Mongabay.co.id

Setelah Dirikan Sekolah Kelapa Sawit, Begini Rencana Pemerintah Musi Banyuasin Selanjutnya

 

 

Kabupaten Musi Banyuasin [Muba], Sumatera Selatan, kembali menarik perhatian terkait kebijakannya terhadap perkebunan kelapa sawit. Setelah mencanangkan pilot project peremajaan atau replanting perkebunan kelapa sawit pada 2017, lalu mendirikan SMK Kelapa Sawit yang didukung Mendiknas, kini kabupaten tersebut berencana menjadi penyedia bahan baku biofuel.

Hal ini ini disampaikan Dodi Reza Alex Noerdin, Bupati Kabupaten Muba, saat menjadi pembicara Seminar Teknis Kelapa Sawit [STKS] dan Pameran Peremajaan Perkebunan Kelapa Sawit, Prinsip Ketenagakerjaan di Perkebunan Kelapa Sawit, Sharing Socfindo’s Experience on Oil Palm Productivity [SSEOPP] & Field Trip di Palembang, Selasa [13/2/2019].

Seperti dikutip dari Sindonews, Dodi mengatakan sebagian besar masyarakat di Muba hidup dari perkebunan, khususnya sawit. Guna meningkatkan kemakmuran para petani, sawit menjadi prioritas dengan berbagai program terobosan.

Dodi menjelaskan, saat ini ribuan hektar kebun sawit rakyat siap menjadi penyedia bahan baku untuk memenuhi berbagai kebutuhan. Sebagai langkah awal, produksi turunan dari tandan buah segar itu akan dikirim ke kilang minyak milik PT. Pertamina di Plaju, Palembang.

Baca: Sekolah Kelapa Sawit Didirikan di Musi Banyuasin. Kenapa Bukan Pendidikan Konservasi Diutamakan?

 

Di Sumatera Selatan tercatat, ada lima kabupaten yang wilayahnya memiliki perkebunan sawit yang luas. Foto: Rhett Butler/Mongabay.com

 

Pada 2017 lalu, Kabupaten Muba meremajakan perkebunan sawit rakyat seluas 7.500 hektar,  dan pada 2019 bertambah 5.000 hektar. Dodi menjelaskan, hasil produksi dari kebun muda dan pemanfaatan produksi gas ini akan dijadikan biosolar dalam upaya menaikkan harga sawit petani rakyat. Ini mendukung Paris Agreement CoP 21 tentang energi baru terbarukan.

“Kami juga berpotensi menghasilkan biosolar hingga B100 dari peremajaan kelapa sawit, jadi tidak lagi berbicara B20, tapi sudah memikirkan energi terbarukan dan kebutuhan masa depan,” katanya.

Mewujudkan upaya tersebut, Kabupaten Muba segera merelealisasikan Verified Source Area [VSA]. Penerapan VSA memastikan semua komoditas sawit dan karet dari Kabupaten Muba terverikasi sehingga klaim produk tidak akan terjadi. “Artinya, tidak bisa lagi pihak dari luar menyerang isu deforestasi dari hasil komoditas sawit,” katanya.

Dikutip dari berita yang sama, Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit [Gapki] Sumsel, Sumarjono Saragih, mengatakan upaya yang dilakukan Bupati Muba memakmurkan petani sawit mandiri serta menjadikan sawit komoditas perkebunan berkelanjutan dan ramah lingkungan merupakan cara melawan isu pihak luar yang menyebut sawit di Indonesia tidak ramah lingkungan. “Kami sangat mengapresiasi upaya-upaya tersebut,” katanya.

Baca: Aktivis Lingkungan Cemas, Melihat Penanaman Sawit Simbolis yang Dilakukan Presiden Jokowi. Mengapa?

 

Perkebunan sawit. Foto: Rhett Butler/Mongabay.com

 

Hanya ekonomi

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara [AMAN] Sumsel menilai, program yang dijalankan pemerintah Kabupaten Muba itu, “Ide teknokratik, melulu di hilir yang diakselerasi, jadi kuat kesan cuma melayani industri, korporasi, dan kebutuhan pasar bebas. Tapi problem di hulu industri selalu tidak disentuh seperti degradasi hutan, konflik lahan, korupsi perizinan dan praktik manipulasi lahan industri perkebunan,” kata Rustandi Adriansyah, Ketua BPH AMAN Sumsel, Kamis [14/2/2019].

“Jadi, argumen yang dibangun tentang ketenagakerjaan itu kurang tepat karena problemnya pada ketimpangan struktur penguasaan lahan akibat praktik pencabutan hak rakyat atas tanah dan hutan. Kondisi ini seperti yang dialami masyarakat adat,” katanya. “Maka, wajar kalau muncul istilah mencetak buruh milenial,” lanjutnya.

Conie Sema dari Teater Potlot, sebuah kelompok teater yang fokus persoalan lingkungan hidup, mengatakan karakter pemerintahan Indonesia saat ini tidak jauh dari pemerintahan sebelumnya. “Memaknai bentang alam sebagai bentang ekonomi, bukan memaknai bentang alam sebagai bentang budaya. Artinya, bentang alam itu bukan semata bertujuan ekonomi juga nilai-nilai kehidupan lainnya,” katanya, Jumat [15/2/2019].

“Saya rasa, mereka sudah sangat paham jika kebutuhan manusia itu bukan hanya uang, juga jaminan pangan, oksigen, air bersih, sehingga kehidupan manusia menjadi nyaman dan tenang. Agar mencapai hal tersebut, caranya manusia harus menjaga kehidupan di sekitarnya, baik flora maupun fauna. Jika bentang alam hanya difokuskan pada upaya ekonomi seperti menjadikannya perkebunan sawit, jelas mengganggu kebutuhan lainnya,” katanya.

“Saya percaya, sawit memang mendatangkan keuntungan ekonomi bagi negara, tapi jangan jadi berlebihan. Isitilahnya, berbagi dan jangan tamak terhadap bentang alam,” ujarnya.

Baca juga: Gelebak Dalam, Desa Sentra Padi yang Berjuang Mandiri

 

Perkebunan sawit skala besar. Foto: Rhett Butler/Mongabay.com

 

Keliru?

INAgri [Institut Agroekologi Indonesia] dalam keterangan tertulis yang ditandatangani Abdul Hadi Nasution, selaku sekretaris, menilai “Gagasan Pemerintah Kabupaten Muba terlihat pro pembangunan hijau, tetapi sesungguhnya jauh dari makna dasar keberlanjutan. Menggadangkan bahan bakar nabati atau biofuel yang dalam gagasan Bupati Muba disebut biosolar sebagai energi hijau adalah kekeliruan,” tulis Abdul Hadi Nasution, Kamis [14/2/2019].

“Selama kelaparan, stunting, dan kemiskinan di tingkat petani belum tertangani, langkah biofuel adalah kekeliruan. Untuk apa menghabiskan energi untuk bahan bakar nabati sementara masalah pangan belum selesai.”

Selanjutnya, jika hanya dilihat dari aspek carbon sink dan carbon storage maka penanaman sawit mungkin sebuah langkah jitu untuk menangkal tudingan deforestrasi. Dengan ini, carbon sink dan carbon storage bisa jadi akan seimbang. Tetapi, jika deforestrasi dianalisis menggunakan pendekatan ekologi, banyak jasa ekosistem yang hilang.

Sebagai komoditas yang memperlihatkan praktik monokultur skala besar, penanaman sawit berkait erat dengan deforestasi. Dampak terbesar monokultur adalah terputusnya rantai makanan besar di hutan, hilangnya keragaman varietas liar [wild variety] baik flora maupun fauna yang belum diketahui fungsi dan kemanfaatannya bahkan namanya.

 

Pertanian, apakah masih menarik perhatian generasi muda untuk menggelutinya? Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

INAgri mengutip Kajian Studi Agraria Annie Shuttuck yang memperlihatkan model kerja sama petani dan perusahaan besar, lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaat. Kelas petani tidak pernah naik dalam strukur ekonomi dan agraria.

Harusnya, adanya jaminan negara atas hasil pertanian atau perkebunan petani. Apabila hasil pertanian dijamin harga yang layak, apa pun yang akan ditanam petani akan menyejahterakan mereka. Seperti karet, jengkol, kelapa, pinang, maupun jenis tanaman lainnya, apa pun komododitasnya, selama negara menjamin harga dan tata niaga, maka kesejahteraan petani akan tercapai. “Bukan pada skema kerja sama yang hanya memberikan jaminan atas satu komoditas yang sarat praktik tidak agroekologis,” lanjutnya.

Dengan punahnya ekosistem alami akibat praktik monokultur skala besar, jauh dari makna ramah lingkungan, tidak layak disebut berkelanjutan. Selain tidak ramah lingkungan, sawit juga diprediksi tidak ramah terhadap ekonomi. Bisnis biofuel hanya menguntungkan pemilik dan pengembang bioteknologi.

Sementara, penyelenggaraan pelatihan bagi para petani atau buruh tani sawit yang akan dilakukan dalam rencana progran hanya jurus untuk meningkatkan produktivitas tanaman oleh petani buruh pabrik biofuel. “Petani dijaga supaya menjadi penyuplai bisnis industri. Produktivitas petani akan tetap dipelihara untuk melanggengkan struktur penguasaan dan kooptasi perusahaan terhadap petani dan sumberdaya alam,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version