Mongabay.co.id

Kajian: Dukungan DPR pada RUU Masyarakat Adat Rendah

Hutan dihancurkan untuk kebun sawit. Inikah bisnis yang akan dilanggengkan dengan omnibus law? Foto: Save Our Borneo

Perusahaan yang membuka kebun sawit dan berkonflik lahan dengan masyarakat adat Laman Kinipan di Kalteng. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

 

 

 

 

Pemilihan presiden dan wakil 17 April 2019, bersamaan dengan pemilihan anggota legislatif, berarti masa bakti anggota DPR 2014-2019, segera berakhir. Otomatis, agenda-agenda legislasi nasional bakal tak selesai, salah satu RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (RUU-PPMHA).

#Vote4Forest, sebuah inisiatif kolaborasi dari beberapa lembaga antara lain, Yayasan Madani Berkelanjutan, WikiDPR dan Change.org, membuat penelitian untuk mengetahui sejauh mana keberpihakan para anggota DPR saat ini terhadap pengesahan RUU-PPMHA. Hasilnya, menunjukkan, keberpihakan mereka masih sangat rendah.

Baca juga: Kado Hari Tani 2018: Presiden Tandatangani Perpres Reforma Agraria

Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Teguh Surya dalam diskusi di Jakarta, pekan lalu mengatakan, dari sembilan kali rapat Badan Legislasi (Baleg) yang membahas RUU-PPMHA terdapat 28 anggota aktif.

Mereka dari sembilan partai dengan komposisi Golkar (6), Demokrat (2), PDI-P (8), Gerindra (1), PKS (3), PKB (2), Nasdem (2), Hanura (1) orang, dan PAN (3).

Dari mereka, hanya 46% (12 orang) yang cenderung mendukung RUU, 42% (11 orang) bersikap netral, dan 12% (3) cenderung menolak.

Baca juga: Menanti Gerak Cepat DPR Rampungkan RUU Masyarakat Adat

Partai yang tegas mendukung pengesahan RUU-PPMHA yaitu Nasdem dan Gerindra. Partai cenderung mendukung PAN, PDI-P dan PKB. Partai yang tidak punya posisi jelas Golkar dan PKS. Sedang partai tak mendukung yaitu Hanura dan Demokrat.

Sebanyak 26 dari 28 anggota Baleg atau 93% dipastikan kembali maju di pemilu 2019. Dua anggota baleg yang tak maju antara lain, Azhar Romli dari Golkar karena meninggal dunia dan Khatibul Umam dari Demokrat. Selain itu, ada dua anggota DPR pindah partai yakni Rufinus dari Hanura dan Ammy Amalia Fatma Surya dari PAN, keduanya sama-sama ke Nasdem.

Baca juga: Mengupas Borok Agraria, Akankah Temukan Obatnya?

Berdasarkan data anggota dan sebaran masyarakat adat AMAN 2019, setidaknya ada 2.363 kelompok masyarakat adat tersebar di 30 provinsi dan 234 kabupaten atau kota. Sebanyak 16 dari 26 anggota DPR terlibat atau setara 62% mewakili dapil dihuni kelompok masyarakat adat, 38% tidak.

Riset Yayasan Madani, kata Teguh, memadukan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Metode deskriptif kualitatif melalui kajian menyeluruh atas opini pendapat anggota legislatif terhadap RU-PPMHA. Metode statistik kuantitatif untuk mengkalkulasi temuan kajian dan menyajikan data sederhana.

Baca juga: Akhirnya Kemendagri Dukung Pembahasan RUU Masyarakat Adat Lanjut

Sumber data utama dalam kajian ini adalah dokumen resmi KPU dan notulensi rapat membahas RUU rilisan WikiDPR. Ada sembilan periode rapat DPR yang membahas RUU-PPMHA, mulai 23 Agustus 2017, terakhir 24 September 2018.

“Kami juga menelusuri pemberitaan di media nasional dan publikasi materi-materi atas RUU terkait yang ditampilkan dalam akun media sosial portal berita,” katanya.

 

 

Subyek kajian ini, katanya, terbatas pada anggota Baleg DPR periode 2014-2019 yang terlibat aktif pembahasan RUU-PPMHA pada 2017 sampai akhir 2018, dan akan mencalonkan diri kembali pada pemilu 2019.

Dalam periode sama, ada 113 pemberitaan media terdiri dari 56% daring, 43% koran cetak dan 1% majalah, serta 100 cuitan terkait RUU-PPMHA dari anggota DPR terlibat.

Baca juga: Perpres Reforma Agraria Tanpa Masyarakat Adat

“Variabel pembanding adalah keberadaan kelompok masyarakat adat yang diwakili anggota DPR dalam pembahasan RUU-PPMHA dihimpun dari basis data sebaran masyarakat adat yang dirilis AMAN pada 2019.”

Rina Mardiana, Kepala Pusat Studi Agraria mengatakan, keberpihakan anggota DPR dalam mengesahkan RUU-PPMHA dilihat dari kehadiran dalam rapat pembahasan dan pernyataan mereka melalui berbagai pemberitaan, juga sosial media.

“Keberpihakan itu ada, karena kalau sudah hadir dalam rapat dan memberikan pernyataan. Ini sangat rendah. Pihak yang positif mendukung RUU-PPMHA dan netral sama jumlahnya. Yang negatif, tak mendukung itu sedikit.”

Rina bilang, dukungan anggota DPR rendah terhadap RUU-PPMHA bisa jadi karena mereka kurang paham mengenai urgensi pengesahan RUU ini.

“Kalau mereka kurang paham, bisa berasumsi dari sikapnya. Persentase yang netral itu tidak ada satupun yang berpendapat di media sosial. Kelihatannya, karena mereka tak paham. Karena pihak-pihak yang bersuara dan mengarusutamakan masyarakat adat itu sangat kecil sekali. Yang tak berpendapat lewat media sosial dan diam saja, lebih 60%.”

Dia juga melihat inkonsistensi sikap partai dengan anggota fraksi. Sikap partai dengan anggota, cenderung berbeda.

 

Milka Hamaela, warga Marena, sedang menjemur biji kakao. Dia merasa setelah ada rumah dan lahan berkebun sendiri, hidup lebih baik dari sebelumnya, walaupun masih banyak masalah, seperti kakao kena hama. Satu contoh komunitas adat yang mendapatkan pengakuan dan penetapan wilayah adat dari pemerintah di Sulawesi Tengah–walaupun belum seluruhnya–perubahan kehidupan tampak ke arah lebih baik walaupun masalah masih ada tetapi mereka sudah bisa menata hidup dengan wilayah adat yang jelas. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

 

UU penting

Pengesahan RUU-PPMHA sangat penting, katanya, karena masyarakat adat merupakan garda terdepan melindungi hutan dan lingkungan dari ancaman kehancuran yang memicu bencana ekologis.

Pada 2018 ada 2.486 bencana, mayoritas merupakan bencana ekologis buntut kualitas lingkungan makin buruk. Bencana menimbulkan korban jiwa dan hilang 4.231 orang, tertinggi dalam 10 tahun terakhir.

“RUU MHA memiliki urgensi tinggi segera disahkan. RUU ini syarat utama terakomodasi kepastian hukum terhadap masyarakat adat,”kata Teguh.

Kalau tak ada kejelasan pengakuan dan perlindungan, katanya, konflik lahan dan sumber daya alam, bakal terus tinggi. Sepanjang 2018, ratusan ribu masyarakat adat jadi korban konflik dari total 326 konflik sumber daya alam dan agraria di seluruh Indonesia. Ia melibatkan areal 2.101.858 hektar dengan korban sampai 186.631 jiwa, 176.673 jiwa masyarakat adat.

“Padahal, masyarakat adat di Indonesia beserta kebudayaan tradisionalnya amat vital dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Pengesahan RUU-PPMHA berlarut-larut sama saja memarjinalisasi peran penting masyarakat adat yang diakui dan dilindungi konstitusi,” katanya.

Bukan hanya dukungan anggota legislatif minim, pemerintah juga begitu. Meskipun Presiden Joko Widodo, jelas-jelas memerintahkan kepada bawahannya agar mempercepat pembahasan RUU-PPMHA, tetap ‘tersendat.’ Pemerintah belum menyerahkan daftar inventarisasi masalah (DIM) yang jadi syarat pembahasan lanjutan RUU ini.

Dia bilang, salah satu cara meminimalisasi bencana perubahan iklim adalah berperan dalam pemilu 2019 dengan memilih wakil rakyat yang memperjuangkan lingkungan dan masyarakat adat.

Menurut Rina, RUU-PPMHA ini, sangat penting karena aturan-aturan mengenai masyarakat adat masih banyak tumpang tindih. Ketika berbicara mengenai tanah, misal, kewenangan berada di Kementerian ATR/BPN, soal hutan berada di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Urusan pertambangan ada di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, pesisir dan pulau kecil berada di Kementerian Kelautan dan Perikanan. Untuk itu, perlu ada aturan jelas yang bisa mengharmonisasi berbagai peraturan-peraturan ini.

Erasmus Cahyadi, Deputi II Sekjen AMAN mendesak, segera pengesahan RUU-PPMHA. Pada periode Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, RUU-PPMHA hampir sah. Sayangnya, karena wakil pemerintah yang hadir dalam rapat bukan pihak berwenang mengambil keputusan. Saat itu, bahkan sudah terbentuk Pansus dengan Himmatul Aliyah sebagai ketua.

Erasmus menganggap, pembahasan RUU-PPMHA era Pemerintahan Jokowi mengalami kemunduran. DIM yang jadi syarat pembahasan RUU, sampai saat ini belum juga diserahkan pemerintah. Pansus pun belum terbentuk, sedang waktu tersisa makin menipis meskipun RUU-PPMHA masih masih dalam daftar prolegnas.

“RUU MHA sudah masuk Prolegnas. Seharusnya bisa segera disahkan. Pengesahan RUU-PPMHA bukan hanya berguna bagi masyarakat adat, juga pemerintah dan investor.”

Dengan pengesahan RUU ini, katanya, masyarakat adat akan mendapatkan kejelasan dalam urusan administrasi seperti KTP yang selama ini belum terpenuhi. Bagi investor, bisa menghindari konflik dengan masyarakat adat kalau wilayah adat jelas.

Selama ini, banyak konflik antara masyarakat adat dengan perusahaan terutama soal pengakuan hak atas tanah.

Selain itu, katanya, banyak peraturan perundang-undangan mengatur soal pertanahan, tetapi abai pemenuhan hak masyarakat adat atas wilayah mereka.

Keuntungan bagi pemerintah dengan pengesahan RUU-PPMHA, katanya, mempermudah pengurusan administrasi juga penyelesaian konflik.

Hingga kini, kata Erasmus, pemerintah belum mempunyai cara mengakomodir urusan administrasi masyarakat adat, misal, soal data kependudukan. “Masyarakat adat kehilangan hak politik karena mereka tak mempunyai KTP,” katanya.

Selain itu, dengan banyak konflik, pengakuan sah hukum atas hak tanah masyarakat adat jadi tidak jelas. Kondisi ini, katanya, memperuncing konflik. Aturan pun banyak tumpang tindih dan tak berpihak kepada masyarakat adat.

 

Keterangan foto utama:    Konflik lahan adat terus terjadi, seperti di Komunitas Laman Kinipan, Kalimantan Tengah. Perusahaan yang membuka kebun sawit tumpang tindih di hutan adat masyarakat  Kinipan. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

 

Air Terjun Bojokan, di Siberut, hutan adat orang Mentawai, dengan keliling pepohonan hutan dengan tutupan bagus ini masuk dalam konsesi Biomass. Beginilah kalau wilayah adat belum ada pengakuan dan perlindungan dari negara. Apakah hutan penjaga sumber air seperti ini akan jadi kebun kaliandra? Foto: Buyong/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version