Mongabay.co.id

Konflik Lahan Warga Kumpeh vs Perusahaan Sawit Berlarut

Desa Sogo yang berada di tepian Sungai Bungur. Sebagian lahan warga desa ini masuk klaiman lahan perusahaan sawit padahal tanpa sepengetahuan aparat desa, sekalipun. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

 

Sore itu, hujan mengguyur hebat di lokasi warga protes meminta perusahaan sawit mengembalikan lahan milik mereka. Sudah empat malam, ratusan orang ini bertahan di tenda darurat beratap terpal plastik. Sekitar 400-an orang dari Desa Sogo, Desa Seponjen, Kelurahan Tanjung dan Dusun Pulau Tigo, memilih bertahan di jalan utama milik PT Bukit Bintang Sawit (BBS). Ia lokasi kedua setelah dua hari pertama mereka memilih Blok B6 dan A6, sebagai tempat menuntut pengembalian lahan yang diserobot perusahaan.

Akhirnya, Senin (18/2/19), Pemerintah Kabupaten Muaro Jambi menemui warga dan menjanjikan Jumat, (22/2/19) adakan pertemuan dengan perusahaan. Warga pun kembali ke rumah masing-masing.

Baca juga: Ketika Perusahaan Sawit Serobot Lahan Warga Tiga Desa di Jambi

Susi, perempuan dari Desa Sogo, bercerita, sudah muak dengan janji-janji saat negosiasi dengan perusahaan dan pemerintah.

”Ini bekas kena duri dan ranting-ranting di kanal. Perusahaan membangun kanal di sepanjang belakang rumah kami, agar kami tidak bisa masuk,” kata seraya menunjukkan kepada saya beberapa bekas baret di kaki dan tangannya. Dia harus berjalan tiga kilometer dari desa ke lokasi. Pejalanan ini menyeberangi kanal berisi air setinggi 70 cm.

Samsidar, duduk termenung di ujung tenda. Tangan berkali-kali mendorong ke atas gelembung atap terpal tenda berisi air. Ibu dari tiga anak ini bersama suami meninggalkan anak-anak mereka di desa demi berjuang agar persoalan lahan dengan perusahaan selesai.

”Ini demi tanah, tanah untuk hidup kami. Anak-anak tinggal semua di rumah,”katanya.

Perusahaan tak hanya sudah mengambil tanah di desa mereka namun, Desa Sogo, Kecamatan Kumpeh, menjadi desa dengan daftar merah. Artinya, perusahaan tak menerima penduduk desa untuk bekerja di perusahaan karena alasan perlawanan. ”Dulu keponakan saya bekerja di perusahaan, karena ikut aksi pengembalian lahan, desoknya dipecat,”kata Susi.

 

Warga Kumpeh, Jambi, protes kepada perusahaan sawit, PT Bukit Bintang Sawit. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Perizinan BBS

BBS mendapatkan izin lokasi berdasarkan Surat Keputusan No. 507/2007 tertanggal 27 September 2007 seluas 1.000 hektar di Desa Seponjen, Kecamatan Kumpeh, Muaro Jambi, Jambi.

Tiga bulan kemudian BBS mendapatkan izin usaha perkebunan berdasarkan Surat Keputusan Bupati Muaro Jambi No. 592 tertanggal 27 Desember 2007 seluas 1.000 hektar.

Berbagai perizinan itu menimbulkan masalah hukum di Dusun Pulau Tigo, Desa Seponjen, Desa Sogo dan Kelurahan Tanjung, Kecamatan Kumpeh, Muaro Jambi.

Baca juga: Warga Pertanyakan Janji Pemda Muaro Jambi Mau Audit Legal Perusahaan

Tahun 2009-2010, masyarakat menolak pembersihan dan penanaman perusahaan di Dusun Pulau Tigo. Pada 6 September 2010, masyarakat Dusun Pulau Tigo diundang BBS—di pabrik pengolahan sawit—ada upaya perusahaan membayar ganti rugi ke warga Dusun Pulau Tigo.

Pada 5 Mei 2011, masyarakat dengan perusahaan mengukur lahan di Dusun Pulau Tigo. Pada 24 Juni 2011, masyarakat mendapatkan pemetaan di Kantor BBS Seponjen dari hasil pemetaan dapatlah luasan lahan Dusun Pulau Tigo, sekitar 300 hektar.

Setelah pengukuran, pada 8 Desember 2012, masyarakat bertemu BBS di Rumah Makan Lubuk Gurami, Kota Jambi, guna menanyakan penyelesaian lahan di Dusun Tigo. Warga Pulau Tigo, mulai khawatir proses penyelesaian lahan.

Pada 23 Febuari 2013, masyarakat Dusun Pulau Tigo, mendatangi BPN Jambi, dalam pertemuan itu perusahaan tak mengakui wilayah kelola Dusun Tigo.

Perusahaan membayar ke sebagian masyarakat Dusun Pulau Tigo 18 orang dari 36 yang tercatat daftar ganti rugi. Padahal, 18 orang lagi bukanlah warga dusun itu. Sampai 2017, belum juga selesai, masih ada 41 keluarga belum ganti rugi seluas 300 hektar.

Di Desa Sogo, pada 2007, BBS membuka lahan untuk pembangunan jalan, dari Kelurahan Tanjung, melewati Desa Sogo, menuju lahan di Desa Seponjen.

Setelah BBS membuka jalan, oknum masyarakat Kelurahan Tanjung mengkapling–kapling lahan di Kelurahan Tanjung, Desa Sogo dan Dusun Pulau Tigo, mengatasnamakan kelompok tani, kemudian transaksi.

Tahun 2008, masyarakat melayangkan surat pengaduan ke Polres Muaro Jambi. Saat itu, meskipun ada pelaporan dari masyarakat Kelurahan Tanjung, perusahaan tetap membuka lahan. Pada tahun sama warga Sogo mencegah BBS karena operasi sudah memasuki Desa Sogo. Warga pun lapor ke Polres Muaro Jambi.

Perusahaan beroperasi tanpa sosialisasi dengan masyarakat Desa Sogo. Warga berkali–kali mencegah aktivitas perusahaan.

BBS membuka lahan di Kelurahan Tanjung diawali dengan meminta izin kepada warga dengan alasan membuka jalan menuju lokasi BBS di Desa Seponjen pada 27 Oktober 2007. Ada pertemuan perusahaan dengan 27 orang Desa Gedong, Kelurahan Tanjung dan Desa Seponjen. Ada kesepakatan ganti rugi Rp38 juta untuk lahan sekitar 8,2 hektar.

Setelah jalan terbuka, BBS mulai jual beli lahan, diawali pembelian untuk pembibitan pada Febuari-Oktober 2008 seluas 86 hektar, dan 129 hektar di Sungai Buayo, Pematang Semeleng. Warga protes ke Kantor Camat Kumpeh 12 Desember 2008.

Masyarakat juga membuat pengaduan resmi ke Polres Muaro Jambi pada 24 Desember 2008. Mereka melaporkan penjualan 64 hektar lahan di Kelurahan Tanjung.

Pada 18 September 2009, perusahaan diwakili Tugio membayar tahap satu kepda warga Kelurahan Tanjung, Rp1.000.000 per keluarga sebanyak 66 keluarga.

Pembayaran itu, melalui ketua RT, seluas 800 hektar, tertuang dalam surat pernyataan penyerahan lahan oleh ketua-ketua RT dan ketua lingkungan di Kelurahan Tanjung pada 11 Oktober 2010. Ia diketahui Lurah Tanjung Asuwan dan Camat Kumpeh Syaifullah.

Selanjutnya 2011, keluar izin lokasi berdasarkan Keputusan Bupati Muaro Jambi. Sebelum mendapatkan izin 2011, sudah terjadi proses ganti rugi dan jual beli lahan sejak 2008-2010.

Saat proses ganti rugi kepada masyarakat Kelurahan Tanjung 2010, BBS membayar tanpa sosialisasi dengan masyarakat. Sejak beroperasi di Kelurahan Tanjung, BBS juga tak pernah memberikan dana tanggung jawab sosial kepada warga.

Pada 2012, Pemerintah Muaro Jambi, melalui Badan Lingkungan Hidup memberikan izin lokasi. Ia berdasarkan Keputusan Bupati Muaro Jambi, dan tanpa sosialisasi.

Sampai keluar izin 2016—melalui BLH Muaro Jambi—seluas 175 hektar, tak ada proses penyelesaian lahan, sosialisasi, komunikasi dan konsultasi.

 

Tim verifikasi didampingi masyarakat kunjungi lahan sengketa pada 2017. Foto: Elviza Diana

 

***

Siti masih ingat bagaimana dia bersalaman dengan Masnah, Bupati Muaro Jambi, akhir 2016– saat itu baru calon. Susi bersama tim pengajian dengan bangga dan menaruh mimpi mereka mendapatkan kembali lahan yang diserobot perusahaan.

Upik, sapaan akrab Masnah. “Waktu itu Upik minta doakan menang. Kami bangga dengan beliau, tapi semua tidak berarti apa-apa setelah terpilih,”katanya.

Siti bersama teman-temannya lain terlanjur kecewa, karena bupati pilihan mereka tak jua menemui rombongan demonstran di lokasi BBS. “Nasi sudah jadi bubur, salah kami yang berharap banyak ada yang memerhatikan. Jangankan memberikan keputusan final sengketa lahan, menemui kami saudara sedusun pun terasa berat.”

Pada 2016, Pemerintah Muaro Jambi, melalui Badan Lingkungan Hidup Muaro Jambi memberikan izin lokasi tanpa sosialisasi. “Tidak ada kelanjutan setelah 2016, persoalan ini terkesan tak ada upaya penyelesaian. Kami sudah lelah,”kata Ibnu Hajar, warga Desa Seponjen.

Data himpunan Walhi Jambi, selaku organisasi pendamping warga, menyatakan, setelah ada perusahaan masyarakat kehilangan hutan seperti Pematang Kapas, Pematang Semeleng, Sungai Buayo, Pematang Cengal dan Terjun Gajah. Itu merupakan nama-nama tempat sebagai daerah hutan hantu pirau, hutan adat atau hutan keramat. Pematang Cengal merupakan “kasang kering”.

Pembukaan daerah-daerah yang dilindungi seperti Pematang Kapas, Pematang Semeleng, Sungai Buayo, Pematang Cengal menyebabkan hutan jelutung hilang.

Di kawasan yang tidak boleh dibuka (hutan keramat) juga ada harimau, rusa, kancil, napu, murai dan lain-lain. Ia juga jadi rumah ikan seperti toman, baung, dan tapa. Ada juga arwana silver (Schlerophages formosus), ridiangus (Balantiocheilos melanopterus), belida (Notopterus chitala), sepat batik (Cydochaicichthys aroplos). Lalu, serandang (Channa pleurophthalma), seluang (Rasbora argyrotaenia Blkr) dan tilan (Mastacembelus erythrotaenia), bujuk (Channa lucius) serta selincah (Belontia hasselti).

Ada juga kayu-kayu endemik seperti jelutung, ramin, pulai rawa, kempas, punak dan meranti. Belum lagi bungur.

Abdullah dari Walhi Jambi, mengatakan, ada banyak kejanggalan saat izin lingkungan BBS terbit 9 Desember 2016. BBS, katanya, belum punya hak guna usaha (HGU).

“Dari analisa cepat dengan menghitung kerugian masyarakat secara nilai ekonomi bisa mencapai miliaran rupiah. Kita sudah membuat analisa terkait itu.”

Upaya menekan perusahaan pembeli minyak sawit mentah bermalasalah dilakukan. Pada 2016, Walhi melayangkan pengaduan ke KLHK kepada Wilmar dan Musim Mas. Warga mendapatkan informasi BBS mengirimkan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) kepada Wilmar dan Musim Mas.

Dari pengaduan, hanya Wilmar aktif merespon dengan mengirimkan tim untuk investigasi ke wilayah konflik. Dari hasil investigasi,Wilmar hanya memberikan rekomendasi agar kedua belah pihak (masyarakat dan BBS), bersedia menyelesaikan konflik.

Saat masyarakat menutup akses jalan utama, saya melihat tandan buah sawit dialirkan perusahaan melalui kanal, truk sudah menunggu di tepi kanal. Beberapa meter dari sana, masyarakat berharap ada kejelasan lahan mereka. Hujan lebat mengguyur.

 

Keterangan foto utama:    Desa Sogo yang berada di tepian Sungai Bungur. Sebagian lahan warga desa ini masuk klaiman lahan perusahaan sawit padahal tanpa sepengetahuan aparat desa, sekalipun. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

Aksi warga Kumpeh, Jambi, menuntut kejelasan lahan mereka yang masuk konsesi perusahaan sawit. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version