Mongabay.co.id

Capres Dinilai Belum Punya Visi Kelautan yang Berkelanjutan

Sekelompok nelayan di pantai Depok, Yogyakarta. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Mengenai pertanyaan panelis debat capres tentang perlindungan dan pengentasan nelayan, dua capres tidak menjawab proyeksi prioritas untuk itu. “Beberapa kali pernyataan sempat menyinggung, tapi tidak memuaskan. Padahal sudah ada UU No.7/2016 tentang. Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya. Ikan, dan Petambak Garam,” kata Marthin.

Banyak pihak merasa kecewa dengan hasil debat calon presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto pada Minggu (17/02/2019) malam.

Visi misi dan program kerja tentang sektor kelautan dan perikanan pada debat bertema energi, pangan, infrastruktur, sumber daya alam dan lingkungan dinilai tidak memuaskan.

Kedua capres menjawab pertanyaan panelis tentang peta jalan dan strategi mengelola sumber daya maritim untuk mewujudkan kemakmuran  dan kesejahteraan rakyat Indonesia.

baca :  Calon Pemimpin Indonesia Harus Berpihak pada Nelayan Kecil

 

Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden pada Pilpres 2019. Foto : setkab.go.id/Mongabay Indonesia

 

Capres 01 Joko Widodo menjawab dengan mengemukakan keberhasilan penanganan pencurian ikan dengan mengusir 7000 kapal asing dan 448 kapal asing yang telah ditenggelamkan.  “Menjadi kesempatan bagai nelayan-nelayan kita untuk memanfaatkan sumber daya laut terutama ikan bisa lebih sejahtera,” katanya.

“Selain ikan memiliki offshore, sekarang ini banyak sekali ladang-ladang minyak yang belum tereksplorasi di laut kita. Kita akan terus kita dorong ladang-ladang minyak kepada negara, bisa memberi incomekepada negara,” katanya.

Jokowi juga menyinggung tentang pembenahan infrastruktur laut, dengan menggenjot pembangunan tol laut untuk konektivitas antar pulau, terutama di Indonesia bagian timur.

Dia juga menyebutkan tentang BUMN perikanan yaitu Perum Perikanan Indonesia (Perindo) dan PT Perikanan Nusantara (Perinus) yang telah bekerja membeli ikan dari para nelayan.

Pemerintahan Jokowi juga telah membebaskan perizinan melaut untuk nelayan kecil yang mempunyai kapal berbobot dibawah 10 gross ton (GT). “Dengan tidak adanya izin melaut bagi kapal dibawah 10 GT, nelayan kecil bisa mendapatkan ikan lebih banyak lagi.

Jokowi juga menyebutkan adanya program kredit mikro bagi nelayan kecil yang disalurkan melalui bank mikro nelayan.

baca juga :  Empat Tahun Kepemimpinan Joko Widodo, Bagaimana Capaian Sektor Kelautan dan Perikanan?

 

Presiden Jokowi membalas jabat tangan nelayan dalam peresmian lembaga keuangan mikro nelayan, di Pantai Wisata Karangsong, Kab. Indramayu, Jawa Barat, pada Rabu (6/6) sore. Foto: Setkab/Mongabay Indonesia

 

Sedangkan Capres Prabowo Subianto menyoroti para nelayan miskin yang tidak mempunyai akses kepada teknologi, kapal, modal dan dibatasi oleh peraturan yang sangat membatasi kemampuan nelayan kecil untuk melaut.

“Strategi kami negara hadir, kami membuat BUMN khusus di bidang laut dan perikanan, mengorganisir nelayan-nelayan dilatih dengan teknologi tepat, diberi akses kepada alat kapal modal, diberi prasarana cold storage, pengalengan, dan pemasaran dibantu pemerintah,” katanya.

 

Sebatas Wacana

Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim menanggapi apa yang dijelaskan capres Paslon 01 baru sebatas wacana dan belum ada manfaat konkret yang dirasakan oleh nelayan.

“Apalagi Bank Mikro Nelayan juga baru dibentuk di masa kampanye Pilpres. Sementara apa yang disampaikan oleh Capres 01 adalah permasalahan laten yang dihadapi oleh nelayan, namun strategi yang disampaikannya belum merepresentasikan tata kelola perikanan berkelanjutan dan bertanggung jawab secara utuh,” katanya.

Halim menyayangkan tidak adanya pertanyaan yang bisa memantik perdebatan bermutu yang bisa menggambarkan sesungguhnya visi kedua capres.

“Petahana sejatinya perlu dipertanyakan kinerjanya selama 4 tahun terakhir di bidang kelautan dan perikanan, khususnya berkenaan dengan upaya menghadirkan tata kelola perikanan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab. Sementara dari sisi penantang, perlu dipertajam pertanyaan strategis seperti bagaimana menghadirkan sustainable and responsible fisheries?,” katanya.

“Bertolak dari kedua pertanyaan itulah, moderator debat melakukan penajaman dengan mengadu argumentasi keduanya, bukan sebatas mempersilahkan kedua kandidat untuk bersilat lidah dengan adu argumentasi yang di atas permukaan semata. Ujung-ujungnya nelayan yang terombang-ambing dalam kubu-kubuan jelang pilpres 2019. Pasca Pilpres 2019, perubahan yang dijanjikan sebatas pemanis debat yang tak pernah bisa direalisasikan,” terangnya.

Halim mencontohkan Bank Mikro Nelayan yang sejatinya masih berbentuk BLU-LPMUKP (Badan Layanan Umum Lembaga Pengelola Modal Usaha), pada prakteknya hanya hanya melakukan “bagi-bagi uang” dan mendorong masyarakat perikanan skala kecil untuk berhutang dengan syarat berkelompok dan memiliki usaha perikanan. “Bukan pembiayaan model rentenir dengan klaim bunga 3%)seperti ini yang perlu dihadirkan untuk sustainable and responsible fisheries,” tegasnya.

baca juga :  Pemerintah yang Baru Harus Jaga Komitmen Transparansi Kelautan dan Perikanan

 

Ikan merupakan sumber pendapatan masyarakat. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Kebijakan Pesisir Gagal

Pengkampanya Laut Greenpeace Indonesia, Arifsyah Nasution menilai pemberantasan perikanan ilegal selaa 4 tahun kepemimpinan Jokowi sudha tepat dan perlu dilanjutkan oleh pemerintahan mendatang.

“Kalau pada sektor perikanan tangkap (kebijakan) sudah tepat karena fokusnya pada IUU (illegal unreported and unregulated) fishing. Kalau tidak dipertahankan akan berdampak pada nelayan kecil. Itu harus dilanjutkan siapapun Presidennya nanti,” kata Arifsyah yang dihubungi Mongabay-Indonesia pada Senin (18/02/2019).

Arifsyah menyoroti perlunya revisi UU Perikanan No.31/2004 jo. 45/2009 agar penguatan penegakan hukum dan keberpihakan negara terhadap perikanan berkelanjutan dapat berjalan lebih baik lagi.

Tetapi kedua capres gagal menjelaskan arah prioritas  kebijakan pembangunan berkelanjutan di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. “Isu perlindungan ekosistem penting seperti mangrove dan terumbu karang tidak tersentuh. Juga ancaman nyata dari dampak perubahan iklim terhadap kelestarian ekosistem dan kelangsungan hidup masyarakat pesisir pun tidak terbahas,” katanya.

Terkait eksplorasi migas di wilayah laut, Arifsyah melihat pemerintah harus mengedepankan prinsip keberhati-hatian (precautionary approach) agar keanekaragaman hayati dan ekosistem pesisir dan laut lebih terlindungi. ”Terkait pemenuhan dan ketahanan energi pemerintah sudah saatnya tidak lagi menjadikan energi fossil ataupun biofuel dari sawit sebagai tumpuan,” tambahnya.

baca juga :  Sudah Tepatkah Kebijakan Pemerintah di Sektor Kelautan dan Perikanan?

 

Nelayan pulang dari melaut di pesisir pantai Pelabuhan Ratu, Jawa Barat. Foto : Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Produksi Perikanan Belum Jelas

Sedangkan Ketua Harian DPP KNTI (Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia) Marthin Hadiwinata menanggapi debat capres tadi malam, mengatakan prioritas Presiden mendatang adalah bagaimana meningkatkan produksi perikanan, terutama perikanan tangkap karena potensi ikan meningkat jauh dari sebelumnya 6,5 juta ton meningkat menjadi 12,5 juta ton.

“Produksi perikanan tidak sampai setengah (dari stok ikan nasional). Sekitar 6,5 juta ton pada tahun 2018. Dan 6,4 juta ton pada 2017. Itu belum mencapai pemanfaatan optimum sumber daya ikan  atau maximum sustainable yield (MSY),” kata Marthin yang dihubungi Mongabay-Indonesia, Senin (18/02/2019).

Dan Indonesia bakal merugi, karena dalam UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) Indonesia diwajibkan membuka akses untuk perikanan internasional bila produksi perikanan tangkap tidak mencapai MSY.

“Sayangnya calon presiden (dalam debat) tidak membicarakan bagaimana cara meningkatkan produk perikanan dengan memastikan pemanfaatan untuk nelayan Indonesia,” katanya.

Mengenai pertanyaan panelis debat capres tentang perlindungan dan pengentasan nelayan, dua capres tidak menjawab proyeksi prioritas untuk itu. “Beberapa kali pernyataan sempat menyinggung, tapi tidak memuaskan. Padahal sudah ada UU No.7/2016 tentang. Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya. Ikan, dan Petambak Garam,” kata Marthin.

Untuk perizinan kapal, capres Jokowi memang telah menjelaskan mengenai tidak diwajibkannya nelayan dengan kapal berukuran dibawah 10 GT untuk mengurus perizinan.

“Tetapi di lapangan, anggota KNTI mengeluhkan pendaftaran yang terbagi sektoral pada KKP dan Kementerian Perhubungan.  Dan dikenakan pungutan liar. Pendaftaran pengukuran kapal untuk mendapatkan PAS kecil untuk akses BBM nelayan juga masih kesulitan. Padahal ini sudah disampaikan langsung kepada Irjen KKP,” jelas Marthin.

baca :  Tumpang Tindih Perizinan Sulitkan Nelayan Kecil Melaut, Apa Solusinya?

Mengenai BUMN perikanan yang dijelaskan capres Jokowi, Perum Perikanan Indonesia (Perindo) dan PT Perikanan Nusantara (Perinus) tidak maksimal kinerjanya membeli ikan dari nelayan.

“Perindo dan Perinus masih ada di menara gading dan tidak melihat konteks dimana nelayan kita 90 persen nelayan kecil dan tradisional 10 GT ke bawah.

Penyerapan (ikan hasil tangkapan nelayan) dan bagaimana konteks kemitraan yang lebih luas kepada nelayan,” katanya.

Mengenai Bank Mikro Nelayan seperti diungkapkan capres Jokowi, Marthin menjelaskan penyaluran kredit mikro baru mulai pada 2017. “Sampai saat ini seluruh nelayan tangkap sebanyak 2,7 juta orang, belum sampai 1 persen yang menerima kredit mikro. Baru ada 14.000 nelayan yang menerima. Perlu strategis khusus untuk mendorong produksi nelayan,” katanya.

Sementara mengenai infrastruktur kelautan, banyak pemerintah daerah yang belum mempunyai Perda tentang Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) yang menjadi payung hukum pembangunan infrastruktur kelautan.

“Bila belum ada tata ruang laut sebagai arahan pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut, seharusnya tidak boleh dibangun infrastruktur.  Beberapa wilayah pembangunan infrastruktur tanpa ada dasarnya. Ada 2 pelabuhan besar di dorong oleh Jokowi yaitu Pelabuhan Kuala Tanjung di Kabupaten Batubara Sumatera Utara dan Makassar New Port di Sulawesi Selatan tanpa Perda RZWP3.

 

Meskipun berperan penting, kawasan pesisir dan laut mendapatkan ancaman termasuk pembangunan. Foto Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Paslon 01 Lebih Baik

Melihat visi misi yang diusung kedua Paslon Presiden, KNTI melihat Paslon 01 memiliki visi misi strategis dan program yang taktis untuk melanjutkan program kerja yang berkelanjutan dari pemerintah sekarang ini dibanding Paslon 02.

“Dibandingkan Paslon 02 hanya mengulangi program sebelumnya dan bahkan program Pemerintah sebelum saat ini, misalnya peningkatan anggaran dan peningkatan konsumsi ikan. Padahal Paslon 02 bisa mengkritisi Paslon 01,” kata Marthin.

“Mengenai program jaminan harga pangan terkait perlindungan nelayan, Paslon 02 tidak menjelaskan prosesnya. Paslon 01 pun belum melakukan itu,” jelas Marthin.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Zulficar Mochtar menyebutkan hingga 30 Mei 2018, LPMUKP telah menyalurkan kredit sebesar Rp132,5 miliar kepada 6.625 pelaku usaha kelautan dan perikanan. Dan lokasi layanan pendampingan LPMUKP sudah tersebar di 239 kota dan kabupaten di seluruh Indonesia.

***

Keterangan foto utama : Sekelompok nelayan di pantai Depok, Yogyakarta. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

Exit mobile version