Mongabay.co.id

Calon Pemimpin Indonesia Harus Berpihak pada Nelayan Kecil

 

Indonesia butuh pemimpin yang mau berkomitmen dan memahami kondisi sektor kelautan dan perikanan secara komprehensif. Pemimpin yang akan terpilih melalui pemilihan Presiden (Pilpres) pada 17 April April mendatang, juga harus bisa berpihak kepada nelayan skala kecil yang saat ini mendominasi sektor tersebut.

Dari dua pasangan calon presiden dan wakil presiden Republik Indonesia yang resmi terdaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU), masing-masing memiliki kelemahan dan kelebihan dalam memahami sektor kelautan dan perikanan. Namun, yang menjadi sorotan saat ini adalah kelemahan dari kedua pasangan calon yang sedang bertarung.

Hal itu diungkapkan Ketua Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Chalid Muhammad di Jakarta, Kamis (14/2/2019). Menurutnya, ada empat hal yang masih belum terlihat dari visi dan misi kedua pasangan calon (Paslon) berkaitan dengan sektor kelautan dan perikanan. Pertama, kedua paslon belum menyinggung tentang tambang bawah laut (deep sea mining) yang ada di wilayah laut Indonesia.

“Bagaimana mungkin produksi ikan bisa sustain jika tambang bawah laut tidak dipikirkan,” ucapnya.

baca :  Pemerintah yang Baru Harus Jaga Komitmen Transparansi Kelautan dan Perikanan

 

Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden pada Pilpres 2019. Foto : setkab.go.id/Mongabay Indonesia

 

Kedua, ancaman bagi perikanan dan nelayan Indonesia dan belum eksplisit ada dalam rumusan visi dan misi kedua paslon adalah berkaitan dengan keselamatan para nelayan dan keluarganya dari ancaman bencana alam. Poin tersebut menjadi penting, karena Indonesia adalah wilayah yang masuk dalam pusat bencana dunia (ring of fire).

“70% penduduk Indonesia ada di kawasan pesisir dan berprofesi sebagai nelayan. Dengan pengetahuan yang minim, maka akan merenggut korban jiwa kalau terjadi bencana alam dan itu korbannya dari keluarga nelayan. Kalau tidak dipikirkan, maka akan berakibat pada produksi ikan nasional,” tuturnya.

Poin ketiga yang menjadi ancaman, adalah berkaitan dengan anomali cuaca. Menurut Chalid, hingga saat ini kedua paslon belum memberikan rencana mereka berkaitan dengan fenomena tersebut. Seharusnya, kedua paslon sama-sama berpikir untuk bisa menyajikan informasi yang mudah dan akurat tentang iklim dan perubahan iklim bagi nelayan.

“Sehingga, yang dilakukan nelayan saat hendak melaut, bukan lagi melihat fenomena alam, tapi membaca informasi dari Pemerintah,” jelasnya.

baca juga :  Sudah Tepatkah Kebijakan Pemerintah di Sektor Kelautan dan Perikanan?

 

Presiden Jokowi saat Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto di Beranda Istana Merdeka, Kamis (17/11/2016). Foto : Rahmat/setkab.go.id/Mongabay Indonesia

 

Nelayan Kecil

Terakhir, atau poin keempat, Chalid menyebutkan tentang keberlanjutan dari keluarga nelayan. Poin tersebut adalah tentang upaya yang dilakukan Pemerintah untuk menjaga profesi nelayan agar tetap lestari dan menarik minat anak muda dari wilayah pesisir. Seharusnya, kedua paslon bisa berlomba bagaimana membuat perencanaan agar anak muda bisa tetap tertarik untuk menjadi nelayan.

“Jangan sampai, anak muda tidak mau lagi meneruskan profesi orang tuanya sebagai nelayan, hanya karena profesi tersebut sudah tidak menjanjikan dari segi penghasilan. Oleh itu, ini juga menjadi pekerjaan rumah yang menjadi ancaman jika tidak dibicarakan sejak sekarang,” ungkapnya.

Penilaian tersebut, di mata Chalid semakin tidak jelas, karena gairah untuk menggaungkan sektor kelautan dan maritim pada pilpres 2019 tidak sekuat pada pilpres 2014 lalu. Bahkan, bagi dia, pada tahun ini gaungnya tidak ada sama sekali. Itu bisa jadi mengindikasikan bahwa isu tersebut dinilai sudah mulai tidak menarik lagi bagi paslon.

“Dulu (2014), itu kampanye menghadap kembali ke laut begitu kuat digaungkan. Tapi tahun ini mana?” tegasnya.

menarik dibaca :  Kapan Industri Perikanan Nasional Kuat Lagi?

 

Seorang nelayan dari Suku Bajo sedang mencari ikan di perairan Pulau Bungin, Sumbawa Besar, NTB. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Sementara, Ketua Harian DPP KNTI Marthin Hadiwinata di kesempatan yang sama mengatakan, meski dinilai ada keberhasilan dan kegagalan pada periode kepemimpinan Joko Widodo, namun yang harus dilakukan oleh kedua paslon sekarang adalah bagaimana memperbaiki kondisi sektor kelautan dan perikanan dan meningkatkannya ke level lebih baik lagi.

“Tantangan besarnya adalah meningkatkan produksi (perikanan), memanfaatkan sumber daya ikan yang melimpah untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat,” ujarnya.

Agar hal positif bisa terbangun dan terwujud, Marthin meminta kedua paslon untuk memperhatikan tiga hal yang menjadi syarat pengelolaan perikanan, yaitu ketersediaan sumber daya perikanan, adanya regulasi mendukung pemanfaatan sumber daya perikanan secara baik, dan adanya partisipasi aktif organisasi nelayan.

Marthin menyebutkan, dalam empat tahun terakhir, upaya Pemerintah Indonesia melindungi sumber daya sudah sangat baik. Pencurian ikan diberantas ditandai dengan 488 unit kapal pencuri ikan ditenggelamkan. Potensi ikan meningkat jauh dari sebelumnya 6,5 juta ton meningkat menjadi 12,5 juta ton. Bank Mikro Nelayan sebagai pendukung permodalan perikanan diberikan hingga program perlindungan sosial seperti asuransi perikanan.

“Namun produksi dan ekonomi perikanan masih relatif rendah,” tegasnya.

Stagnasi yang masih terjadi pada produksi perikanan nasional, menurut Marthin, bisa terjadi karena ketidakpastian dalam penyelesaian polemik perikanan, seperti dukungan Pemerintah dalam peralihan alat tangkap, bantuan kapal perikanan, akses permodalan hingga dukungan perlindungan dan pemberdayaan nelayan.

baca juga :  Tata Kelola Kapal Perikanan Masih Amburadul?

 

Indonesia yang lautnya kaya akan ikan. Foto: Junaidi Hanafiah

 

Keunggulan

Adapun, keunggulan dari paslon petahana Joko Widodo dan Ma’ruf Amin, di mata KNTI, adalah usulan melakukan integrasi pengaturan ruang antara darat dan laut yang selama ini kerap menjadi sumber permasalahan dan konflik. Namun, usulan tersebut harus dijelaskan lebih detil lagi, karena jangan sampai integrasi tersebut hanya menjadi bias darat alias berfokus pada wilayah darat saja alih-alih mengembangkan wilayah laut.

“Mengingat hingga saat ini masih ditemukan konflik pemanfaatan ruang dalam pembangunan infrastruktur kelautan yang tidak mendasarkan kepada rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K),” ungkapnya.

Sementara, untuk paslon Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno, KNTI menilai, keunggulannya adalah pada usulan program berupa jaminan harga pangan yang akan menguntungkan nelayan. Meski program tersebut dinilai sangat baik, namun paslon tersebut harus memberikan rincian lebih taktis seperti apa gambaran peningkatan produksi perikanan bisa dinikmati oleh setiap nelayan.

Kemudian, keunggulan lain dari paslon tersebut, menurut KNTI, adalah strategi untuk melakukan percepatan pembangunan di wilayah pedalaman dan pesisir. Akan tetapi, lagi-lagi, usulan program tersebut dinilai belum mengelaborasi ekonomi pedesaan lokal dengan entitas yang sudah ada seperti badan usaha milik desa (BUMDes).

Dari visi dan misi yang dikampanyekan kedua paslon, Ketua Departemen Riset KNTI Hendricus Pratama menyimpulkan bahwa kedua paslon belum memberikan proyeksi mereka tentang kelembagaan pengelolaan pangan perikanan. Kehadiran lembaga seperti itu, di mata KNTI bisa menyelesaikan segala persoalan yang selama ini menimpa sektor kelautan dan perikanan.

“Terutama dalam produksi perikanan yang saat ini dinilai mandek,” sebutnya.

perlu dibaca :  Catatan Akhir Tahun : Perikanan Berkelanjutan, Bukan Lagi Syarat, Tapi Kebutuhan untuk Industri Perikanan

 

Keramaian yang terlihat di tempat pelelangan ikan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Menurut Hendrik, selama ini persoalan di lapangan selalu ada pada pengelolaan hasil tangkapan dari laut yang tidak bisa dijaga kesegarannya karena ketiadaan lemari pendingin (cold storage). Kondisi tersebut ternyata memberi andil pada kenaikan inflasi selama dua tahun terakhir pada 2017-2018 yang diakibatkan pasokan ikan tidak stabil karena distribusi terhambat.

“Kedua pasangan calon perlu mempertimbangkan serta meninjau ulang kelembagaan pengelola pangan perikanan yang dapat ditunjuk sebagai pengawas, pengontrol dan pengelola hasil perikanan, termasuk didalamnya berkaitan dengan ekpor dan impor,” ucapnya.

Dari fakta-fakta di atas, KNTI memberi rekomendasi kepada kedua paslon, yaitu:

  1. Kepada KPU agar memberikan pertanyaan kepada kedua pasangan calon untuk fokus dalam upaya peningkatan produksi perikanan baik perikanan tangkap maupun perikanan budidaya. Peningkatan produksi perikanan haruslah memastikan bagaimana keterlibatan nelayan untuk mendapatkan manfaat dari produksi perikanan;
  2. Kepada Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden untuk lebih mempertajam terkait dengan visi-misi-program dalam upaya peningkatan produksi pangan perikanan;
  3. Kepada Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden untuk membuka dialog yang seluas-luasnya kepada komunitas nelayan; dan
  4. Seluruh nelayan Indonesia untuk aktif dalam Pemilu 2019 untuk memastikan Presiden terpilih benar-benar memiliki komitmen kuat melindungi dan menyejahterakan keluarga nelayan.

 

Exit mobile version