Mongabay.co.id

Soal Moratorium Tambang, Gubernur NTT Ditagih Janji Utamakan Pariwisata dan Pertanian

***

Sesuai janji saat kampanyenya, Gubernur terpilih Nusa Tenggara Timur (NTT), Viktor Laiskodat, menerbitkan Surat Keputusan (SK) No.359/KEP/HK/2018 tertanggal 14 November 2018 tentang Penghentian Sementara Pemberian Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara di NTT.

Viktor berjanji untuk mencabut izin dan menghentikan proses perizinan pertambangan mineral dan batubara baru selama masa kepemimpinannya. “Tambang bukan pilihan baik untuk tingkatkan ekonomi rakyat NTT,” katanya.

Tetapi setelah mencermati SK tersebut, banyak pihak kecewa, termasuk Walhi NTT. Karena ternyata SK tersebut hanya terkait tentang evaluasi tata kelola administrasi dan kewajiban keuangan perusahaan.

“Hal ini seperti tertuang dalam diktum keempat poin b (pada SK tersebut) yang berbunyi melakukan evaluasi administrasi, teknis dan financial terhadap pemegang izin usaha pertambangan yang ada dan merekomedasikan kelayakan operasi dari pemegang IUP (izin usaha pertambangan) dimaksud,” jelas Direktur Walhi NTT, Umbu Wulang Paranggi, kepada Mongabay-Indonesia, Senin (14/1/2019).

Artinya, SK yang cuma berlaku setahun itu hanya menghentikan sementara pemberian izin usaha pertambangan mineral dan batubara di NTT, sambil mengevaluasi administrasi izin tambang yang ada. SK Gubernur NTT itu tidak menghentikan pertambangan, termasuk pertambangan rakyat.

baca :  Gubernur Baru NTT Janjikan Moratorium Tambang. Akankah Terwujud?

 

Aksi masyarakat menolak tambang di lokasi tambang emas Batu Gosok Labuan Bajo, kabupaten Manggarai Barat, NTT, tahun 2009. Foto: Gerakan Masyarakat Tolak Tambang (GERAM) /Mongabay Indonesia.

 

Padahal Pemprov NTT tidak mempunyai kebijakan dan peta pertambangan rakyat. “Ujung-ujungnya hasil tambang (dari pertambangan rakyat) tetap masuk ke perusahaan (tambang). Tambang rakyat pada prakteknya kerap jadi upaya cuci tangan perusahaan tambang untuk tidak bertanggungjawab soal keselamatan kerja,” tuturnya.

Perusahaan tambang, sebut Umbu, hanya menerima hasil tambang rakyat tanpa mengeluarkan biaya kesehatan dan keselamatan pekerja. SK Moratorium ini gagap membaca realitas skema licik bisnis tambang di NTT.

“Siapa yang bertanggungjawab dengan sekian korban yang meninggal dunia di lubang tambang mangan di Timor seperti yang terjadi pada Ida Ketrajara Alunpa yang tertimbun di lubang tambang mangan pertambangan rakyat pada 23 April 2010 silam?” tanya Umbu.

Senada, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Nusa Bunga Philipus Kami mengatakan mendukung moratorium tambang, tetapi juga harus memberikan solusi ketika kepada masyarakat kecil yang hidup dari pertambangan galian C.

“Sering kali luput dari perhatian kita berbagai  kejadian longsor di beberapa lokasi  (tambang dan galian C) yang berakibat pada korban nyawa masyarakat kita. Kejadian di kabupaten Sika beberapa waktu yang lalu yang menelan korban jiwa 3 anak-anak tentu harus jadi perhatian serius,” tegas Philipus.

baca juga :  Gubernur NTT Moratorium Tambang, Apa Pendapat Pegiat Lingkungan?

 

Petugas SAR Maumere dibantu aparat TNI, Polisi, Tagana dan masyarakat menggali pasir untuk mencari korban longsor di tambang pasir di desa Hale, kecamatan Mapitara, Sikka, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

  

Smelter Tidak Tersentuh

Di tengah hiruk pikuk Pilgub NTT, Plt. Gubernur NTT, Robert Simbolon meresmikan pembangunan smelter ferro mangan milik PT. Gulf Mangan Grup pada 20 Juli 2018.

Sesuai PP No.1/2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara mengharuskan setiap usaha pertambangan minerba wajib memiliki smelter karena ekspor bahan mentah tambang dilarang.

Walhi NTT melihat pembangunan smelter bisa jadi pertanda akan merajalelanya aktivitas pertambangan di NTT, sehingga SK moratorium Gubernur NTT menjadi tidak berarti.

baca juga :  Rembuk Masyarakat NTT Desak Pemerintah Audit Izin Pertambangan

Walhi mencurigai adanya kongkalikong para penguasa tambang yang punya rekam jejak buruk dalam usahanya dengan kekuasaan politik di NTT, dengan tujuan menjaga bisnis tambangnya.

Pembisik gelap pertambangan ini, kata Umbu, bisa mengubah komitmen politik kekuasaan dimanapun, termasuk soal moratorium tambang di NTT.

“Hal ini bisa diantisipasi seandainya permintaan WALHI NTT sedari awal untuk melibatkan partisipasi publik dalam proses perjalanan moratorium dan penghentian tambang minerba di NTT diakomodir oleh pemerintah,” tegasnya.

Walhi siap terlibat membahas moratorium tambang mulai dari perencanaan hingga penghentian tambang. Namun yang terjadi malah sebaliknya, SK Gubernur ini bahkan tidak pernah diumumkan ke publik sejak ditandatangani.

menarik dibaca :  Tahun Politik Rawan Bagi-bagi Izin, Ancaman buat Lingkungan dan Warga

 

Tambang rakyat di Naoni, kota Kupang, NTT yang jauh dari standar keselamatan kerja. Foto : Walhi NTT/Mongabay Indonesia

 

Pelibatan Akademisi

Dosen Institut Teknologi Aditama Surabaya Jhon Jone menjelaskan potensi tambang NTT khususnya Pulau Timor memang besar, terutama mineral mangan (Mn) yang kualitasnya terbaik di dunia setelah Afrika Selatan. Dan masih dalam tahap eksplorasi pertambangan. Namun, pemerintah telah lama memberikan IUP, yang berarti pertambangan langsung masuk dalam tahap eksploitasi.

“Padahal untuk mendapatkan IUP harus melengkapi 4 dokumen penting yakni AMDAL-UKL dan UP,  eksplorasi dan cadangan, FS (feasibility study/studi kelayakan) serta dokumen rencana reklamasi dan pascatambang,” kata Jhon yang asli putra NTT ketika dihubungi Mongabay-Indonesia.

Pemerintah, lanjutnya, tidak pernah melibatkan akademisi dalam proses penerbitan IUP tersebut. Padahal 4 dokumen syarat IUP itu harus valid sesuai kondisi lapangan agar eksploitasi pertambangan tidak merugikan masyarakat dan lingkungan.

“Oleh karena pemerintah tidak mengindahkan hal ini dan menerbitkan IUP maka banyak sekali dampak yang terjadi sekarang,” ungkapnya.

Sehingga penerbitan SK moratorium tambang dari Gubernur NTT, menurutnya sangat tepat untuk mengevaluasi administrasi IUP yang ada, termasuk untuk mengetahui deposit mineral pertambangan yang ada.

baca juga :  Nasib Warga Desa Supul dalam Cengkeraman Perusahaan Tambang Mangan

 

Aktivitas pertambangan PT. SMR di TTS, Nusa Tenggara Timur. Foto: Yustinus Dharma/Walhi NTT/Mongabay Indonesia

 

Data Pertambangan

Hingga awal 2018, NTT masih dikepung 309 izin tambang yang tersebar di 17 kabupaten dengan perincian, kabupaten Belu terdapat 84 izin, Timor Tengah Utara (TTU) ada 70 izin, kabupaten Kupang 34, Ende 20 serta kabupaten Manggarai ada 18 izin,

Sedangkan di kabupaten Timor Tengah Selatan sebanyak 16 izin, Rote Ndao 15, Nagekeo 14, Alor 12, Manggarai Timur 7, Ngada 5 serta Sabu Raijua, Sumba Barat Daya (SBD) dan Sumba Tengah masing-masing 2 izin, Manggarai Barat, Sumba Barat dan Sumba Timur masing-masing 1 izin serta provinsi NTT memiliki 5 izin.Sebanyak 70 izin sudah habis masa berlakunya dan berpeluang dilelang ulang.

Wakil Gubernur NTT Josef Nae Soi kepada Mongabay-Indonesia di Maumere, Sabtu (8/9/2018) menegaskan selama masa 5 tahun kepemimpinannya nanti, berkomitmen menolak pertambangan sesuai janji kampanyenya : Victory Joss, tambang No Way.

Alasannya, wajah NTT ‘kecil’ dan ‘cantik’ jangan dirusak karena tambang. ‘Kecantikan’ NTT justru bisa ‘dijual’ dengan pariwisata.

“Izin yang sementara diusulkan termasuk yang sudah ada akan dicabut. Saya akan panggil kepala dinas dan cek apa saja yang sudah diberi izin. Resikonya saya akan dibawa ke pengadilan dan saya sudah siap menghadapinya,” ucap Josef.

baca juga :  Waspada, Ijon Politik Tambang Saat Gelaran Pilkada

 

Akti tolak tambang yang dilakukan Walhi NTT. Foto : Walhi NTT/Mongabay Indonesia.

 

Evaluasi dan Pengendalian

Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Pemprov NTT, Boni Marasin kepada Mongabay-Indonesia menilai SK moratorium tambang sudah tepat.Moratorium tambang ini pun sudah disampaikan kepada Kementerian ESDM. Termasuk dilarangnya izin mineral logam dan non logam kecuali bahan galian golongan C.

SK moratorium pertambangan, lanjutnya, seharusnya bisa menjadi momentum mengevaluasi secara menyeluruh pertambangan di NTT, mulai dari administrasi izin, teknis pertambangan, dampak lingkungan, pelibatan masyarakat, pascapertambangan dan finansial perusahaan tambang, sekaligus pengendalian, pengawasan serta penataan wilayah tambang secara keseluruhan.

“Izin yang telah dikeluarkan sebelumnya akan dilakukan evaluasi. Kalau melanggar aturan maka akan diberikan sanksi dari peringatan hingga pencabutan izin sesuai mekanisme yang berlaku,” sebutnya.

Mengenai smelter, perusahaan tambang harus mengolah hasil tambangnya, bila bertujuan ekspor. Bila perusahaan tidak punya smelter, bisa bekerjasama dengan perusahaan yang memilikinya.

“Juga ada jaminan reklamasi dan kami miliki inspektur tambang yang nantinya akan melakukan pengawasan,” sebutnya.

SK moratorium pertambangan, lanjutnya, juga bisa menjadi momentum mengevaluasi dan penertiban tambang rakyat. Sekaligus menetapkan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) yang sesuai Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) dan pengalihan kewenangan pengelolaan WPR dari Pemkab ke Pemprov.

 

Pertambangan mangan oleh masyarakat secara tradisional di kabupaten Belu, NTT. Foto : WALHI NTT/Mongabay Indonesia

 

Fokus Pariwisata dan Pertanian

Aleta Baun, Anggota DPRD Provinsi NTT yang juga aktivis anti tambang, kepada Mongabay-Indonesia, Rabu (9/1/2019) menyatakan tetap tegas menolak pertambangan di NTT.

Aleta mengatakan dampak pertambangan sudah dirasakan dengan rusaknya sumber daya alam di NTT, seperti rusaknya lahan pertanian yang mengakibatkan petani yang merupakan mayoritas profesi masyarakat NTT menjadi miskin

Aleta menyentil program unggulan Gubernur Viktor Laiskodat dan Wagub Josef Nae Soi yang berjanji secara tegas menolak tambang dan bakal memprioritaskan pariwisata dan pertanian.

“Provinsi NTT dikatakan dijadikan provinsi ternak, tapi kalau alam itu rusak (karena pertambangan), air dan rumputnya didapat dari mana?,” tanyanya.

Ketika pemerintah bicara tentang program ternak, pertanian dan pariwisata maka terkait erat dengan kondisi lingkungan yang rusak karena tambang. Wisatawan, lanjut Aleta, tidak akan datang melihat lingkungan yang rusak

“Tambang apa yang tidak merusak kekayaan alam? Tambang juga tidak membuat masyarakat sejahtera,” ucap peraih penghargaan Yap Thiam Hien tahun 2016 ini. Terbukti tambang hanya menyumbang satu persen pendapatan daerah.

Aleta menilai SK Gubernur itu bisa menjadi momentum menghentikan tambang yang hanya merusak lingkungan dan fokus memberdayakan masyarakat lewat pertanian. Dia berharap tidak hanya mengeluarkan SK, tetapi Gubernur NTT harus serius dengan janjinyamenghentikan keseluruhan aktivitas tambang di NTT.

“Kalau mau mengentaskan kemiskinan maka tambang bukan pilihan,” sebut peraih penghargaan Goldman Environmental Prize 2013 itu.

perlu dibaca :  Mama Aleta: Berjuang Mempertahankan Lingkungan, Melawan Tambang dengan Menenun

 

Mama Aleta Baun (tengah) bersama masyarakat Mollo yang terus menjaga lingkungannya. Foto : The Goldman Environmental Prize/Mongabay Indonesia

 

Aleta mencontohkan perusahaan tambang mangan milik Soe Makmur Resources, yang hanya merusak lingkungan dan tidak memperdulikan kehidupan masyarakat setempat.

“Coba kita belajar dari kerusakan lingkungan yang telah terjadi. Hasilnya apa? Siapa yang memulihkan pascapertambangan? Saya sendiri melakukan konservasi bekas tambang di bukit Nausu Molo kabupaten Timor Tengah Selatan, padahal yang menerima uang pemerintah,” ucapnya lantang.

Aleta mengingatkan Gubernur Viktor untuk konsisten dengan janji kampanyenya bahwa tambang bukan untuk masyarakat NTT. “Lebih baik tanam kelor daripada harus menambang,” pungkasnya.

baca juga :  Babak Baru Perjuangan Penyelamatan Lingkungan Mama Aleta Lewat DPRD NTT

Sedangkan Ketua AMAN Nusa Bunga, Philipus Kami mengatakan pariwisata dapat meningkatkan perekonomian rakyat NTT dari desa sampai ke kota. Flores, Sumba,Timor, Alor, Lembata, Sabu dan Rore dikenal dengan beribu kekhasan adat dan budaya.

“Potensi yang luar biasa ini kalau dikemas secara baik  dapat meningkatkan ekonomi rakyat Fobamora tercinta ini. Daerah ini bisa terkenal ke mancanegara berkat pariwisat bukan tambang,” tegasnya.

Sedangkan tambang malah menciptakan konflik antara masyarakat adat, pemerintah dan perusahaan tambang. Bagi masyarakat adat, tanah menjadi pusat kehidupan. Diolah jadi lahan pertanian.Hutan pun dijaga karena memberikan keseimbangan hidup. Hutan mendatangkan air dan tempat hidup aneka satwa.

“Masyarakat adat secara turun temurun selalu menjaga hutan. Keseimbangan ekosistem ini dijaga sebab merupakan pesan leluhur. Segala ritual adat pesannya jelas, selalu menjaga keseimbangan hidup termasuk hidup selaras dengan alam,” jelasnya.

baca juga : Wisata Berkelanjutan Terbukti Lebih Menguntungkan

 

Seekor komodo di Pulau Komodo dalam kawasan TN Komodo. Foto : indonesia.travel/Mongabay Indonesia

 

Resolusi 2019

Menyikapi persoalan tambang dan SK Gubernur, WALHI NTT mendorong adanya revisi terhadap SK tersebut yang lebih mencerminkan janji politik gubernur.

“Kami meminta pemerintah NTT melibatkan publik sedari awal untuk melakukan dan mengawal proses moratorium dan penghentian tambang minerba di NTT,” tegas Umbu.

WALHI juga meminta Pemprov NTT untuk menjadikan agenda pemulihan sosial ekologis pascapertambangan dalam proses moratorium. Misalnya reklamasi lubang tambang dan penguatan ekonomi lokal tanpa tambang

Selanjutnya, meminta Pemprov NTT memprioritaskan kemandirian pangan dan sumber daya air di NTT. Terakhir, menagih janji politik gubernur dan wakil gubernur untuk serius memproses jalan menuju NTT sejahtera tanpa tambang minerba. Termasuk tambang minerba atas nama rakyat.

 

Exit mobile version