Keberhasilan Pemerintah Indonesia memberantas praktik perikanan ilegal di semua wilayah perairan laut Indonesia, seharusnya bisa menjadi motivasi kuat untuk menggenjot produksi sektor perikanan dan kelautan. Dalam kenyataannya, sejak 2014 hingga sekarang, sektor tersebut masih berjalan di tempat dan terus memperlihatkan tren penurunan dari sisi bisnis.
Kenyataan tersebut disadari oleh Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch Indonesia Moh Abdi Suhufan. Kepada Mongabay, dia mengatakan bahwa upaya yang sudah dilakukan Pemerintah Indonesia dalam memberantasa aksi illegal, unreported, unregulated fishing (IUUF) patut diapresiasi. Namun, itu tidak boleh melupakan pekerjaan rumah lain untuk mengembangkan industri perikanan yang terpuruk.
“Keberhasilan ini perlu diikuti dengan upaya pengelolaan perikanan oleh Pemerintah dan pelaku usaha dalam negeri,” ucapnya, pekan lalu.
baca : Pembangunan Industri Perikanan Bakal Mandek Tahun Depan, Benarkah?
Pemerintah harus menjalankan stimulus kebijakan dan program yang bisa memicu pertumbuhan industri perikanan dalam negeri. Sejauh ini, dia melihat kalau Peraturan Presiden No.3/2017 tentang Rencana Aksi Percepatan Pembangunan Industri Perikanan Nasional masih belum terimplementasi dengan efektif.
Selama perpres tersebut ada, Abdi melihat, sangat sedikit program nyata yang digulirkan Pemerintah melalui kementerian dan lembaga untuk merealisasikan isi yang tertuang di dalam Perpres. Padahal, dengan momentum sekarang dimana kapal ikan asing (KIA) yang ilegal sudah menurun drastis, itu bisa dijadikan sebagai langkah untuk meningkatkan stok ikan di laut.
“Dengan demikian, Pemerintah bisa mempercepat pembangunan industri perikanan nasional,” jelasnya.
Langkah berani yang dilakukan Pemerintah dalam memberantas IUUF, harus didukung semua pihak. Walau dalam triwulan pertama 2018 kasus pencurian ikan oleh KIA masih terjadi di sejumlah wilayah perairan, namun dari segi jumlah itu sudah menurun drastis.
“Tren pencurian ikan menurun dibandingkan kondisi 3 tahun lalu, karena tindakan tegas otoritas terkait, intensifikasi pengawasan dan penggunaan teknologi satelit oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam memantau perairan Indonesia,” katanya.
baca : Laut Natuna Masih Disukai Kapal Asing Penangkap Ikan Ilegal. Kenapa?
Penenggelaman Kapal
Salah satu upaya tegas yang dilakukan Pemerintah dalam mengusir pencuri ikan dengan KIA, adalah kebijakan penenggelaman kapal. Kebijakan tersebut, menurut Abdi adalah kebijakan yang memberi efek jera bagi pemilik kapal asing yang biasa melakukan penangkapan ikan di wilayah perairan Indonesia.
“Dengan kebijakan tersebut, pelaku perikanan ilegal berpikir dua kali untuk kembali memasuki perairan Indonesia,” tuturnya.
Mengingat ada efek jera yang ditimbulkan, Abdi meminta Pemerintah untuk tetap konsisten melaksanakan kebijakan penenggelaman kapal. Namun, bersamaan dengan pelaksanaan kebijakan tersebut, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) harus meluaskan pengawasan bagi kapal ikan Indonesia yang biasa menangkap ikan di wilayah perairan seluruh Nusantara. Kapal-kapal dalam negeri tersebut, terindikasi juga melakukan praktik alih muat kapal (transshipment) di laut perbatasan.
“Praktik tersebut jelas dilarang oleh Negara,” tegasnya.
Dari keberhasilan tersebut, Abdi mengingatkan, langkah berikut yang harus dilakukan Pemerintah adalah membuat rencana dan strategi pengelolaan perikanan melalui pembangunan industri perikanan. Pembangunan industri perikanan nasional diperkirakan akan menyerap 3,8 juta penduduk Indonesia yang bekerja dari industri perikanan dari hulu ke hilir.
Berkaitan dengan Pepres No.3/2017, Peneliti DFW Indonesia Subhan Usman menjelaskan, ada semangat Nawacita yang terkandung di dalamnya, yaitu untuk membangun industri perikanan di daerah pinggiran dan mengurangi disparitas infrastruktur perikanan Jawa dan luar Jawa. Agar itu bisa terwujud, maka perlu ada skala prioritas pembangunan infrastruktur perikanan di luar pulau Jawa.
“Selain itu, memperkuat kelembagaan nelayan, melengkapi regulasi pengelolaan perikanan dan melancarkan transportasi perhubungan,” paparnya.
baca : Amanat Inpres : Percepatan Pembangunan Industri Perikanan Harus Segera Dimulai. Ada Masalah Apa?
Akan tetapi, Subhan mengatakan, walau ada semangat Nawacita, hingga saat ini energi Pemerintah banyak tersita pada penyelesaian alat penangkapan ikan (API) cantrang dan di saat bersamaan masih ada faktor penghambat lain, yaitu lemahnya koordinasi dan keterpaduan antar sektor.
“Tidak ada leadership yang kuat atau keinginan mengambil tanggung jawab oleh kementerian untuk menjalankan Perpres No.3/2017. Perlu dibentuk satgas industrialisasi perikanan untuk akselerasi dan mengurai bottleneck program,” ungkapnya.
Subhan memaparkan, di dalam Perpres No.3/2017, terdapat 5 program dan 28 kegiatan yang harus dilakukan secara strategis dan intensif oleh berbagai kementerian. Beberapa amanat Perpres tersebut yang saat ini pelaksanaannya sangat lamban, yaitu pembangunan 4.787 kapal ikan berukuran di bawah 30 gros ton (GT) oleh Pemerintah dan 12.536 kapal ikan diatas 30 GT oleh swasta.
Kemudian, amanat berikutnya adalah pembangunan sistem rantai dingin di 31 lokasi Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT), penambahan jumlah pelabuhan ekspor hasil perikanan melalui penetapan bandara dan pelabuhan laut untuk ekspor di 20 lokasi SKPT, serta 3000 usaha kecil menengah (UKM) perikanan yang berbadan hukum koperasi.
Dari semua amanat yang terkandung dalam Perpres, Subhan menyebutkan, Pemerintah inkonsisten dalam pelaksanaan SKPT yang berdampak pada keterlambatan pembangunan infrastruktur perikanan. Selain itu, juga inkonsisten dalam penguatan kelembagaan nelayan di beberapa lokasi prioritas seperti Saumlaki (Maluku), Biak (Papua), Nunukan (Kalimantan Utara), dan Mimika (Papua).
baca : Mengapa Komitmen Pemerintah untuk Membangun SKPT di Pulau Terluar Terus Turun?
Agar inkonsistensi tersebut bisa diperbaiki, Subhan menyarankan kepada Menteri Koordinator Kemaritiman untuk bisa mengoordinasikan pelaksanaan Perpres No.3/2017 lebih kuat lagi, sehingga dalam sisa waktu pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla, pelaksanaan industrialisasi perikanan bisa lebih kelihatan hasilnya.
“Koordinasi program yang sangat lemah ini harus segera diatasi oleh Menko Maritim agar pembangunan industri perikanan khususnya di daerah-daerah pinggiran dapat segera direalisasikan,” pungkasnya.
Diketahui, dibandingkan 10 tahun lalu, kasus pencurian ikan saat ini menurun drastis. Pada 2008, pencurian ikan oleh kapal asing tercatat sebanyak 292 kapal, sementara sampai dengan 18 Mei 2018, kasus pencurian ikan oleh kapal asing hanya 13 kapal.
baca : Kenapa Percepatan Industrialiasasi Perikanan Nasional Harus Dievaluasi?
Koneksi Lemah
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengakui bahwa peningkatan ekonomi nasional dari sektor kelautan dan perikanan belum maksimal tercapai dalam empat tahun terakhir. Ada hambatan seperti koneksi bisnis dari sektor tersebut yang belum terjalin dengan kuat. Dia menyebut, koneksi bisnis yang ada saat ini masih lemah, walau pasokan ikan sudah tersedia dengan melimpah.
Susi mengatakan, berbagai upaya mewujudkan peningkatan ekonomi dari sektor kelautan dan perikanan sudah dilakukan semaksimal mungkin dalam empat tahun. Salah satu simpulnya, adalah dengan merebut kembali kedaulatan laut Indonesia dari orang asing.
“Ikan sudah banyak, keluhannya orang yang nangkep ikan susah cari pasar. Sedangkan di satu posisi kita belum ada bahan baku. Kalau kapal asing masih jalan kita tidak punya bahan baku,” ungkap dia.
baca : Koneksi Bisnis Lemah Sebabkan Industri Perikanan dan Kelautan Anjlok?
Mengingat masih ada kelemahan yang signifikan, Susi berharap Pemerintah, badan usaha milik Negara (BUMN), dan stakeholder kelautan dan perikanan bisa melakukan koordinasi sebaik mungkin dalam bisnis dan investasi sektor tersebut. Koordinasi menjadi sangat penting, karena itu akan bisa mewujudkan akselerasi bisnis dan investasi.
Menurut Susi, pihak yang perlu segera melakukan akselerasi itu, diantaranya adalah BUMN seperti PT Perikanan Nusantara (Perinus) dan Perum Perindo. Kedua BUMN itu, diharapkan bisa segera meningkatkan perekonomian masyarakat Indonesia yang bergerak dalam sektor kelautan dan perikanan.
Tak hanya dua BUMN perikanan, Susi menyebut, demi keberlangsungan bisnis dan investasi sektor perikanan dan kelautan, dia juga meminta bantuan kepada PT Pelni untuk bisa menyediakan transportasi pengangkutan dan pengiriman produk kelautan dan perikanan di seluruh Indonesia. Terutama untuk pulau-pulau terluar di Indonesia.
“Seminggu tiga kali, paling tidak dari Merauke atau dari Timika (Papua), (kapal) Pelni selalu kosong pulangnya. Sementara kapal-kapal ikan di Timika dan Merauke nungguin dua minggu sekali untuk angkut ikannya,” jelasnya.
Dengan adanya rute yang bisa membantu pengangkutan dari pulau ke pulau, itu akan memangkas biaya dan waktu. Untuk itu, dia meminta Pelni untuk membantu optimalisasi pemanfaatan fasilitas transportasi milik Negara untuk pengangkutan produk kelautan dan perikanan.
Melalui kemudahan yang diharapkan bisa diberikan Pelni dan BUMN lain, Susi berharap, bisnis dan investasi di Indonesia bisa terus membaik. Tetapi, agar bisa berjalan selaras, dia meminta semua pihak terkait untuk melakukan perbaikan dalam menggenjot perekonomian di sektor yang dipimpinnya itu.
Hal lain yang disoroti Susi dan harus diperbaiki, seperti memperbaiki sistem logistik dan transportasi produk perikanan, mengubah pola pikir pengusaha yang berorientasi pada usaha perikanan yang berkelanjutan, menyiapkan dukungan permodalan bagi nelayan dengan bantuan perbankan, dan menyiapkan pengusaha perikanan yang inovatif dan mampu mengolah diversifikasi produk perikanan.