindakan hukum.

***

Keterangan foto utama : Sekelompok nelayan di pantai Depok, Yogyakarta. Foto : Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version