Mongabay.co.id

Gubernur DKI Jakarta Tak Serius Hentikan Reklamasi Teluk Jakarta?

 

Keberadaan Pulau D yang menjadi bagian dari reklamasi Teluk Jakarta, hingga saat ini masih menjadi kontroversi. Walau secara hukum proyek reklamasi telah berhenti, tetapi pulau tersebut sampai saat ini masih terus dibangun dengan berbagai infrastruktur. Salah satunya, adalah pembangunan pusat jajanan atau food court yang sudah dioperasikan sejak 23 Desember 2018.

Beroperasinya pusat jajanan tersebut, menurut Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menjadi penegas bahwa Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tidak serius dalam menghentikan proyek reklamasi di Teluk Jakarta. Seharusnya, Gubernur mengetahui bahwa semua bangunan yang ada di pulau reklamasi hingga saat ini tidak memiliki izin alias ilegal.

“Fakta ini juga telah dibenarkan oleh Gubernur DKI Anies Baswedan dan jajarannya,” ucap Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati di Jakarta, pekan lalu.

baca :  Gubernur DKI Jakarta Langgar Aturan di Teluk Jakarta?

Keberadaan pusat jajan tersebut, ternyata membuat nelayan yang ada di sekitar Teluk Jakarta merasakan kaget. Selain tak berizin, pusat jajanan tersebut dinilai tidak layak untuk dioperasikan di atas pulau reklamasi yang sudah dihentikan. Bagi nelayan, kenyataan tersebut bertolak belakang dengan janji Gubernur DKI sebelum terpilih menjadi gubernur.

Menurut Susan, apa yang sedang terjadi sekarang, menunjukkan bahwa Anies Baswedan lebih banyak melakukan akrobat ketimbang menyelesaikan permasalahan yang ditinggalkan gubernur sebelumnya. Padahal, sudah jelas bahwa proyek reklamasi Teluk Jakarta sudah dinyatakan berhenti dan tidak boleh ada pembangunan dalam bentuk apapun.

“Anies tak serius menghentikan Reklamasi di Teluk Jakarta. Yang ada hanya berbagai akrobat untuk mengelabui masyarakat,” ungkapnya.

Indikasi ketidakseriusan Anies Baswedan dalam mengawal reklamasi Teluk Jakarta, menurut Susan, mulai terlihat setelah dia menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Saat itu, dia hanya membatalkan 13 pulau buatan, sementara 4 pulau lainnya tidak dibatalkan status hukumnya. Kebijakan yang dinilai sangat tidak masuk akal itu, menjadi penanda bahwa ada yang tidak beres dalam kasus tersebut.

“Padahal, empat pulau buatan ini telah melanggar hukum, merusak lingkungan, merugikan kehidupan nelayan di Teluk Jakarta,” tuturnya.

baca juga :  Penghentian Reklamasi Teluk Jakarta Harus Dikawal Masyarakat Pesisir

 

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan meletakkan batu pertama pembangunan Jalur Jalan Sehat dan Sepeda Santai (Jalasena) di Kawasan Pantai Kita, Kelurahan Kamal Muara, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, Minggu (23/12/2018). Jalan tersebut merupakan penghubung ke pulau reklamasi di Teluk Jakarta. Foto: Sudin Kominfotik Jakarta Utara/beritajakarta.id/Mongabay Indonesia

 

Kebijakan Ngawur

Setelah mempertahankan hukum status empat pulau reklamasi, Susan menyebutkan, Anies semakin memperlihatkan kebijakan yang tidak berpihak kepada nelayan, yaitu dengan memberi nama pada keempat pulau hasil reklamasi itu. Dimulai dari pulau C yang berganti nama menjadi Pulau Kita, pulau D menjadi pulau Maju, dan pulau G menjadi pulau Bersama.

Perubahan nama-nama pulau tersebut, kata Susan, ternyata disahkan melalui Peraturan Gubernur No.174/2018. Kebijakan tersebut semakin menegaskan bahwa Gubernur Anies sudah mengelabui masyarakat, terutama nelayan yang ada di sekitar Teluk Jakarta. Nelayan dikelabui pikiran tentang ruang terbuka untuk publik.

“Ini adalah langkah untuk mengelabui pikiran supaya kesadaran masyarakat terhadap ruang menjadi kabur,” terangnya.

Anies kemudian melanjutkan dengan membangun jalan penghubung ke pulau D. Lagi-lagi, Susan menegaskan bahwa pembangunan itu dilakukan tanpa dasar hukum yang jelas dan itu berarti Anies sudah melakukan pelanggaran hukum karena pulau D seharusnya tidak diperbolehkan untuk ada pembangunan.

“Bagaimana mungkin membangun sesuatu tanpa payung hukum?” ujarnya.

Puncaknya, pembangunan dan pengoperasian pusat jajanan di pulau D sejak 2018. Kebijakan tersebut bisa terlaksana, menurut Susan, bisa jadi karena Anies tidak mengetahui aktivitas bisnis yang terjadi di pulau D, atau Anies mengetahui hal ini tapi membiarkan tetap terjadi.

“Berbagai fakta menunjukkan, Anies mengetahui dan membiarkan hal ini terjadi. Buktinya, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu DKI Jakarta Edy Junaedi mengatakan sudah ada pengajuan izin sehubungan dengan pendirian restoran atau food court pulau reklamasi itu,” paparnya.

menarik dibaca :  Kenapa Gugatan Reklamasi Pulau F, I, dan K Bisa Dimenangkan PTUN Jakarta?

 

Sebuah kapal nelayan melintas di perairan Teluk Jakarta, Muara Angke, Jakarta Utara. Teluk Jakarta mengalami tekanan lingkungan yang tinggi, salah satunya karena proyek reklamasi. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Melihat perkembangan yang sedang terjadi sekarang, Susan meminta kepada Anies untuk tidak bermain-main dengan permasalahan reklamasi Teluk Jakarta. Menurut dia, kasus tersebut akan terus mendapat pengawalan dari masyarakat. Untuk itu, dia tegas meminta Gubernur DKI mengakhiri proyek apapun di atas pulaun reklamasi Teluk Jakarta.

“Anies harus berani melakukan itu demi masa depan kehidupan ribuan nelayan di Teluk Jakarta dan demi masa depan restorasi Teluk Jakarta,” pungkasnya.

Tentang pembangunan akses jalan masuk berupa jembatan sepanjang 7,6 kilometer ke area pulau reklamasi, dengan tegas Susan menilai bahwa itu adalah pelanggaran hukum karena belum ada perangkat hukum yang disiapkan oleh Anies. Meskipun, berikutnya Anies kemudian menerbitkan Peraturan Gubernur DKI Jakarta No.120/2018 tentang Penugasan kepada PT Jakarta Propertindo dalam Pengelolaan Tanah Reklamasi Pantai Utara Jakarta.

“Izin untuk PT Jakarta Propertindo membangun jembatan, adalah kebijakan ngawur,” ucapnya.

 

Pelanggaran Hukum

Walau Gubernur sudah keluar izin pembangunan jembatan selebar 3 km itu, Susan melihat banyak pihak berharap Anies menghentikan total segala aktivitas di pulau reklamasi. “Ini yang terjadi justru sebaliknya. Bahkan, Anies mengklaim kebijakannya itu tidak menyalahi aturan hukum,” tuturnya.

Susan menambahkan, di saat pembangunan jembatan sudah dilegalkan, masyarakat menghadapi kenyataan izin 17 pulau reklamasi masih belum jelas statusnya sampai sekarang. Bahkan, ada pulau yang masih berstatus mendapatkan izin untuk meneruskan pembangunan.

Padahal, Susan menyebutkan, sudah jelas bahwa hingga saat ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta masih belum memiliki Peraturan Daerah tentang Zonasi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) yang menjadi amanah dari UU No.1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

“Dengan adanya perda, itu bisa mengatur ruang di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil,” katanya.

baca juga :  Berikut Putusan Pemerintah Soal Pulau-pulau Reklamasi Teluk Jakarta

 

Sejumlah nelayan menyegel Pulau G, salah satu pulau hasil reklamasi di Teluk Jakarta. Mereka menyegel pulau buatan tersebut karena menolak reklamasi Teluk Jakarta yang merugikan mereka, Foto : Sapariah Saturi/Mongabay Indonesia

 

Bila DKI Jakarta punya Perda RZWP3K, maka pengaturan ruang di Jakarta menjadi lebih baik lagi. Dengan Perda tersebut, kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil tidak akan lagi bisa dijadikan privat dan sekaligus akses masyarakat terhadap tersebut akan lebih terbuka.

Melihat fakta tersebut, Susan menyarankan kepada Gubernur untuk mempertimbangkan kembali segala kebijakan yang berkaitan dengan pulau reklamasi di Teluk Jakarta. Selanjutnya, Gubernur harus segera menyelesaikan dan mengesahkan Perda RZWP3K, mengingat itu sudah menjadi kebutuhan mendesak dan bisa mengubah penataan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.

“Seharusnya Anies memprioritaskan Pengesahan Perda Zonasi karena aturan ini mendesak dan dibutuhkan untuk mengatur ruang pesisir dan pulau-pulau kecil di Provinsi DKI Jakarta supaya tidak dikuasai oleh perorangan dan menyingkirkan nelayan dan masyarakat pesisir lainnya. Jika bukan dengan Perda Zonasi, lalu payung hukumnya apa?” tanya Susan.

Jika tetap dibiarkan pembangunan jembatan akses ke pulau reklamasi, menurut Susan, Gubernur sedang mempertontonkan kepada publik tentang keberpihakannya kepada pengembang yang ada di pulau reklamasi. Dengan fakta itu juga, Gubernur tanpa sadar sedang mempertontonkan pengabaian kepada 25 ribu nelayan yang ada di kawasan pesisir DKI Jakarta.

 

Exit mobile version