Mongabay Travel: Menikmati Surga Keragaman Hayati di Ujung Sulawesi

JulangSulawesi2

Sulawesi Utara, terkenal dengan keindahan alamnya. Baik lansekap daratannya yang berbukit-bukit, maupun keindahan alam bawah laut di perairan sekitarnya. Taman Nasional Bunaken, bahkan sudah terkenal ke seantero dunia sebagai salah satu tujuan paling terkenal untuk menikmati keindahan keragaman hayati Segitiga Terumbu Karang Dunia.

Tak hanya di lautan, keragaman hayati di hutan Sulawesi Utara pun sangat luar biasa. Wilayah yang masuk ke dalam garis Wallacea ini, memang menyimpan keistimewaan tersendiri dalam kekayaan hayatinya.

Salah satu cara termudah untuk menikmatinya, adalah dengan bergerak 60 kilometer ke arah timur dari Kota Manado, menuju ke Cagar Alam Batu Angus Tangkoko Kabupaten Bitung. Cagar alam ini, terletak tak jauh dari Kota Bitung, terletak di Kelurahan Batuputih, Kecamatan Ranowulu. Hanya perlu kurang dari dua jam untuk menuju tempat yang istimewa ini.

Monyet hitam Sulawesi (Macaca nigra). Foto: Aji Wihardandi
Monyet hitam Sulawesi (Macaca nigra). Foto: Aji Wihardandi
Julang Sulawesi betina. Foto: Aji Wihardandi
Julang Sulawesi betina. Foto: Aji Wihardandi

Cagar Alam Tangkoko terbentang seluas 8.745 hektar di ujung timur Pulau Sulawesi. Di lokasi ini terdapat Taman Wisata Alam Batuputih seluas 615 hektar dan merupakan area yang paling mudah dikunjungi oleh para wisatawan untuk menikmati keragaman hayati Sulawesi yang luar biasa. Selain Taman Batuputih, Tangkoko juga terdiri dari Tangkoko-Batuangus Taman Nasional dengan luas total 3.196 hektar – yang meliputi Gunung Tangkoko-Batuangus dan sekitarnya – yang merupakan Taman Nasional dengan luas total 4.299 hektar (meliputi Gunung Duasaudara dan sekitarnya), dan Batuangus Taman Nasional dengan 635 hektar (terletak di antara Taman Nasional Tangkoko dan Desa Pinangunian.

Tiga puncak gunung, yaitu Tangkoko setinggi 1.109 meter, Gunung Duasudara 1.109 meter dan Batuangus setinggi 450 meter melingkupi wilayah cagar alam ini.

Tarsius, salah satu primata terkecil dunia yang menghuni Tangkoko. Foto: Aji Wihardandi
Tarsius, salah satu primata terkecil dunia yang menghuni Tangkoko. Foto: Aji Wihardandi
Foto: Aji Wihardandi
Foto: Aji Wihardandi

Dalam sejarahnya, kawasan Tangkoko ditetapkan pertamakali oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai hutan lindung pada tahun 1919 berdasarkan GB 21/2/1919 stbl.90, dan dikembangkan pada tahun 1978 dengan penetapan Cagar Alam Duasudara seluas 4.2999 hektar lewat Keputusan Menteri Pertanian No. 700/Kpts/Um/11/78. Lalu pada tangga; 24 Desember 1981, Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 1049/Kpts/Um/12/81 menetapkan wilayah ini sebagai Cagar Alam Gunung Tangkoko Batuangus. Surat yang sama juga menetapkan kawasan seluas 615 hektar sebagai Taman Wisata Batuputih, dan kawasan seluas 635 hektar di wilayah antara Cagar Alam Tangkoko dan Desa Pinangunian sebagai Taman Wisata Alam Batuangus.

Dengan kondisi topografi yang landai, berjalan di Taman Wisata Batuputih di Tangkoko terasa sangat menyenangkan dan tidak terasa berat bagi para wisatawan, yang jarang melintasi hutan sekalipun. Apalagi dengan kondisi suhu udara antara 20 hingga 25 derajat Celcius, suhu ini masih terasa sejuk bagi para wisatawan yang terbiasa di kawasan tropis.

Foto: Aji Wihardandi
Foto: Aji Wihardandi
Lintasan di hutan yang datar sangat nyaman dinikmati. Foto: Aji Wihardandi
Lintasan di hutan yang datar sangat nyaman dinikmati. Foto: Aji Wihardandi

Taman wisata ini merupakan rumah bagi sejumlah spesies utama di Sulawesi, seperti julang Sulawesi (Aceros cassidix), tarsius (Tarsius spectrum), kuskus (Ailurops ursinus), maleo (Macrochepalon maleo) dan lain sebagainya. Berdasarkan survey yang dilakukan tahun 1980, di wilayah ini terdapat tak kurang dari 140 jenis burung.

Pantai Batuputih di Tangkoko. Foto: Aji Wihardandi
Pantai Batuputih di Tangkoko. Foto: Aji Wihardandi

Sayang, wilayah ini sangat jarang dikunjungi wisatawan lokal. Dari pengamatan Mongabay-Indonesia di lapangan, buku tamu di penginapan kami di Mama Roos, lebih dari 90 persen pengunjung adalah wisatawan dan peneliti dari luar negeri, seperti Swiss, Spanyol, Belanda, Inggris, Jerman, Rusia, dan bahkan Estonia. Pengunjung Indonesia, sangat jarang terlihat di buku tamu.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,