Mongabay.co.id

Kematian Merry, Buaya Pemangsa Manusia, Pelajaran untuk Tidak Pelihara Satwa Liar

***

Buaya muara bernama Merry, dalam dua minggu belakangan, menjadi topik pembicaraan utama di media massa maupun media sosial di Sulawesi Utara. Buaya berukuran 5 meter dan berat mencapai 600 kilogram ini diduga memangsa DT, kepala laboratorium perusahaan mutiara yang berlokasi di desa Ranowangko, kabupaten Minahasa. Seminggu berselang, di lokasi berbeda, giliran buaya Merry ditemukan tak bernyawa.

Salah satu kronologis kejadian menyebut, korban DT terpeleset dan jatuh ke dalam kolam ketika hendak memberi makan buaya. Selepas menyaksikan jasad terapung dalam kolam, beberapa saksi di lapangan segera melapor pada aparat kepolisian setempat, Jumat (11/1/2019).

Begitu mendapati informasi, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulut langsung mendatangi lokasi kejadian keesokan harinya. Di sana mereka menyaksikan konstruksi kandang buaya yang tidak ideal. Ukuran kandang terbilang kecil, dianggap tidak layak sebagai tempat hidup buaya. Kemudian, ketiadaan pagar menunjukkan tingkat keamanan yang rendah.

baca :  Pembunuhan Ratusan Buaya di Sorong Lanjut ke Proses Hukum, Berikut Foto-foto dan Videonya

 

Buaya muara bernama Merry diduga memangsa seorang manusia berinisial DT, kepala laboratorium perusahaan mutiara di desa Ranowangko, Minahasa, Sulut, Jumat (11/1/2019). Foto : BKSDA Sulut/Mongabay Indonesia

 

Selain itu, pemilik perusahaan mutiara disebut tidak memiliki izin untuk memelihara buaya. Padahal, beberapa waktu sebelum kejadian, pihak BKSDA Sulut mengaku sempat memperingatkan untuk memperbaiki konstruksi kandang serta mengurus izin.

Bahkan, menurut Hendrieks Rundengan, sekretaris BKSDA Sulut, pihaknya bersama korban sempat bersepakat untuk mengevakuasi satwa liar itu. Namun, hingga hari yang ditentukan, kesepakatan tersebut gagal diwujudkan.

“Sebenarnya kami sudah beberapa kali menghimbau korban untuk menyerahkan satwa tersebut. Kemudian menghimbau juga, kalau mau memelihara harus urus izin untuk penangkaran,” terangnya kepada Mongabay-Indonesia, Selasa (22/1/2019).

“Petugas juga pernah menyarankan untuk menambah pagar keliling karena kondisi kandang itu berbahaya untuk anak-anak. Sempat juga ada kesepakatan untuk mengangkut satwa itu. Tapi, tiba di hari yang disepakati, korban menolak.”

baca juga :  Ngeri! Diduga Mangsa Warga, Dua Ekor Buaya Dibunuh di Aceh Singkil

Dikatakan Hendrieks,  berdasarkan PP No.8/1999 tentang Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar, buaya muara bisa ditangkarkan tapi harus mengurus izin. “(Bahkan) setelah mengurus izin, ada juga aturan-aturan lain. Beberapa mitra BKSDA Sulut yang mengurus izin (penangkaran), misalnya, kami minta untuk mencari tahu standar kandang yang ideal untuk satwa,” lanjut Hendrieks.

Hingga kini, pemilik perusahaan berkewarganegaraan Jepang itu masih dalam pengejaran aparat kepolisian. Jika terbukti melanggar ketentuan hukum, khususnya pasal 21 UU No.5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosisemnya, ia akan dijerat sanksi pidana maksimal 5 tahun penjara dan denda Rp.100 juta.

menarik dibaca :  Buaya Masuk Permukiman Warga, Pertanda Apakah?

 

Buaya muara bernama Merry diduga memangsa seorang manusia berinisial DT, kepala laboratorium perusahaan mutiara di desa Ranowangko, Minahasa, Sulut, Jumat (11/1/2019). Merry akhirnya mati seminggu kemudian. Foto : BKSDA Sulut/Mongabay Indonesia

 

Penyerahan Buaya

Senin (14/1/2019), berlangsung proses evakuasi buaya Merry untuk dipindahkan ke Pusat Penyelamatan Satwa Tasikoki (PPST). Namun, rencana berubah karena kandang buaya di PPST penuh, sehingga petugas harus mengevakuasinya ke kolam air Manggala Agni BKSDA Sulut di kelurahan Batuputih, Bitung.

“Kami berencana bikin kandang transit. Jika kandang-kandang di tempat konservasi penuh, ada kandang alternatif sebelum dipindahkan ke tempat yang lebih layak. Memang, saat ini, kami belum punya kandang transit khusus untuk buaya,” lanjut Hendrieks.

Sejak kejadian buaya yang diduga memangsa manusia, sejumlah warga mulai menghubungi BKSDA Sulut untuk menyerahkan secara sukarela satwa liar yang mereka pelihara. Hingga pertengahan Januari ini, BKSDA Sulut telah menerima 4 ekor buaya, termasuk buaya Merry.

baca juga :  Musim Penghujan, Buaya Muara Berkeliaran di Desa Catur Rahayu

“Pertama buaya dari Likupang, kedua Mapanget, ketiga Ranowangko (buaya Merry) dan yang keempat dari desa Teling. Kemudian, ada juga penyerahan 3 ekor Macaca dari kecamatan Tombariri,” terang Hendrieks.

Dia meyakini, pesisir utara dan selatan Sulut merupakan habitat alamiah buaya. Dalam kurun beberapa waktu, BKSDA pernah menerima laporan temuan buaya di wilayah pesisir utara, di antaranya pesisir Molas, Amurang, Arakan dan Bolaang Mongondow Utara.

“Kami juga mendapat informasi, di pesisir bagian selatan, di daerah Kotabunan dan Kombi juga ditemukan buaya. Jadi, bisa dibilang, pesisir bagian utara dan selatan adalah habitat buaya.”

Karena itu, masyarakat yang menyaksikan buaya di habitatnya dihimbau untuk mengutamakan keselamatan diri dan berhati-hati. “Paling utama, menghindari. Satwa itu umumnya takut pada manusia. Kalau merasa terganggu baru mereka menyerang. Kedua, jika telah mengetahui habitat buaya, masyarakat harus lebih berhati-hati,” Hendrieks menghimbau.

menarik dibaca :  Buaya Senyulong Langka Muncul di Hutan Harapan Jambi

 

Tim dari BKSDA Sulut, PPST, dan dokter hewan melakukan nekropsi pada bangkai buaya muara bernama Merry dan menemukan potongan tubuh manusia dalam perutnya pada Senin (21/1/2019). Foto : BKSDA Sulut/Mongabay Indonesia

 

Kematian Buaya Merry

Minggu (20/1/2019), buaya Merry ditemukan mati, diduga karena stress dan melemahnya kondisi satwa. Selain itu, berdasarkan informasi dari tim dokter hewan, buaya Merry diduga mengalami heatstroke, meningkatnya suhu tubuh akibat terpapar sinar matahari dalam waktu lama.

“Indikasi awal, dari teman-teman dokter hewan, karena kondisinya drop, stres dan heatstroke. Tapi mereka (tim dokter) telah melakukan nekropsi dan mengambil organ tubuh, yang sedang dalam proses pemeriksaan di laboratorium, di Maros,” tambah Hendrieks.

Ketika melakukan nekropsi, Senin (21/1/2019), tim BKSDA Sulut, PPST, dan tim dokter menemukan potongan tubuh manusia dalam perut buaya. Setelah itu, mereka menguburkan bangkai buaya Merry di kawasan Taman Wisata Alam Batuputih, Bitung.

Melalui kejadian ini, BKSDA Sulut berharap masyarakat yang memelihara buaya segera menghubungi pihak berwenang untuk segera melakukan proses evakuasi. Karena, konstruksi kandang yang tidak sesuai bisa membahayakan pemelihara dan orang-orang di sekitar kandang. Selain itu, manusia berpotensi tertular penyakit yang diidap oleh satwa liar, begitupun sebaliknya.

“Selain berpotensi seperti kejadian kemarin (buaya memangsa manusia), ada juga potensi penyakit zoonosis, yang diidap satwa kemudian tertular pada manusia,” pungkas Hendrieks.

 

Exit mobile version