Mongabay.co.id

Bedah Visi Misi Lingkungan Capres dan Cawapres, Seperti Apa?

Hutan alam yang beralih fungsi menjadi kebun sawit. Foto: Junaidi Hanafiah/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

 

Pada 17 April 2019, Indonesia akan memilih presiden dan wakil presiden periode 2019-2024 serta pemilihan anggota legislatif. Dua pasangan calon berlaga. Nomor urut satu, Joko Widodo-Ma’ruf Amin, dan kedua, Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno.

Kedua pasangan calon sudah menyerahkan visi misi mereka ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), beberapa bulan lalu. Dari sana, publik bisa melihat dan mengkritisi dokumen visi misi, termasuk khusus sektor lingkungan, seperti dilakukan Yayasan Madani Berkelanjutan.

Baca juga: Kado Hari Tani 2018: Presiden Tandatangani Perpres Reforma Agraria

Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan dalam diskusi bersama media di Jakarta beberapa waktu lalu mengatakan, analisis visi misi paslon Jokowi-Ma’ruf terkait isu lingkungan dalam lima fokus, yakni pengelolaan hutan dan gambut berkelanjutan, ketimpangan penguasaan lahan, penegakan hukum, perlindungan dan pengakuan hak masyarakat adat, serta energi terbarukan.

Pasangan nomor urut satu ini merangkum visi misi dalam dokumen Nawacita plus 1 dengan sembilan sub bahasan. Pertama, peningkatan kualitas manusia Indonesia. Kedua, struktur ekonomi produktif, mandiri, dan berdaya saing. Ketiga, pembangunan merata dan berkeadilan.

Baca juga: Kementerian Agraria Mulai Distribusikan Lahan Bekas HGU

Keempat, mencapai lingkungan yang berkelanjutan. Kelima, kemajuan budaya yang mencerminkan kepribadian bangsa. Keenam, penegakan sistem hukum bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya. Ketujuh, perlindungan bagi segenap bangsa dan memberikan rasa aman kepada seluruh warga.

Kedelapan, pengelolaan pemerintahan yang bersih, efektif dan terpercaya. Kesembilan, sinergi pemerintahan daerah dalam kerangka negara kesatuan.

Khusus misi keempat, Jokowi-Ma’ruf, memaparkan tiga program aksi dan 13 butir kebijakan fokus pada tata ruang terintegrasi, mitigasi perubahan iklim, penegakan hukum dan rehabilitasi lingkungan.

Baca juga: Dua Tahun Molor, Perda Masyarakat Adat Ammatoa Kajang Akhirnya Disahkan

Dari 260 butir penjabaran program, yang membahas isu lingkungan hidup sekitar 20%. Terdiri dari 17% mengenai pengelolaan hutan dan gambut berkelanjutan, ketimpangan penguasaan lahan, dan penegakan hukum.

Sebanyak 3% mengenai perlindungan dan pengakuan hak masyarakat adat serta energi terbarukan.

“Visi Misi Jokowi-Ma’ruf secara umum mendukung pengelolaan lingkungan berkelanjutan. Terutama yang tercantum dalam misi keempat tentang capaian lingkungan hidup yang berkelanjutan,” kata Teguh.

Dia menyebut, ada beberapa permasalahan belum terakomodasi dalam visi misi itu, antara lain tata kelola perkebunan sawit, pemberhentian deforestasi, pengelolaan konflik tenurial, penataan desa di kawasan hutan serta pencegahan dan pemberantasan korupsi sumber daya alam.

 

 

Salah satu program prioritas era Jokowi

 

 

Selain itu, katanya, soal perlindungan hak masyarakat adat, tidak ditemukan pembahasan rancangan UU masyarakat adat dan hutan adat. Juga belum mencangkup mengenai penanganan polusi, dan tambang serta energi terbarukan.

Teguh membandingkan dokumen Nawacita saat Pilpres 2014. Ada banyak perbedaan.

“Terkait pengelolaan hutan dan gambut berkelanjutan, pada pilpres 2014, Jokowi-Jusuf Kalla menyampaikan 14 butir komitmen penguatan sektor kehutanan. Dia sangat tegas dan jelas menyebutkan berbagai angka target terkait pengelolaan hutan berkelanjutan.”

Baca juga: Buah Manis Masyarakat Adat Serampas Dalam Menjaga Hutan

Pada visi-misi 2019-2024, katanya, Jokowi-Ma’ruf tidak lagi menyebutkan angka-angka target tegas dalam penjabaran visi-misi hutan dan lahan.

Dalam visi misi sekarang, katanya, ada beberapa komitmen hilang, seperti penyediaan data sumber daya hutan secara de facto dan de jure, penyelesaian konflik kepemilikan hak pengelolaan dan tumpang tindih perizinan, dan pelestarian hutan dan perlindungan 20,63 juta hektar areal berhutan.

Soal ketimpangan penguasaan lahan, katanya, dalam visi misi sebelumnya, ada dua poin komitmen. Pertama, pendistribusian aset terhadap petani melalui distribusi hak atas tanah petani melalui land reform dan program kepemilikan lahan bagi petani dan buruh tani. Menyerahkan lahan seluas 9 juta hektar dan perhutanan sosial 12,7 juta hektar.

Kedua, meningkatkan akses petani gurem terhadap kepemilikan lahan pertanian dari rata-rata 0,3 hektar menjadi dua hektar per keluarha tani, dan pembukaan 1 juta lahan pertanian kering di luar Jawa dan Bali.

“Pada periode ini, Jokowi dan Ma’ruf fokus pada kebijakan melanjutkan agenda reforma agraria, sebagaimana disebutkan dalam penjabaran misi ketiga tentang pembangunan merata dan berkeadilan.”

Mereka, katanya, akan mempercepat redistribusi aset dalam skema reforma agraria dan perhutanan sosial yang tepat sasaran.

Lalu, melanjutkan pendampingan masyarakat dalam penggunaan, pemanfaatan dan produksi atas tanah obyek reforma agraria dan perhutanan sosial hingga lebih produktif. Juga mempercepat percepatan legalisasi atas tanah-tanah milik rakyat dan tanah wakaf. Serta meneruskan, meningkatkan peremajaan, pemeliharaan, pendampingan, penyuluhan, kemitraan dan legalisasi tanah perkebunan rakyat.

Meski begitu, kata Teguh, masalah terpenting belum terakomodir dalam visi misi itu ialah solusi penanganan konflik agraria dan tata kelola desa di kawasan hutan.

Juga mengenai pencegahan dan pemberantasan korupsi perizinan sumber daya alam. Dalam visi dan misi sebelumnya, Jokowi tegas menyebut penegakan hukum lingkungan, pemberantasan penebangan liar dan penambangan liar.

Hal ini berbeda dengan visi misi saat ini. Jokowi-Ma’ruf, tidak tegas menyebutkan tentang korupsi terkait dengan sumber daya alam. Mereka hanya menyebutkan, pencegahan dan pemberantasan korupsi yaitu akan melaksanakan konsisten strategi nasional pencegahan korupsi fokus pada perizinan dan tata niaga, keuangan negara. Serta penegakan hukum dan reformasi birokrasi di setiap kementerian, lembaga, pemerintah daerah, dan pemangku kepentingan lain.

“Perlu butir yang menyebutkan dengan tegas tindakan penegakan hukum untuk korupsi di sektor sumber daya alam, baik terkait perizinan di kawasan hutan, tambang, dan lain-lain,” katanya.

 

 

Kampung baru hasil reclaiming Desa Marena. Komunitas adat Marena, salah satu yang mendapatkan penetapan hutan adat di era Jokowi. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Dalam hal perlindungan dan pengakuan hak masyarakat adat, di visi misi sebelumnya Jokowi-JK memiliki beberapa agenda prioritas utama, seperti peninjauan kebijakan, legislasi UU terkait masyarakat adat, pengelolaan tanah dan sumber daya alam, dan penyelesaian konflik.

Dalam visi misi saat ini, katanya, hak masyarakat adat ditumpangkan pada misi keenam soal penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM. Di sana, disebutkan komitmen melindungi dan memajukan hak-hak masyarakat adat mulai aspek legal, pemberdayaan ekonomi, perlindungan hukum, hingga pemanfaatan sumber alam lestari tanpa perincian. Juga disebutkan peningkatan pendidikan konservasi lingkungan berkelanjutan dengan melibatkan komunitas masyarakat adat.

Menurut Teguh, perlu tindak lanjut terhadap komitmen sebelumnya, seperti meninjau ulang dan menyesuaikan seluruh peraturan perundang-undangan terkait pengakuan, penghormatan, perlindungan dan pemajuan hak-hak masyarakat adat. Terutama, yang berkaitan dengan hak-hak atas sumber-sumber agraria.

Baca juga: Kado Manis Akhir Tahun, Kali Pertama Pemerintah Tetapkan Hutan Adat

Selain itu, melanjutkan proses legislasi RUU pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat, memastikan proses-proses legislasi terkait pengelolaan tanah dan sumber daya alam, seperti RUU Pertanahan dan lain-lain. Juga dapat memastikan UU Desa, berjalan.

 

 

Energi terbarukan

Saat Pilpres 2014, Jokowi-JK memiliki sembilan poin komitmen membangun daulat energi berbasis kepentingan nasional. Dalam pengembangan strategi jangka panjang, akan mengubah sistem harga beli energi terbarukan hingga sesuai nilai keekonomian atau sesuai risiko investasi sektor ini. Strategi jangka pendek, kontribusi pengurangan subsidi energi perlu masuk dalam perhitungan keekonomian melalui penggunaan tenaga panas bumi dengan tenaga air, biofuel dan biomassa yang diproduksi melalui pembentukan tata kelola energi terbarukan yang efisien efektif.

Selain itu, akan dibentuk badan usaha khusus seperti Bulog yang bertugas memperkuat industri biofuel dan terjamin perdagangan biofuel efisien melalui pembentukan tata kelola efisien dan efektif.

Baca juga: Menilik Hulu Hilir Kebijakan Biodiesel Indonesia

Komitmen yang disampaikan dalam visi-misi pilpres 2019, kata Teguh, antara lain pengembangan energi terbarukan berbasis potensi setempat dan ramah lingkungan, meneruskan program-program peningkatan produksi dan pemanfaatan energi fosil efisien, meningkatkan nilai tambah untuk kemajuan perekonomian nasional.

“Juga meneruskan dan mengokohkan pengembangan energi terbarukan untuk mencapai target terukur pada 2025, termasuk memberikan akses kepada rakyat untuk mengembangkan dan mengelola sumber-sumber energi terbarukan.”

Menurut Teguh, perlu komitmen melanjutkan sembilan kebijakan sebelumnya, teruma mencapai industri migas kuat dan tangguh, menghadirkan teknologi hemat energi dan merancang isu perubahan iklim tak hanya lingkungan juga perekonomian.

 

Pembangkit listrik batubara masih andalan. Batubara dalam negeri terserap, salah satu sebagai sumber energi buat PLTU. Dalam gambar ini tampak anak-anak kecil bermain di Pantai Menganti, yang hanya berjarak tak sampai satu kilometer dari PLTU barubara. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Rebekka Angelyn, Direktur Eksekutif Koaksi Indonesia mengatakan, dalam membedah visi misi dari paslon satu tak bisa lepas dari Nawacita pertama, capaian-capaian pemerintahan dan realita sektor energi secara keseluruhan, bukan hanya soal energi terbarukan.

“Ada hal-hal yang dari awal 2018 ramai dibicarakan mengenai kemampuan finansial PLN dan Pertamina menahan harga bahan bakar mintak. Isu iklim investasi energi terbarukan yang tidak didukung dan hal-hal lain seperti program biodiesel,” katanya.

Dia membandingkan Nawacita sebelumnya dengan saat ini. Nawacita saat ini, belum menjawab isu-isu strategis seperti, harga BBM , minyak dunia meningkat, batubara dan komitmen perubahan iklim sektor energi.

“Dalam vis misi sekarang, disebut pemanfaatan energi fosil meskipun efisien. Di Nawacita sebelumnya statemen agresif, misal, strategi cerdas energi terbarukan dan menghadirkan teknologi hemat energi.”

Dia bilang, soal pemanfaatan energi fosil efisien mengkhawatirkan karena energi terbarukan tak ada pernyataan apapun. Meskipun, katanya, ada hal baru muncul, misal, pengembangan energi terbarukan sesuai potensi daerah. “Menunjukkan ada ruang untuk desentralisasi penyediaan akses energi.”

Menurut dia, siapapun yang terpilih, harus fokus komitmen mengakselerasi pencapaian target pemenuhan kebutuhan energi masyarakat Indonesia dengan energi terbarukan sebagai pilihan utama. Berdasarkan potensi lokal, didukung kebijakan, pendanaan, teknologi, dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia.

“Khusus mengenai kebijakan pemerintah terkait bahan bakar nabati sebagai bagian energi terbarukan, ke depan harus melalui pemantauan dan evaluasi terukur dari hulu ke hilir. Jadi tidak hanya memperhatikan kepentingan ekonomi juga sosial dan lingkungan hidup,” katanya.

Komitmen pada kebijakan pembangunan berkelanjutan, katanya, juga harus diperlihatkan dengan perbaikan tata kelola energi yang menjunjung prinsip akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi publik. Juga penegakan hukum dan transisi berkeadilan dari energi ke terbarukan.

Agus Sari, Tim TKN Jokowi-Ma’ruf Amin menanggapi berbagai pandangan ini. Dia bilang, Nawacita sebelumnya dan Nawacita plus satu kesatuan, tak bisa terpisahkan. Publik, katanya, penting melihat capaian dan rekam jejak Pemerintahan Jokowi selama empat tahun terakhir.

“Kalau kita lihat kok Nawacita plus satu lebih lemah? Itu karena Nawacita plus satu harus dimasukkan dulu ke dalam Nawacita sebelumnya. Kemudian dievaluasi sebagai satu dokumen terintegrasi,” katanya.

Dalam semua proses politik, petahana punya keungulan karena sudah mempunyai track record. “Empat tahun belakangan ini sejauh apa sepak terjangnya? Itu juga dievaluasi sebagai bagian dari janji komitmen visi misi sebelumnya. Bagaimana track record? Itu memperlihatkan seberapa visi misi berikutnya bisa dievaluasi,” kata Agus.

Soal deforestasi, katanya, publik bisa menilai sendiri rekam jejak pemerintahan sekarang. Selama Pemerintahan Jokowi, angka deforestasi turun. Padahal, Indonesia mendapatkan predikat nomor satu sebagai perusak hutan terbesar di dunia.

“Kalau melihat titik api. Sejak 2015 hingga sekarang, turun lumayan besar. Pemerintah juga habis-habisan menegakkan hukum bagi pembakar hutan.”

Fokus Jokowi dalam Nawacita pertama adalah soal pengentasan kemiskinan dan pemerataan. Kemudian terejawantah dalam kebijakan perhutanan sosial dan reforma agraria. Sebelum reforma agraria jalan, kata Agus, 88% pengalihan lahan untuk korporasi. Saat ini, lebih besar bagi rakyat.

Agus juga mengungkap penegakan hukum lingkungan. Jokowi, katanya, menunjukkan komitmen kuat. Banyak korporasi digugat pemerintah dan diputus pengadilan dengan hukuman, sanksi dan biaya pemulihan lingkungan triliunan rupiah.

“Saya belum pernah melihat penegakan hukum lingkungan sebaik sekarang. Sampai-sampai korporasi gerah dan saksi ahli dikriminalisasi. Sebegitu paniknya mereka,” katanya.

Mengenai perlindungan gambut, kata Agus, komitmen Jokowi sudah jelas dengan membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG). Konservasi lahan gambut akan lanjut.

Terkait masyarakat adat, katanya, Jokowi berkomitmen memberikan perlindungan dan menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 soal hutan adat bukan hutan negara. Hal ini, katanya, sejalan dengan reforma agraria dan perhutanan sosial, hutan adat terintegrasi di dalamnya. “Ini menunjukkan komitmen lumayan bagus. Angka 12,7 juta hektar, masih akan dipertahankan.”

Persoalan energi terbarukan, katanya, memang masalah kronis. Namun, katanya, Pemerintah Jokowi sudah memiliki kesadaran fosil fuel adalah industri bakal tenggelam. Pemerintah punya target capai energi terbarukan 23% pada 2025.

 

Masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta di area hutan adat mereka yang dikuasi PT. TPL. Mereka sudah mendapatkan kembali hutan adat, setelah pemerintah pada  2016, mengeluarkan sekitar 5.000 hektar hutan adat dari konsesi perusahaan. Pengakuan dan perlindungan kepada masyarakat adat, masih perjalanan panjang, akan sangat mengkhawatirkan, kalau calon presiden dan wakil, tak menyinggung sama sekali dalam visi mereka mereka.  Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

 

Bagaimana visi misi Prabowo-Sandiaga?

Sementara visi misi pasangan calon Prabowo-Sandiaga, ingin memperkuat komitmen tata kelola hutan dan lahan. Namun, tawaran solusi justru akan memperluas ketimpangan penguasaan lahan dan laju ekspansi perkebunan monokultur.

Teguh mengatakan, meski paslon nomor dua menyatakan akan berperan aktif dalam mengatasi perubahan iklim global, namun belum menyampaikan langkah konkret. Mereka juga belum punya komitmen menyelesaikan akar persoalan perubahan iklim yakni

penggundulan hutan dan perusakan lahan gambut masif karena tata kelola hutan dan lahan Indonesia buruk.

Paslon Prabowo-Sandi mengeluarkan dokumen visi misi berjudul “Empat pilar mensejahterakan Indonesia: sejahtera bersama Prabowo Sandi.” Dalam dokumen, tim pemenangan, Koalisi Indonesia Makmur memberi porsi 17,6% untuk pengelolaan lingkungan. Rinciannya, isu pengelolaan hutan berkelanjutan hanya 8,1%, ketimpangan penguasaan lahan 2%, energi terbarukan 1,4% serta penegakan hukum 6,1%.

“Komitmen perlindungan gambut, mitigasi bencana, polusi industri, perkebunan sawit dan masyarakat hukum adat tak dapat tempat sama sekali,” kata Teguh.

Teguh mengapresiasi niat memperbaiki lingkungan yang tercantum dalam dokumen ini yakni rehabilitasi hutan rusak, lahan kritis, dan daerah aliran sungai serta moratorium hak guna usaha juga hak guna banguna (HGB) yang habis masa berlaku.

Namun, katanya, solusi justru berpotensi memperluas masalah ketimpangan penguasaan lahan dan laju ekspansi perkebunan monokultur karena komitmen merehabilitasi hutan rusak jadi hutan tanaman industri.

“Ini mengindikasikan, pasangan Prabowo-Sandi belum memahami persoalan lingkungan hidup di Indonesia secara tepat dan belum punya konsep membangun tanpa merusak,” kata Teguh.

Sebagai pengusaha, baik Prabowo maupun Sandi ikut menjalankan beberapa perusahaan sektor perkebunan sawit. Salah satunya, PT Tidar Kerinci Agung milik Prabowo dan PT Provident Agro milik Sandi.

Namun, perbaikan tata kelola industri sawit nasional tak menjadi perhatian. Padahal, katanya, isu perkebunan sawit berkelanjutan jadi salah satu topik bahasan utama pemerintah Indonesia dan global baik dalam konteks ekonomi, petani dan lingkungan hidup.

Dengan latar belakang pengusaha sawit, tetapi tak ada ketegasan kedua calon dalam agenda mereka dalam mendesak perbaikan industri ini.

“Terlilitnya Prabowo-Sandi dalam pusaran bisnis sawit khawatir mengganggu indepedensi dalam menjalankan pemerintahan.”

Isu pengelolaan hutan berkelanjutan tertuang dalam aksi pilar kedua (kesejahteraan masyarakat) dan ketiga (budaya dan lingkungan hidup). Ada 12 komitmen Prabowo-Sandi terhadap pengelolaan hutan.

“Dari 12 komitmen itu ada empat isu strategis perlu digarisbawahi melihat kondisi pengelolaan hutan dan gambut Indonesia saat ini,” kata Sri Lestari, peneliti Yayasan Madani Berkelanjutan.

Pertama, mengenai usulan bank tanah dengan memanfaatkan moratorium HGU dan HGB yang habis masa berlaku. Mengutip laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Agustus lalu tentang status hutan Indonesia 2018, disebutkan kebijakan moratorium pemberian izin baru untuk melindungi 66,4 juta hektar hutan di kawasan konservasi dan lindung.

 

Energi terbarukan, salah satu sumber angin, begitu besar di Indonesia, tetapi masih minim dimanfaatkan. Pengembangan energi terbarukan hendaknya bukan yang berpotensi menimbulkan masalah baru, seperti bahan baku energi dari HTI atau monokultur skala besar. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Moratorium HGU diatur Inpres No 8/2018 tentang penundaan dan evaluasi perizinan perkebunan sawit serta peningkatan produktivitas perkebunan,

“Komitmen moratorium HGU dan HGB pasangan ini selayaknya menjelaskan tindakan strategis apa yang hendak dilakukan mengingat moratorium bukan hal baru lagi.”

Kedua, mengenai restorasi lahan, Yayasan Madani menilai target kandidat ini dalam restorasi lahan kritis tak jelas. Pasangan ini menyoroti hutan rusak restorasi menjadi hutan alam, HTI, dan hutan tanaman pangan serta melestarikan alam dan satwa liar.

“Merehabilitasi hutan rusak dengan membangun HTI bukan restorasi melainkan memperlebar ketimpangan penguasaan lahan dan meningkatkan kerusakan lahan.”

Data 2013, luas lahan kritis di Indonesia mencapai 24,3 juta hektar, tak termasuk Jakarta. Ia meliputi 15,5% juta hektar lahan kritis dalam kawasan hutan. KLHK menanam 100.000 hektar dari 10 juta hektar target lahan rusak. “Ini saja masih jauh memadai untuk menutup kawasan hutan dan hutan konservasi yang terlanjur rusak.”

Jadi, katanya, komitmen pasangan ini dinilai tak sepenuhnya cocok dalam mempersempit ketimpangan lahan dan menyelesaikan restorasi lahan.

Terkait perubahan iklim, tindakan aktif mengatasi perubahan iklim harusnya sudah disadari Prabowo sejak 2014. Tak ada terminologi baru dalam dokumen visi misi yang baru. Belum ada langkah konkret untuk mengatasi perubahan iklim.

 

Penguasaan lahan dan tak singgung masyarakat adat

Ada tiga komitmen pasangan ini dalam isi ketimpangan penguasaan lahan dan konflik, yakni dengan reforma agraria, industrialisasi petani di pedesaan dan pembangunan berkualitas untuk mengurangi kemiskinan dan ketimpangan sosial ekonomi.

Yang menjadi catatan, pasangan ini hanya menekankan reforma agraria sebagai jalan meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mendukung peningkatan produktivitas kerja sektor perkebunan dan kehutanan.

Tak ada penegasan kalau reforma agraria juga bisa menyelesaikan masalah ketimpangan penguasaan lahan, mendorong keadilan sosial dan penyelesaian konflik tenurial.

“Pasangan Prabowo-Sandi, tidak sama sekali memberikan perhatian pada upaya penyelesaian konflik tenurial. Bagi pasangan ini konflik tenurial hanya dilihat dari sisi isu politik pertahanan negara seperti separatisme dan pengamanan daerah perbatasan.”

Pasangan ini ada sembilan komitmen penegakan hukum di sektor sumber daya alam. Kalau pasangan ini punya komitmen dan keberanian menindak kejahatan korporasi dan pecegahan korupsi di sektor sumber daya alam akan menjadi nilai tambah.

Sisi lain, pasangan ini sama sekali tak menyebutkan mengenai keterbukaan informasi. Padahal, mereka menyebut manajemen birokrasi terbuka dan akuntabel untuk memcegah korupsi.

Soelthan Nanggara, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia, mengatakan, praktik korupsi sumber daya alam terkait erat dengan keterbukaan informasi publik minim.

“Perbaikan tata kelola sumber daya alam mesti dimulai dengan membuka akses informasi kepada publik,” kata Soelthan.

Dalam pengelolaan sumber daya alam, katanya, publik tak hanya perlu keterbukaan soal sistem perizinan juga monitoring dan evaluasi. Keterbukaan, katanya, harus menyeluruh tak hanya informasi juga akses dokumen berikut peta.

Pengalaman FWI, misal, meminta dokumen HGU perkebunan sawit se-Kalimantan yang masih berlaku sampai 2016 menyita waktu lama. Permohonan informasi ke Kementerian ATR/BPN hingga sengketa di Komisi Informasi Publik menghabiskan waktu 11 bulan dari 16 September 2015 hingga 22 Juli 2016.

Pada 9 Agustus-23 Desember 2016, FWI banding di PTUN hingga menang di tingkat kasasi Mahakamah Agung. Proses kasasi selama empat bulan (23 Desember 2016-6 Maret 2017). Meski akhirnya MA menyatakan dokumen terbuka untuk publik hingga kini dokumen masih sulit diakses.

“Yang terpenting bukan aturan atau kebijakan keterbukaan, melainkan bagaimana badan publik mengimplementasikan keterbukaan atas data dan informasi itu kepada publik,” katanya.

 

Perlu solusi penyelesaian konflik agraria dan sumber daya alam yang masih tinggi dari para calres. Ini kasus perkebunan kelapa sawit milik PT Merbau Indah Raya di UPT Arongo. Dalam perkebunan ini ada 30 hektare lahan warga yang diklaim masuk konsesi perusahaan. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Dia menyayangkan, pasangan ini sama sekali tak menyinggung pengaturan dan perlindungan masyarakat adat dalam kehidupan bernegara.

“Tentu saja ini pertanyaan besar bagi kita semua. Keberadaan masyarakat hukum adat salah satu elemen penting mencapai keberhasilan reforma agraria.”

Penggunaan energi terbarukan dalam visi misi ini adalah dari bahan bakar nabati. Kandidat ini ingin Indonesia jadi negara adi kuasa energi dengan pemanfaatan 88 juta hektar hutan rusak untuk aren, ubi kyu, ubi jalar, sagu, sorgum kelapa dan bahan baku bioethanol lain. Tak diketahui dari mana angka 66 juta hektar ini didapatkan.

Pasangan ini dinilai tidak mempertimbangkan faktor risiko pelepasan emisi dari proses perubahan lahan dan kehutanan skala besar untuk kebutuhan pangan sekaligus bahan bakar nabati.

Kecuali pengembangan biofuel generasi ketiga yang bersumber dari limbah, residu pertanian, tanaman non pangan dan ganggang. Area untuk lahan ini juga tak jelas dan berpotensi memunculkan konflik tenurial baru dan palanggaran hak asasi manusia.

Nuly Nazlia, Direktur Finansial dan Operasional Koaksi Indonesia, mengatakan, presiden dan wakil presiden terpilih harus fokus dan komit pada pencapaian target pemenuhan energi dengan sumber terbarukan dan pemanfaatan energi efisien sebagai pilhan pertama perencanaan ketenagalistrikan Indonesia.

“Berdasarkan potensi lokal didukung kebijakan pendanaan, teknologi dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia,” katanya.

Khusus mengenai kebijakan terkait bahan bakar nabati sebagai bagian energi terbarukan, katanya, harus melalui pemantauan dan evaluasi terukur dari hulu ke hilir. Jadi, kebijakan ini tak hanya memperhatikan kepentingan ekonomi juga sosial dan lingkungan hidup.

Nuly mengatakan, komitmen pada kebijakan yang mendukung pembangunan berkelanjutan harus diperlihatkan dengan perbaikan tata kelola energi yang menjunjung tinggi akuntabilitas, tranparansi dan partisipasi publik.

“Transisi keadilan dari energi fosil ke energi terbarukan yang menekankan pada upaya pemulihan menyeluruh.”

Untuk itu, Yayasan Madani Berkelanjutan, FWI dan Koaksi meminta kedua kandidat mempertegas komitmen pengelolaan lingkungan hidup dengan tak merehabilitasi lahan dengan membangun HTI dan komit menghentikan laju ekspansi perkebunan monokultur skala besar.

Selain itu, mereka juga harus mempertegas komitmen dan bekerja keras mencapai target Nationally Determined Contributions (NDCs) serta peralihan energi fosil menuju energi terbarukan tak berbasis lahan. Juga memastikan transfer teknologi kepada masyarakat untuk menggunakan energi terbarukan mandiri.

Sementara Khalisah Khalid, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Walhi Nasional menilai, pada masa kampanye pilpres 2019, para politisi minim membawa isu lingkungan ke ruang publik. Dia contohkan, isu perubahan iklim, sebenarnya sangat politis dan harus jadi perhatian calon presiden dan wakil.

”Sejauh ini belum ada usaha lebih dari kedua pasang calon, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dan Joko Widodo-Ma’aruf Amin, membahas dan jadikan isu lingkungan ini sebagai arus utama,” katanya.

Meski demikian, isu ini tertulis dalam dokumen visi-misi mereka sebagai kandidat capres dan cawapres, seperti visi misi Jokowi-Ma’ruf, “mencapai lingkungan hidup berkelanjutan,”sementara Prabowo-Sandiaga, “membangun perekonomian nasional yang adil, makmur, berkualitas, dan berwawasan lingkungan.”

“Sayangnya isi dokumen ini tidak pernah disuarakan di ruang publik,” katanya.

Dia bilang, para capres-cawapres penting berbicara mengenai lingkungan hidup. Terlebih hingga kini, pencapaian target penurunan emisi tingkat nasional tak terakselerasi di tingkat daerah. ”Banyak kendala, kami melihat ego sektoral dan rezim birokrasi yang menghambat,” katanya.

Selain itu, belum menjadi kesepahaman bersama kalau penurunan emisi ini jadi komitmen Indonesia. Seharusnya, kata Alin, panggilan akrabnya, soal penurunan emisi jadi satu paket, tak hanya pemerintah pusat, juga pemerintah daerah.

Dia bilang, perubahan iklim tak sebatas udara yang makin panas dan mengurangi penggunaan penyejuk ruangan dengan suhu lebih rendah atau mematikannya. Lebih dari itu, katanya, perubahan iklim berbicara soal keselamatan manusia di bumi, terutama yang hidup di pulau-pulau kecil.

”Penting isu perubahan iklim jadi isu utama, bukan hanya pelengkap dari isu lingkungan. Itu harus sungguh-sungguh dibahas capres dan cawapres.”

Dengan mempertimbangkan isu lingkungan ini, sudah siap dengan pilihan calon presiden dan wakil, April mendatang?  Kontribusi tulisan juga dari Lusia Arumingtyas

 

 

Keterangan foto utama:    Hutan alam yang beralih fungsi menjadi kebun sawit. Perlu komitmen kuat dari para capres dan cawapres melindungi hutan dan menjalankan sawit patuh lingkungan dan HAM. Foto: Junaidi Hanafiah/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Exit mobile version