Begitu melihat sedotan plastik di segelas jus yang disajikan, Ida Bagus Sidharta Putra langsung memanggil stafnya kembali. “Ini gimana, kok masih pakai sedotan plastik? Ngawur sekali. Kita kan sudah ganti sama yang kertas,” ujar pemilik Hotel Griya Santrian, Sanur, Bali itu.
Stafnya segera mengambil dua jus di meja, dan menyajikan kembali dengan sedotan kertas berwarna putih biru.
“Problem kita memang konsistensi. Makanya perlu kepemimpinan yang kuat. Paling tidak di Bali ini,” ujar Gus De, panggilan akrabnya pada pertengahan Oktober lalu.
Gus De tak hanya pemilik Griya Santrian, salah satu hotel perintis di Sanur, Bali. Dia juga Ketua Yayasan Pembangunan Sanur (YPS), yang menaungi para pelaku pariwisata di Sanur. Griya Santrian memiliki hotel lain seperti Puri Santrian di Semawang dan Royal Santrian di Tanjung Benoa, Badung.
Gus De ingin menunjukkan bahwa pariwisata yang menerapkan konsep keberlanjutan baik dari sisi sosial, budaya, ataupun lingkungan justru lebih menguntungkan. Contohnya penggunaan sedotan kertas yang ramah lingkungan dibanding sedotan plastik.
baca : Desa-desa di Bali Ini Menarik Wisatawan sekaligus Menyelamatkan Lingkungan
Grup Santrian sudah membuktikan. Sejak berdiri 46 tahun lalu, hotel yang berada persis di pinggir Pantai Sanur ini mengedepankan aspek keberlanjutan, termasuk lingkungan. Begitu masuk kawasan hotel ini suasana terasa lebih lapang dan asri. Tidak layaknya hotel-hotel murah (budget hotel) yang makin memenuhi daerah lain di Bali.
“Kami menerapkan konsep dalam koefisien dasar bangunan (rasio bangunan dan tanah), 40 persen. Artinya hanya 40 persen untuk bangunan, 60 persen untuk pendukung,” kata Gus De. Pendukung itu, menurut Gus De, antara lain halaman, taman, kolam, dan lain-lain.
Di hotel terbaru mereka sekaligus yang paling mahal, Royal Santrian, bahkan perbandingan antara bangunan dengan sarana pendukung lebih besar lagi. Dengan luas lahan 3 hektar, jumlah kamar di Royal Santrian hanya 22. “Ini tentunya memberi ruang lebih banyak untuk lingkungan. Misalnya penyerapan air, tetapi juga faktor estetik,” ujarnya.
Suasana hotel terlihat lebih asri dengan pohon-pohon besar berumur puluhan tahun. Sebagian besar adalah pohon yang sudah ada bahkan sebelum hotel berdiri. Umumnya mereka jenis pohon pesisir seperti kelapa dan bakau (Calophyllum inophyllum L.) atau camplung dalam bahasa Bali.
Pohon-pohon besar itu memang sengaja dijaga seperti sebelum ada hotel. Di beberapa bagian hotel, bangunan kamar bahkan mengikuti bentuk pohon. Bukan pohon yang ditebang, tetapi bangunan yang menyesuaikan.
Tiap pohon berisi papan berisi nama masing-masing, seperti kemoning (Murraya paniculata), kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.), dan lain-lain. Tiap pohon juga berisi informasi dalam bahasa Inggris.
“Kami juga mengajak tamu untuk menanam pohon di hotel kami,” lanjutnya. Dia menunjukkan pohon di halaman berisi tulisan “Planted by Mr. Kristian French & Family. September 2016”.
baca juga : Ekowisata, Usaha yang Makin Jadi Andalan Pemasukan Kawasan Konservasi
Kearifan Tradisi
Sanur, yang terkenal dengan wisata pantai dan matahari terbitnya, termasuk perintis pariwisata di Bali. Sejak 1920-an, tempat ini menjadi tujuan pariwisata. Ketika sebagian besar tempat di Bali dipenuhi dengan hotel-hotel murah yang menjulang tinggi, Sanur relatif bisa menjaga.
Dosen Fakultas Pariwisata Universitas Udayana Nyoman Sukma Arida mengatakan Sanur memang lebih berkelanjutan dibandingkan pusat pariwisata lain di Bali, misalnya, Kuta. Selain karena fokus pada pasar penikmat pariwisata matang (manula) juga karena kuatnya peran desa adat. “Sanur juga dikelola dengan prinsip small scale tourism,” kata doktor di bidang kajian ekowisata ini.
Pada umumnya, hotel di Sanur masih berupa pondokan (cottages) dan bungalo dengan bangunan-bangunan kecil dan terpisah. Mereka juga masih membiarkan halaman luas nan asri dengan pohon-pohon perindang.
Salah satu alasan masih relatif terjaganya Sanur ini adalah adanya Peraturan Wali Kota (Perwali) Denpasar No.6/2013 tentang Peraturan Zonasi Kawasan Strategis Sanur. Secara umum Perwali ini mengatur Sanur dalam tiga zonasi.
Hal penting lainnya adalah komitmen untuk menjaga lingkungan hidup di kawasan Sanur, seperti mengelola sampah dan limbah. Karena komitmen itu pula maka Griya Santrian mendapatkan penghargaan tahunan Tri Hita Karana (THK) Award dari Yayasan Tri Hita Karana sejak 2000 silam.
Tri Hita Kirana merupakan konsep Bali dalam menjaga keseimbangan dengan tiga hal yaitu Tuhan (parahyangan), manusia (pawongan), dan alam (palemahan). Penghargaan tersebut diberikan kepada pelaku pariwisata Bali yang dianggap bisa menerapkan konsep THK dalam operasional mereka.
Gus De mengatakan secara tradisi, masyarakat Bali memang memiliki kearifan untuk menjaga lingkungan. Selain konsep THK, beberapa ritual pun bertujuan untuk menjaga keseimbangan alam, seperti Tumpek Bubuh, perayaan untuk menghormati tumbuh-tumbuhan, dan Nyepi, kegiatan untuk memberikan Bumi rehat selama 24 jam.
Dengan keberhasilannya mempraktikkan pariwisata berkelanjutan, termasuk menjaga lingkungan, hotel-hotel di Sanur pun justru mendapat keuntungan lebih besar. Dari sisi harga, mereka termasuk mahal. Griya Santrian, misalnya, harga paling murah hampir Rp2 juta/malam. Royal Santrian bahkan sampai Rp5,3 juta/malam.
Toh, meskipun harganya lebih mahal, tingkat huniannya relatif stabil, antara 70-80 persen.
menarik dibaca : EcoBali, Mendulang Barang Terbuang menjadi Uang
Panduan Penerapan
Ketika Bali makin terjebak pada pariwisata massal, yang menekankan pada jumlah dibandingkan mutu turis, penting untuk mengingatkan lagi pentingnya Bali menerapkan pariwisata berkelanjutan. Termasuk LSM lingkungan WWF.
Sejak 2015, WWF Indonesia meluncurkan platform Signing Blue sebagai panduan untuk praktik pariwisata berkelanjutan, terutama wisata bahari. Tak hanya bagi pelaku bisnis tetapi juga turis itu sendiri. Pelaku usaha pariwisata bahari dalam dibedakan menjadi empat yaitu akomodasi, pelaksana jalan-jalan (trip organiser), restoran, dan kapal rekreasi.
Menurut Indarwati Aminuddin, Koordinator Nasional Pariwisata Berkelanjutan WWF Indonesia, Signing Blue diharapkan bisa menjawab sejumlah tantangan pariwisata baharai saat ini. Misalnya konflik lahan, eksploitasi lingkungan, dan marginalisasi warga lokal.
“Tanpa standardisasi pengelolaan pariwisata, kita tidak akan menjawab tantangan pembangunan berkelanjutan,” kata Indarwati.
Indarwati menambahkan Signing Blue, bukanlah sertifikasi, tetapi dia memberikan penilaian sejauh mana pelaku usaha pariwisata telah menerapkan sejumlah kriteria dalam bisnisnya. Misalnya aspek sosial, ekonomi, ataupun lingkungan. Dalam aspek lingkungan, misalnya, bagaimana pelaku usaha itu memerhatikan jejak ekologis, pengelolaan sampah, dan lain-lain.
Kriteria dengan angka untuk menunjukkan penerapannya. Ada lima tingkat dalam penilaian Signing Blue yang disebut dengan Bintang Laut. Bintang laut 1 berarti pengelola usaha itu sudah berkomitmen. Bintang Laut 5 sudah menunjukkan secara nyata upaya konservasi, termasuk misalnya membuat cetak biru dalam kebijakan usahanya.
Saat ini, anggota Signing Blue di Bali baru tujuh perusahaan. Salah satunya Griya Santrian, yang memperoleh Bintang Laut 2. Selain itu ada pula The Haven Bali dan Sea Track yang sudah mendapatkan Bintang Laut Tiga bersama The Santa Villa Ubud.
Di Indonesia saat ini terdapat 104 perusahaan yang ikut Signing Blue. Mereka tersebar di 12 provinsi dengan jumlah paling banyak di Bali, NTB dan NTT. “Tidak hanya menyatakan komitmen, mereka juga sudah menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan,” kata Indar.
Menurut Indar jika bisnis tidak dikelola dengan bijaksana, secara perlahan ataupun cepat, ekosistem dan sumber daya alam mengalami penurunan kualitas.
Dengan menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan, pelaku usaha pariwisata bisa memperoleh manfaat ekonomi karena meningkatkan nilai jual pelaku pariwisata. “Saat ini mayoritas usaha pariwisata bergantung dari ekosistem yang sehat, dan di Indonesia, alam telah berbaik hati menyediakan semua yang dibutuhkan,” tambahnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Gus De dan Sukma Arida. “Dengan menaikkan perhatian pada keberlanjutan, kita bisa dapat menaikkan tarif. Itu menaikkan nilai jual. Aspek lingkungan sangat berpengaruh pada nilai jual,” tegas Gus De.
Sukma menambahkan pariwisata berkelanjutan memberi keuntungan lebih besar dalam jangka panjang. “Dalam jangka pendek ia mungkin merugi, tetapi pariwisata berkelanjutan memberikan keuntungan non finansial jauh lebih besar karena meletakkan unsur lingkungan sebagai panduan,” ujarnya.