Mongabay.co.id

Menatap Debat Capres Kedua : Isu-isu Lingkungan di Mata Jokowi dan Prabowo

***

Membandingkan visi dan misi dua calon presiden Republik Indonesia 2019-2024 adalah sebuah pekerjaan yang tidak mudah saya lakukan.  Sebagai salah seorang deklarator Poros Hijau Indonesia, saya telah memilih untuk mendukung Presiden Joko Widodo untuk masa jabatannya yang kedua.  Dukungan tersebut datang lantaran berbagai capaian kebijakan lingkungan yang telah dihasilkan pemerintahannya hingga sekarang dapat saya katakan sebagai salah satu yang paling progresif sepanjang sejarah Indonesia.

Kebijakan yang mengharuskan kajian lingkungan hidup strategis untuk perencanaan pembangunan, kebijakan tentang instrumen ekonomi lingkungan hidup, ratifikasi Sustainable Development Goals(SDGs) dan pembuatan beragam instrumen kebijakannya, regulasi tentang keuangan berkelanjutan, dan penyusunan ‘Green RPJMN’ adalah di antara berbagai capaian kebijakan yang sangat impresif, mengingat seluruhnya dibuat dalam periode yang relatif singkat.

Tentu, kita bisa mendiskusikan tentang kinerja, yang menurut banyak orang tertatih di belakang kebijakan-kebijakan itu.  Perwujudan kebijakan menjadi kinerja memang membutuhkan waktu.  Dan tepat di situ pula alasan untuk mengawal berbagai kebijakan progresif yang sudah dicapai.  Kinerja lingkungan sepanjang pemerintahan Presiden Joko Widodo, bagaimanapun, menunjukkan berbagai indikasi yang di atas rerata, walau belum sepenuhnya memuaskan.

Dengan pernyataan di atas, saya mengakui kemungkinan bias dalam tulisan ini.  Namun, dengan itu pula saya berusaha mengekangnya ketika mendiskusikan bagaimana isu-isu lingkungan diletakkan oleh kedua calon presiden.  Dan, kenyataan bahwa saya tidak terlibat dalam perumusan dokumen yang hendak saya bandingkan itu membuat bias lebih bisa saya tekan.

baca :  Menanti Adu Gagasan Politik Lingkungan dalam Debat Capres Putaran Kedua

 

Pasangan calon presiden dan calon wakil presiden pada Pilpres 2019. Foto : KPU

 

Saya mencoba mengupas dokumen visi-misi yang diajukan oleh Calon Presiden RI 2019-2024 Joko Widodo “Meneruskan Jalan Perubahan untuk Indonesia Maju: Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong” dan yang diajukan Calon Presiden RI 2019-2024 Prabowo Subianto “Empat Pilar Mensejahterakan Indonesia: Sejahtera Bersama Prabowo-Sandi.”  Kedua dokumen itu adalah versi yang diajukan kepada KPU di bulan September 2018.  Saya tahu, kubu Prabowo-Sandi mengubah dokumen yang diajukan itu di bulan Januari 2019, namun ditolak oleh KPU.  Lagipula, membandingkan dokumen yang diajukan pada waktu yang berbeda lebih dari 3 bulan akan membuat perbandingannya menjadi jauh dari seimbang.

 

Lingkungan di Mata Joko Widodo

Visi pasangan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin adalah subjudul dokumen yang mereka ajukan ke KPU, yaitu “Terwujudnya Indonesia maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan gotong royong.”  Visi ini, buat saya sedikit mengecewakan, lantaran kata kunci keberlanjutan/berkelanjutan, atau lingkungan hidup tidaklah muncul.  Kedaulatan, kemandirian, kepribadian, dan gotong royong tentu adalah konsep-konsep kunci yang penting. Namun, memasukkan keberlanjutan, lingkungan hidup, serta keadilan sosial ke dalam visi—menurut hemat saya—adalah sangat penting.

Apa yang menurut saya sangat penting itu kemudian muncul di pernyataan misi.  Di situ ada sembilan butir misi, yang mencakup: 1. Meningkatkan kualitas manusia Indonesia; 2. Menciptakan struktur ekonomi yang produktif, mandiri, dan berdaya saing; 3. Melaksanakan pembangunan yang merata dan berkeadilan; 4. Mencapai lingkungan hidup yang berkelanjutan; 5. Memajukan budaya yang mencerminkan kepribadian bangsa; 6. Menegakkan sistem hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan tepercaya; 7. Memberikan perlindungan bagi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga; 8. Mengelola pemerintahan yang bersih, efektif, dan tepercaya; serta 9. Membangun sinergi pemerintah daerah dalam kerangka Negara Kesatuan.  Misi tersebut tampaknya telah menyebutkan seluruh isu yang paling penting dalam kehidupan Indonesia.

Dari sembilan misi tersebut, lingkungan hidup dibicarakan sebagai misi keempat, “Mencapai Lingkungan Hidup yang Berkelanjutan.” Bagaimana hal itu dijelaskan sangatlah menarik: “Pembangunan ekonomi harus memperhatikan daya dukung lingkunganhidup agarpembangunan  menjadi berkelanjutan.”  Joko Widodo menempatkan lingkungan hidup secara relasional dengan ekonomi, yaitu hanya apabila ekonomi dibangun dengan memerhatikan daya dukung sajalah maka pembangunan bisa berkelanjutan.  Sayangnya, bagian ini tak menyebut sebuah dimensi keberlanjutan yang selalu melekat: sosial.  Kalau relasi, atau bahkan nexus, ekonomi-sosial-lingkungan dinyatakan secara eksplisit, maka pernyataan itu akan menjadi sangat kuat.

baca juga : Debat Capres Isu Sumber Alam, Lingkungan dan Infrastruktur, Berikut Berbagai Masukan

 

Presiden Joko Widodo melakukan penanaman bibit mangrove setelah melakukan penebaran benih udang sebagai tanda peresmian beroperasinya unit kawasan budidaya udang vaname untuk program perhutanan sosial di Muara Gembong, Bekasi, Jabar Rabu (1/11/17). Foto : Dianaddin/Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Terdapat tiga strategi besar untuk mencapai visi tersebut, yaitu pengembangan kebijakan tata ruang terintegrasi, mitigasi perubahan iklim, serta penegakan hukum dan rehabilitasi lingkungan hidup. Strategi pertama dibuka dengan pernyataan “Untuk mengendalikan penggunaan ruang, maka diperlukankebijakan tata ruang yang terintegrasi untuk memastikan ruangdigunakan secara berkeadilan.” Kemudian, terdapat 2 program besar untuk mewujudkannya, yaitu 1. Melanjutkan kebijakan Satu Peta untuk menghindaritumpang tindih penggunaan ruang, dan 2. Mengendalikan dan mengawasikepatuhan pelaksanaannyaserta menindak tegas penyimpangannya.  Satu Peta adalah solusi jitu atas masalah ketidakpastian ruang, sehingga penegakannya memang sangat diperlukan.  Namun, agaknya dokumen ini luput menyatakan bahwa seharusnya tata ruang itu dibuat dengan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) yang kokoh terlebih dahulu, serta proses partisipatoris penetapan ruang.

Strategi kedua, mitigasi perubahan iklim, dibuka dengan “Dampak perubahan iklim menjadi permasalahan global.  Indonesia harus mengambil bagian dari upaya mitigasi terhadapdampak perubahan iklim.” Yang dimasukkan sebagai program di bawah strategi ini adalah Mencegah kebakaran hutan; Menanam kembali lahan-lahan kritis; Mengembangkan energi baru terbarukan (EBT) berbasispotensi setempat serta ramah terhadap lingkungan; Melanjutkan konservasi lahan gambut; Mengurangi emisi karbon dan meningkatkan transportasimassal ramah lingkungan; Meningkatkan pendidikan konservasi lingkungan yangberkelanjutan dengan melibatkan komunitas masyarakatadat; serta Memperbanyak hutan kota dan ruang terbuka hijau.

Jelas, dalam isu perubahan iklim, ada dimensi adaptasi, yang bahkan mungkin lebih penting dibandingkan dengan mitigasi, lantaran perubahan iklim dengan segala dampaknya memang sudah terjadi.  Dimensi ini luput dari strategi ini dan patut disayangkan.  Dari sisi mitigasi, tampak kesadaran penuh bahwa sumber emisi Indonesia adalah pemanfaatan lahan dan hutan.  Kesadaran bahwa pembangkitan energi dan juga transportasi sebagai sumber emisi tampak jelas.  Namun, dua sumber emisi besar yang tidak disebutkan secara eksplisit adalah pemanfaatan energi oleh industri dan rumah tangga.

Pendidikan konservasi agaknya kurang tepat dimasukkan sebagai bagian dari mitigasi, kecuali kalau itu dimasukkan ke dalam pendidikan perubahan iklim, yang salah satu tujuannya adalah untuk memberikan pengetahuan mitigasi (dan adaptasi) bagi masyarakat Indonesia, atau lebih tepat lagi dimasukkan ke dalam pendidikan lingkungan.  Dalam hal ini, ‘konservasi’ bukanlah juga istilah yang memadai untuk tujuan tersebut.  Konservasi berarti menjaga yang masih baik agar tetap ada dalam kondisi semula. Pendidikan lingkungan juga perlu memasukkan pemanfaatan lestari, rehabilitasi, restorasi, bahkan regenerasi sebagai bagiannya.

Terakhir, strategi mitigasi yang juga luput adalah memastikan bahwa setiap pihak, terutama perusahaan, bertanggung jawab atas emisi yang dihasilkannya.  Dalam hal ini, perlu ditimbang efisiensi energi, efikasi energi, maupun carbon offset—juga pertanian, perkebunan, dan kehutanan yang sensitif terhadap perubahan iklim—sebagai beragam tindakan yang bisa diambil perusahaan agar mereka benar-benar bisa berkontribusi dalam mitigasi perubahan iklim.

menarik dibaca :  Berelasi Bisnis Batubara, Koalisi Desak Bawaslu Ungkap Dana Kampanye Capres-Cawapres

 

Dua perempuan berjalan pulang setelah mencuci dan mengambil air bersih di di Ammatoa Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulsel. . Perempuan juga rentan terhadap dampak perubahan iklim karena aksesibilitas dan ketergantungan terhadap alam. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Strategi ketiga, penegakan hukum dan rehabilitasi lingkungan hidup, dijelaskan dengan “Kerusakan lingkungan hidup akibat pencemaran udara, limbahB3, penebangan liar, pencurian ikan dan terumbu karang, danpenambangan liar menjadi ancaman pada human security.” Tampaknya aneh menggabungkan penegakan hukum dengan rehabilitasi, namun dengan penjelasan tersebut, maksudnya kemudian bisa lebih dipahami.

Di dalamnya terdapat empat program: Merehabilitasi kerusakan lingkungan untuk menjamin dayadukung lingkungan secara berkelanjutan termasukrehabilitasi hutan dan lahan, konservasi laut, serta DaerahAliran Sungai (DAS); Meningkatkan efektivitas pengelolaan dan pengawasanlimbah B3 serta percepatan pembangunan pusatpengolahan limbah B3 secara terpadu; Menegakkan hukum dengantegas terhadaptindakan perusakanlingkungan; dan Mempercepat upaya pencegahan dan rehabilitasilingkungan akibat sampah plastik serta mendorongberkembangnya industri daur ulang.

Pada wacana dan praktik mutakhir, rehabilitasi lingkungan hidup, banyak dipandang sebagai komitmen setengah hati, karena tidak secara tegas dimaksudkan untuk mengembalikan yang rusak pada kondisi semula. Pengembalian ke kondisi semula, atau restorasi, agaknya memang perlu menjadi target yang lebih tinggi.  Namun, sebagaimana yang telah saya sampaikan di atas, regenerasi seharusnya menjadi aspirasi juga, walaupun ini lebih bersifat jangka panjang.  Regenerasi, atau peningkatan daya dukung lingkungan, sangat penting untuk dilakukan mengingat di masa mendatang jumlah penduduk Indonesia akan meningkat. “Mendorong berkembangnya industri daur ulang” adalah bagian dari ekonomi sirkular yang kini telah menjadi norma di banyak negara Eropa, Amerika Serikat dan juga Tiongkok, dan merupakan bagian yang sangat penting dalam tujuan regenerasi.

Yang juga membutuhkan elaborasi lebih lanjut adalah soal penegakan hukum lingkungan.  Bagaimanapun, sudah banyak analisis yang menyatakan bahwa secara kelembagaan, penegakan hukum lingkungan yang baik membutuhkan tata kelola dan organisasi yang lebih baik. Kalau kerusakan lingkungan, yang terutama dilakukan oleh korporasi, adalah sebuah ancaman serius, mungkin sudah saatnya memertimbangkan organisasi khusus—mungkin bisa diberi nama Komisi Pemberantasan Kejahatan Lingkungan (KPKL)—untuk melaksanakannya.  Namun, yang sangat jelas diperlukan juga adalah peningkatan kapasitas para penegak hukum lingkungan.  Kasus mutakhir di mana saksi ahli kejahatan lingkungan malahan dihukum menunjukkan kepandiran hakim, kalau bukan kejahatan koruptif, di belakang keputusan tersebut.

 

Sawit ditanam di lahan gambut dan terbakar. Penilaian Proper KLHK tahun ini menyertakan penilaian kinerja buat perusahaan sawit di lahan gambut. Alasannya, guna melihat tata kelola air mereka untuk hindari kebakaran. Perusahaan HTI di gambut juga ikut penilaian serupa. Foto: dari video tim penegakan hukum KLHK

 

Lingkungan di Mata Prabowo Subianto

Visi pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno adalah “Terwujudnya Bangsa dan Negara Republik Indonesia yang adil, makmur, bermartabat, relijius, berdaulat, berdiri di atas kaki sendiri di bidang ekonomi, dan berkepribadian nasional yang kuat di bidang budaya serta menjamin kehidupan yang rukun antarwarga negara tanpa memandang suku, agama, ras, latar belakang etnis dan sosial berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

Pernyataan visi tersebut jauh lebih panjang—sekitar 4 kali lipat—daripada visi milik Joko Widodo dan Ma’ruf Amin.  Karenanya, visi itu juga mengandung kata kunci yang lebih banyak: adil, makmur, bermartabat, relijius, dan menjamin kehidupan yang rukun adalah kata-kata yang tidak ditemukan dalam pernyataan visi Joko Widodo.  Sementara, kemajuan, dan gotong royong adalah konsep kunci dalam visi Joko Widodo yang tak ditemukan di dalam visi Prabowo Subianto. Namun, di pernyataan visi yang panjang tersebut juga sama sekali tidak dimasukkan lingkungan hidup atau keberlanjutan sebagai kata kunci.

Misi Prabowo ada lima, yaitu 1. Membangun perekonomian nasional yang adil, berkualitas, dan berwawasan lingkungan dengan mengutamakan kepentingan rakyat Indonesia melalui jalan politik-ekonomi sesuai pasal 33 dan 34 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Membangun masyarakat Indonesia yang sehat, berkualitas, produktif, cerdas dan berdaya saing dalam kehidupan yang aman, dan rukun, damai bermartabat serta terlindungi oleh jaminan sosial yang berkeadilan tanpa diskriminasi; 3. Membangun keadilan di bidang hukum yang tidak tebang pilih dan transparan, serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia melalui jalan demokrasi yang berkualitas sesuai dengan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 4. Membangun kembali nilai-nilai luhur kepribadian bangsa untuk mewujudkan Indonesia yang adil, makmur, bermartabat, beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia (sesuai UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat 3);  dan 5. Membangun sistem pertahanan dan keamanan nasional secara mandiri yang mampu menjaga keutuhan dan integritas wilayah Indonesia.

Di situ terlihat bahwa lingkungan disebutkan sebagai wawasan dalam membangun perekonomian nasional—yang berarti menjadi salah satu sifat cita-cita ekonomi yang hendak dibangun.  Ini mirip dengan apa yang dinyatakan dalam visi Joko Widodo, lantaran bersifat relasional dengan ekonomi.  Tetapi, relasi tersebut tak jelas benar bagaimana sifatnya.  Joko Widodo menjelaskan bahwa pembangunan hanya bisa berkelanjutan apabila ekonomi dibangun dengan memerhatikan daya dukung lingkungan hidup.  Artinya, pembangunan berkelanjutan adalah cita-citanya, dan hubungan antara ekonomi dengan daya dukung lingkungan dirumuskan dengan cita-cita itu.

 

Pembukaan hutan oleh perkebunan kelapa sawit di Kalimantan. Foto: Rhett A. Butler

 

Apakah pembangunan a la Prabowo Subianto juga adalah yang bersifat berkelanjutan?  Tidak seeksplisit pernyataan misi milik Joko Widodo, namun dengan memerhatikan munculnya konsep kunci ‘berwawasan lingkungan’, serta ‘mengutamakan kepentingan rakyat’, maka seharusnya bisa diartikan demikian.  Keadilan dan kemakmuran yang dicita-citakan Prabowo Subianto sendiri kemudian dijelaskan sebagai hasil dari empat pilar: ekonomi; budaya dan lingkungan; politik, hukum, dan hankam; serta kesejahteraan rakyat. Ini juga menandai bahwa pembangunan berkelanjutan, walaupun implisit, memang menjadi cita-cita Prabowo Subianto.

Namun, dengan menggunakan empat pilar sebagai pencapaian keadilan dan kemakmuran Indonesia, kita kemudian bisa menyatakan bahwa model pembangunan berkelanjutan Prabowo Subianto memang cenderung pada model pilar. Model ini, berkembang di tahun 1970an dan banyak dipergunakan hingga pertengahan 1990an mengasumsikan bahwa ekonomi, sosial, dan lingkungan adalah aspek-aspek yang berdiri sendiri. Sementara, bagaimana Joko Widodo menjelaskan hubungan antara ekonomi dan (daya dukung) lingkungan menunjukkan kedekatan pada model nested, yang merupakan model mutakhir dan dipergunakan sebagai landasan berpikir SDGs.

Menggabungkan budaya dan lingkungan hidup ke dalam satu pilar adalah sebuah kecerdasan, apabila memang yang dimaksudkan adalah memanfaatkan dan membangun budaya yang sesuai dengan lingkungan.  Sayangnya, yang tampak tidak demikian.  Keduanya digabungkan dalam satu pilar, namun tidak ada konvergensi yang diperlihatkan.  Dalam pilar tersebut, budaya dijelaskan pada butir 1-6, sementara lingkungan di butir 7-10, tanpa ada peririsannya.  Keempat butir lingkungan tersebut adalah 7. Berperan aktif mengatasi perubahan iklim global, sesuai kondisi Indonesia; 8. Memberikan hukuman seberat-beratnya bagi pemilik perusahaan yang terlibat dalam pembalakan liar, kebakaran hutan dan pembunuhan hewan langka yang dilindungi; 9. Merevitalisasi usaha-usaha pelestarian lingkungan menggunakan kearifan lokal, di wilayah-wilayah yang mengalami degradasi lingkungan yang berat; dan 10. Meningkatkan perlindungan hewan langka dengan meningkatkan luasan area perlindungan dan konservasi.

 

Kawasan pencadangan konservasi laut kolorai yang indah ini banyak memiliki potensi ikan dan biota lain. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Membandingkan Keduanya

Dibandingkan dengan 3 strategi yang diajukan oleh Joko Widodo—pengembangan kebijakan tata ruang terintegrasi, mitigasi perubahan iklim, serta penegakan hukum dan rehabilitasi lingkungan hidup—keempat strategi Prabowo Subianto tampak lebih ‘berantakan’.  Tak ada soal tata ruang sama sekali dalam Visi Misi Prabowo.  Perubahan iklim oleh Prabowo disebutkan secara selintasan dengan “Berperan aktif mengatasi perubahan iklim global, sesuai kondisi Indonesia.”  Juga, alih-alih menyatakan penegakan hukum, Prabowo Subianto lebih memilih “memberikan hukuman seberat-beratnya….” yang, walaupun tampak lebih kuat dan menakutkan, namun kiranya tak tepat dinyatakan di level strategi.

Di bagian berikutnya, pernyataan “Merevitalisasi usaha-usaha pelestarian lingkungan menggunakan kearifan lokal, di wilayah-wilayah yang mengalami degradasi lingkungan yang berat” sesungguhnya tak cukup bisa dipahami.  Revitalisasi usaha pelestarian lingkungan dengan menggunakan kearifan lokal adalah hal yang penting untuk dilakukan, namun ketika itu dilakukan di wilayah-wilayah yang mengalami degradasi, hal itu menjadi janggal. Wilayah yang mengalami degradasi tentu seharusnya tidak dilestarikan, melainkan direhabilitasi, direstorasi, atau diregenerasi.  Kearifan lokal tentu penting, tetapi apakah kebutuhan untuk merehabilitasi, merestorasi dan meregenerasi itu—apalagi dalam wilayah yang luas dan waktu yang mendesak—bisa dilakukan hanya dengan kearifan lokal?  Mungkin menggabungkannya dengan ilmu pengetahuan mutakhir adalah jalan yang terbaik.

Kalau empat butir tersebut bisa dinyatakan sebagai strategi dalam pilar budaya dan lingkungan hidup, Prabowo Subianto menetapkan 18 Program Aksi di dalamnya, di mana ada 7 program yang terkait dengan lingkungan, yaitu (mengikuti penomoran di dalam dokumen): 2. Mencegah dan menindak tegas pelaku pencemaran lingkungan dan pembakaran hutan serta melindungi keanekaragaman hayati flora dan fauna sebagai bagian dari aset bangsa; 3. Mendorong semua usaha kehutanan dan produk turunannya untuk mendapatkan sertifikat pengelolaan hutan yang diterima pasar global; 4. Merehabilitasi hutan-hutan yang rusak guna melestarikan alam dan satwa liar; 5. Merehabilitasi daerah aliran sungai dan sumber air; 6. Mendorong usaha pertambangan yang ramah lingkungan, dan menertibkan pertambangan liar; 10. Mendorong penggunaan kantong plastik yang berbahan nabati dan ramah lingkungan; dan 11. Memperbaiki tata kelola perdagangan satwa liar dengan mengedepankan pada perlindungan satwa langka, serta mengundang partisipasi yang lebih besar dari sektor swasta dalam usaha-usaha konservasi.

Dibandingkan dengan program lingkungan Joko Widodo yang berjumlah 13 butir, 7 program lingkungan Prabowo Subianto memiliki penekanan yang berbeda dan menarik.  Penegakan hukum lingkungan, rehabilitasi hutan, dan rehabilitasi DAS masuk ke dalam program Joko Widodo, namun sertifikasi usaha kehutanan dan produknya, usaha pertambangan ramah lingkungan dan penertiban tambang liar, kantong plastik ramah lingkungan, dan tata kelola perdagangan satwa liar menunjukkan penekanan yang berbeda.

Sertifikasi kehutanan adalah salah satu cara untuk memastikan keberlanjutan pengelolaan hutan dengan memanfaatkan instrumen ekonomi (insentif) bagi mereka yang bisa mengelola hutannya dengan lestari.  Hal ini sangat penting bagi Indonesia, dan tidak disebutkan dalam program lingkungan Joko Widodo.  Sektor pertambangan oleh Prabowo Subianto disebutkan sebagai program, sementara oleh Joko Widodo disebutkan sebagai penjelasan strategi ketiga di dalam misi lingkungan, yaitu untuk mencapai human security.  Karenanya, yang ditekankan oleh Joko Widodo adalah upaya rehabilitasinya, serta pengelolaan terpadu limbah, termasuk limbah B3.

Kantong plastik disebutkan secara spesifik oleh Prabowo Subianto, sementara Joko Widodo menyebutkan sampah plastik yang jauh lebih luas maknanya.  Kantong plastik itu hendak diganti dengan bahan yang ramah lingkungan, termasuk dengan bahan nabati.  Joko Widodo melihatnya secara lebih komprehensif, dengan menyebutkan pencegahan, rehabilitasi dan penciptaan industri daur ulang untuk seluruh sampah—bukan hanya kantong—plastik.  Adapun soal perdagangan satwa liar, sama sekali tidak disebutkan dalam dokumen Visi-Misi Joko Widodo dan Ma’ruf Amin.  Konsentrasi pasangan ini tampaknya lebih pada penegakan hukum dan penjagaan habitatnya.

 

Sungai Citarum bertabur sampah di Desa Belaeendah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, yang terpantau beberapa waktu lalu. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Mana yang Lebih Unggul?

Membaca kedua dokumen Visi-Misi, terutama bagian lingkungan, dari kedua calon Presiden RI 2019-2024 saya menemukan bahwa ada berbagai kekosongan yang perlu diisi.  Namun, sangat jelas bahwa Joko Widodo memiliki keunggulan mutlak dibandingkan Prabowo Subianto.  Keunggulan tersebut bisa diringkaskan sebagai berikut:

Pertama, Joko Widodo melihat hubungan ekonomi dan daya dukung lingkungan sebagai keniscayaan apabila pembangunan hendak dibuat berkelanjutan. Hal ini dinyatakan secara eksplisit.

Kedua, secara implisit, hubungan antara ekonomi, sosial dan lingkungan misalnya muncul ketika Joko Widodo menjelaskan program perhutanan sosial di bawah strategi redistribusi aset demi pembangunan berkeadilan (Misi 3. Pembangunan yang Merata dan Berkeadilan).  Perhutanan sosial sama sekali tidak muncul pada Visi-Misi Prabowo Subianto.

Ketiga, implikasi dari hubungan ekonomi-sosial-lingkungan sebagaimana yang dituangkan oleh Joko Widodo adalah bahwa ia menganut model keberlanjutan paling mutakhir, yaitu nested; sementara Prabowo Subianto cenderung pada model keberlanjutan pilar, yang merupakan model paling tua.

Keempat, Joko Widodo menempatkan tata ruang sebagai strategi pertama untuk mencapai kelestarian lingkungan—yang diketahui oleh para pegiat keberlanjutan sebagai prasyarat paling penting bagi kelestarian.  Prabowo Subianto tidak menyinggung soal tata ruang dalam Visi-Misinya.

Kelima, cakupan strategi dan program lingkungan Joko Widodo lebih lengkap dibandingkan dengan apa yang ditampilkan oleh Prabowo Subianto. Tiga strategi dan tiga belas program yang disampaikan memang mengelola permasalahan lingkungan paling penting yang dihadapi Indonesia kontemporer.  Empat strategi dan tujuh program aksi Prabowo Subianto kalah komprehensif, namun memiliki keunggulan dalam program sertifikasi hutan berkelanjutan dan pertambangan ramah lingkungan.

 

tailing dari pertambangan. Foto : tailing mine

 

Dengan kelima keunggulan tersebut, Joko Widodo, menurut saya, tetap perlu melakukan beberapa hal lagi untuk bisa menguatkankannya. Butir-butir di bawah ini merupakan kritik saya atas beragam isu penting yang hilang atau tidak jelas dalam rumusan Visi-Misi Joko Widodo.

Pertama, memasukkan secara eksplisit sertifikasi hutan berkelanjutan dan pertambangan ramah lingkungan (dan sosial) sebagai programnya. Sertifikasi hutan bisa masuk ke dalam strategi dua, sementara pertambangan ramah lingkungan tepat dimasukkan ke dalam strategi tiga.  Sertifikasi hutan berkelanjutan ini sangatlah penting, mengingat reportase Tempo beberapa waktu lalu mengungkap betapa Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) tidak bisa diandalkan.  Sementara, pertambangan sudah lama menjadi isu lantaran praktiknya benar-benar menimbulkan banyak masalah, terutama pada fase operasi dan pascatambang.

Kedua, menegaskan nexus ekonomi-sosial-lingkungan sebagai cara untuk memastikan keberlanjutan, yang sesuai dengan SDGs.  SDGs, walaupun sangat relevan dengan seluruh Visi-Misi Joko Widodo tampaknya hampir dilupakan (kecuali di dalam Misi 6. Menguatkan Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan).  Hal ini sungguh aneh, mengingat sebagai Presiden RI, Joko Widodo telah sukses meletakkan dasar pemberlakuan SDGs dengan Perpres, juga mengintegrasikannya ke dalam RPJMN 2020-2024.

Ketiga, memastikan adanya komponen adaptasi dalam perubahan iklim, yang terhubung secara integral dari resiliensi dalam menghadapi bencana alam. Kebencanaan, juga merupakan titik lemah Visi-Misi Joko Widodo, di mana hanya dimasukkan ketika mengajukan strategi restorasi toleransi dan kerukunan sosial (Misi 5. Memajukan Budaya yang Mencerminkan Kepribadian Bangsa).  Melihat kebencanaan dari sudut pandang sosial seperti itu sangatlah penting, namun tak kalah pentingnya adalah melihatnya dari sudut pandang lingkungan.

Keempat, memasukkan peningkatan kapasitas untuk dapat mengimplementasikan beragam kebijakan dan regulasi lingkungan/keberlanjutan  progresif yang sudah dan akan dibuat.  Bagaimanapun, sumberdaya manusia yang tahu dan terampil sangat dibutuhkan untuk memastikan berjalannya kebijakan dan regulasi yang ada.  Kalau Joko Widodo terus-menerus menyatakan bahwa pembangunan SDM adalah prioritas pemerintahan periode kedua—bukan lagi infrastruktur yang merupakan prioritas periode pertama—tentu penyiapan SDM untuk kebijakan dan regulasi lingkungan adalah keniscayaan.

Kelima dan terakhir, aspirasi Joko Widodo perlu ditaruh bukan saja di titik berkelanjutan (tidak ada dampak negatif), melainkan juga hingga restoratif (memerbaiki yang rusak agar kembali seperti semula), bahkan regeneratif (meningkatkan daya dukung sesuai dengan kebutuhan penduduk Indonesia di masa mendatang).  Setidaknya, periode kedua kepresidenannya perlu menyiapkan beragam kebijakan dan regulasi yang mengarahkan Indonesia ke ekonomi regeneratif.  RPJMN 2020-2024 yang diklaim sebagai ‘green RPJMN’ sesungguhnya masih jauh dari aspirasi tersebut, sehingga sudah seharusnya semakin dikuatkan.

***

*JalalReader on Corporate Governance and Political EcologyThamrin School of Climate Change and Sustainability. Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis

 

Exit mobile version