Mongabay.co.id

100 Tahun Tangkoko, Apakah Ekowisata Berorientasi Lingkungan dan Masyarakat Setempat?

Cagar Alam Tangkoko memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan ekosistem yang khas. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay Indonesia

 

20 dan 21 Februari 2019, Pemerintah Kota Bitung, Sulawesi Utara menggelar peringatan 100 Tahun Tangkoko. Perayaan ini digadang-gadang sebagai upaya menggenjot jumlah wisatawan, dari dalam maupun luar negeri. Selain itu, mereka berharap, masyarakat dapat melestarikan flora dan fauna di kawasan tersebut.

Peringatan 100 tahun Tangkoko berpusat di lapangan Singkanaung, Kelurahan Batuputih, kota Bitung. Di lokasi itu, warga dan wisatawan berkumpul. Mereka menyaksikan pertunjukan musik, workshop maupun mengunjungi stand-stand pameran.

Selain menikmati kemeriahan selebrasi, penyelenggara kegiatan berharap, pengunjung memperoleh pengetahuan tentang konservasi maupun pariwisata. Tahun ini, mereka memfokuskan edukasi pada warga lokal.

“Kami berharap, warga lokal bisa mandiri dan jadi tuan rumah yang baik. Agar di kemudian hari, festival serupa bisa ditangani oleh lebih banyak orang lokal. Walaupun saat ini, di setiap divisi kegiatan, ada orang lokal supaya kami bisa transfer pengetahuan,” terang Bob Berry, show director workshop 100 tahun Tangkoko kepada Mongabay-Indonesia, Rabu (20/2/2019).

baca :  Bukan Perburuan, Ancaman Kebakaran yang Menghantui Cagar Alam Tangkoko

 

Salah satu acara workshop dalam rangkaian kegiatan 100 tahun tangkoko di Kota Bitung, Sulut. foto : Themmy Doaly/Mongabay Indonesia

 

Rencananya, Festival Tangkoko akan dijadikan even tahunan. Pada tahun-tahun berikutnya, mereka berambisi membuat pagelaran yang lebih besar. “Tahun berikutnya, kami harap, bisa jadi jambore pecinta alam dari seluruh dunia,” ujar Satria Yanuar Ahmad, Konsultan Pendamping Tim Percepatan Pariwisata Bitung.

Max Lomban, Walikota Bitung dalam sambutannya mengatakan, peringatan 100 tahun Tangkoko bukan hanya sekedar kegiatan seremonial tetapi juga edukasi untuk masyarakat. Dia berharap, pengunjung dapat terlibat dalam pelestarian lingkungan.

Terjaganya ekosistem Tangkoko diyakini berbanding lurus dengan peningkatan ekonomi masyarakat sekitar, juga kota Bitung secara keseluruhan. Sehingga, dia mengajak semua pihak untuk berkolaborasi menjaga hutan, juga flora dan fauna di dalamnya.

“Mari kita berkolaborasi agar hutan ini dapat memberi kontribusi bagi dunia, Indonesia maupun untuk masyarakat sekitar. Masyarakat harus memanfaatkan kekayaan alam ini untuk meningkatkan kesejahteraan, sebagai destinasi wisata yang mendatangkan wisatawan dari dalam dan luar negeri. Dengan datangnya turis, masyarakat akan mendapatkan dampak positif,” tambah Max Lomban.

baca juga : Dua Spesies Tarsius Baru yang Menginspirasi Yoda, Ditemukan di Sulawesi

 

Pertunjukan Musik pada Festival 100 Tahun Tangkoko di Kota Bitung, Sulut. Foto : Themmy Doaly/Mongabay Indonesia

 

Olly Dondokambey, Gubernur Sulawesi Utara, mengapresiasi perayaan 100 tahun Tangkoko. Dia berharap, seperti disampaikan Daniel Mewengkang, Kepala Dinas Pariwisata Sulut, seluruh pemangku kepentingan di kota Bitung dapat bekerjasama untuk memajukan pariwisata daerah.

Sebab, pariwisata dianggap sebagai motor pembangunan yang dapat memberi kontribusi positif pada sektor-sektor lainnya. Dicontohkan, pada 2018 total kunjungan wisatawan mancanegara ke Sulut mencapai 113.000 orang.

Fenomena itu diyakini berkontribusi atas peningkatan pertumbuhan ekonomi pada Triwulan III 2018 yang mencapai 6,01%. Angka ini disebut lebih tinggi jika dibanding dengan pertumbuhan ekonomi nasional, yakni 5,27%.

“Namun demikian, terlepas dari capaian-capaian membanggakan yang kita torehkan bersama, ada beberapa aspek yang perlu kita tingkatkan. Baik infrastuktur, SDM, aksesbilitas maupun destinasi, guna perbaikan-perbaikan serta capaian yang lebih signifikan ke depannya,” terang Daniel Mewengkang, Kamis (21/2/2019) di pantai TWA Batuputih.

menarik dibaca :  Cagar Alam Tangkoko, Rumah si Monyet Hitam Sulawesi

 

Satu kelompok yaki di Cagar Alam Batu Putih, Tangkoko, Sulut. Foto: Sapariah Saturi/Mongabay Indonesia

 

Perhatikan Lingkungan

Hutan Tangkoko memiliki beragam flora seperti, beringin (Ficus spp), aras (Duabanga moluccana), nantu (Palaquium obtusifolium), edelweis (Anaphalis javanicum) dan kantong semar (Nephentes gynamphora).

Ia juga merupakan habitat berbagai satwa liar endemik Sulawesi. Saroyo Sumarto dan Trina Tallei dalam “Climbing Mount Tangkoko: Conservation Education Medium” menyebut sejumlah satwa liar yang mudah ditemui di antaranya yaki (Macaca nigra), Tarsius spectrum, kuskus Beruang (Ailurops ursinus), kuskus kerdil (Strigocuscus celebensis), serta rangkong (Rhyticeros cassidix).

Tak mengherankan jika wisatawan yang berkunjung ke kawasan itu cenderung berorientasi wisata alam. Pada 2018, TWA Batuputih dan TWA Batuangus dikunjungi 12.000 orang, dengan pemasukan PNBP sebesar Rp.1,14 miliar. Di kelurahan Batuputih, saat ini terdapat 10 homestay dengan 117 kamar. Pelaku usaha nyaris seluruhnya didominasi masyarakat setempat.

Sebagai upaya memaksimalkan partisipasi masyarakat dalam pariwisata, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulut berupaya membina pemandu wisata di daerah tersebut, dengan harapan dapat membantu peningkatan kesejahteraan masyarakat.

“Tidak hanya di Batuputih, saat ini kami sedang mengembangkan (pembinaan pemandu wisata) yang di Batuangus,” ujar Lukita Awang Kepala BKSDA Sulut.

baca juga :  Menikmati Surga Keragaman Hayati di Ujung Sulawesi

 

Kekayaan hayati seperti Julang Sulawesi bisa sekedar jadi kenangan jika kita gagal menyelesaikan berbagai masalah kehutanan yang terus terjadi. Foto: Rhett A. Butler

 

Dia berharap, dalam aktifitas pariwisata, masyarakat tetap memperhatikan daya dukung lingkungan, serta mengkontrol jumlah wisatawan yang masuk ke kawasan konservasi. “Jangan sampai nanti ketika melakukan itu seperti mass tourism. Kan tidak baik di kawasan konservasi. Lebih kepada wisata yang benar-benar alami,” demikian Lukita berharap.

Myron Shekelle, peneliti tarsius sekaligus direktur Tarsier.org, yang ikut hadir dalam perayaan 100 tahun Tangkoko mengatakan, sejak 25 tahun lalu dia telah melakukan penelitian di Tangkoko, serta menyaksikan perubahannya.

Seingat Myron, tahun 1994, dari pusat kota Bitung menuju Tangkoko perlu waktu 2 hingga 3 jam. Waktu itu, akses jalan terbilang sulit karena masih tertutup hutan. Namun, pada tahun 1997, hutan dibabat untuk pelebaran jalan.

“Di 75 tahun pertama perubahan, Tangkoko kehilangan babirusa, barangkali juga anoa, maleo tinggal sedikit. Tapi dalam waktu 25 tahun belakangan, saya lihat banyak hutan yang habis,” terangnya kepada Mongabay-Indonesia.

Namun, dalam kurun 25 tahun, Myron menilai hal yang menarik adalah ekowisata di kawasan tersebut, khususnya dominasi pelaku usaha lokal.

“Yang paling bagus, 25 tahun lalu fasilitas ekowisata dipegang 100% masyarakat lokal. Homestay dan guide, 100% lokal, berbasis komunitas. 25 tahun kemudian, saat ini, masih 100% berbasis komunitas. Ini bagus,” ujarnya.

Meski demikian, dia berharap pelaku usaha mau lebih meningkatkan fasilitas. Sebab, dibanding destinasi wisata lainnya, fasilitas penginapan di Kelurahan Batuputih dianggap masih di bawah standar.

“Padahal, orang bersedia bayar lebih, kalau misalnya fasilitas kamar lebih ditingkatkan. Tapi saya berharap ada peningkatan fasilitas, tapi tetap berbasis komunitas,” pungkas Myron.

baca :  Wallacea, Surga Keragaman Hayati yang Minim Penelitian

 

Myron Shekelle mengunjungi stand pameran Macaca Nigra Project. Foto : Themmy Doaly/Mongabay Indonesia

 

***

Keterangan foto utama : Cagar Alam Tangkoko memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan ekosistem yang khas. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version