Mongabay.co.id

Potensi Mendukung, Bisakah Energi Terbarukan Dikembangkan di Sembilang?

Dua orang anak berjalan di kawasan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Cirebon I di Desa Kanci, Astanajapura, Cirebon, Jabar, pada awal Maret 2017. Menurut Greenpeace, PLTU berbahan batubara berpengaruh pada kesehatan karena mencemari udara karena asapnya mengandung polutan berbahaya. Foto : Donny Iqbal

 

 

***

Pengantar

Taman Nasional Berbak Sembilang yang berada di Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, serta di Kabupaten Muaro Jambi – Tanjung Jabung Timur, Jambi, telah ditetapkan sebagai cagar biosfer dunia oleh UNESCO. Pengukuhan ini dilakukan pada sidang ke-30   International Coordinating Council of the Man and Biosphere Programme   [ICC-MAB]   di Palembang, Sumatera Selatan, Rabu [25/7/2018].

Terkait penetapan cagar biosfer tersebut, Lembaga Pers Mahasiswa Ukhuwah UIN Raden Fatah Palembang mengadakan liputan penulisan bertema “Lanskap Sriwijaya”. Para peserta, selain diberi pemahaman ekologi dan lanskap [bentang alam], teknik jurnalistik seperti pembuatan proyeksi, peliputan dan penulisan narasi, juga meliput langsung ke bentang alam Sembilang, Banyuasin, Sumatera Selatan.

Kegiatan ini dilaksanakan pada 10-16 November 2018, dengan dukungan Mongabay Indonesia, ZSL Indonesia, dan KOLEGA South Sumatra. Dari pelatihan ini, terpilih enam tulisan yang akan ditayangkan setiap hari, berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan dan batas waktu pengiriman, Januari 2019.

Baca tulisan sebelumnya:

Berharap Nelayan Hidup Harmonis di Dusun Sungai Sembilang

Petis Udang Sembilang, Lama Mengolahnya Susah Menjualnya

Derita Warga Sembilang: Hidup Dalam Lingkungan Air, tapi Harus Beli

***

 

Bentang alam Sembilang yang berada di Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, merupakan bagian dari Taman Nasional Berbak Sembilang. Di bentang alam yang sebagian besar hutan mangrove ini terdapat tujuh permukiman penduduk, di antaranya Dusun Sungai Sembilang dan Desa Tanah Pilih. Masyarakatnya hidup bergantung pada energi fosil yang polusinya menyebar di udara dan air, berdampak pada ekosistem Sembilang.

Di Sungai Sembilang misalnya, dusun yang berada di muara Sungai Sembilang. Penggunaan energi ini begitu dominan di wilayah seluas 35 hektar dengan jumlah penduduk 1.430 jiwa atau 327 kepala keluarga.

Berdasarkan survei sederhana yang saya lakukan dua hari, pertengahan November 2018, diperkirakan bahan bakar minyak [BBM] yang dihabiskan terkait aktivitas dan kebutuhan warga di dusun ini sekitar 5.244 liter solar dan 180 liter bensin per hari.

Solar dan bensin digunakan sebagai bahan bakar kapal nelayan, genset untuk penerangan listrik, serta speedboat untuk angkutan umum. Angka ini didapat dari data perahu nelayan, speedboat, rumah penduduk, serta perkiraan kebutuhan BBM setiap hari di pemerintahan Dusun Sungai Sembilang.

 

Dua orang anak berjalan di kawasan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Cirebon I di Desa Kanci, Astanajapura, Cirebon, Jawa Barat. Lepasan hasil pembakaran PLTU batubara berpengaruh pada kesehatan karena mencemari udara, asapnya mengandung polutan berbahaya. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Setiap perahu nelayan di sini membutuhkan solar rata-rata 17 liter per hari. Genset di setiap rumah warga memerlukan solar rata-rata empat liter per hari, serta 60 liter bensin untuk speedboat sebagai angkutan umum Dusun Sungai Sembilang-Palembang. Di sini ada 262 kapal nelayan berupa pongpong dan tiga speedboat.

Jumlah itu belum termasuk yang digunakan speedboat mengangkut pengunjung ke Taman Nasional Berbak Sembilang, serta kapal jukung yang mengangkut barang atau kebutuhan warga dari Palembang.

 

Sel bahan bakar portabel dengan durasi panjang ini merupakan pembangkit listrik yang menghasilkan energi bersih dan dapat diandalkan. Sumber: Arcona Energy.com

 

“Dari saya lahir hingga sekarang, penerangan listrik di sini dari genset yang wajib dimiliki setiap rumah. Listrik hanya menyala malam, dari pukul 18.00 WIB hingga 06.00 WIB. Siang hari tidak ada,” kata Christine [18], remaja di Dusun Sungai Sembilang, pertengahan November 2018.

Ini baru di Dusun Sungai Sembilang. Bagaimana dengan penggunaan penggunaan solar dan bensin di permukiman lainnya, yang tidak hanya menggunakan transportasi air dan genset, juga sepeda motor?

Berdasarkan pantauan, selain polusi udara yang dikeluarkan setiap mesin yang menggunakan BBM, terlihat juga tumpahan solar atau bensin, saat pengisian ulang. Sebab, pengisiannya menggunakan jerigen sehingga ada yang tumpah. Selain itu, ada juga oli perahu yang terbuang ke laut.

Hingga tulisan ini selesai akhir Januari 2019, belum ada data hasil penelitian berbagai pihak terkait polusi udara dan air sebagai dampak penggunaan energi fosil di bentang alam Sembilang.

 

Mangrove yang potensinya belum dimanfaatkan di Sembilang. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Mencarikan uang perusahaan minyak

“Kami nih sebenarnya mencari uang untuk perusahaan minyak,” kata Mang [48] sembari tertawa. Mang seorang nelayan yang setiap hari mengeluarkan uang sekitar Rp136 ribu untuk membeli solar demi kebutuhan perahunya, rata-rata 17 liter. Sementara pendapatannya per hari dari mencari ikan dan udang berkisar Rp300-an ribu. Setelah dikurangi biaya BBM, Mang berbagi penghasilannya dengan seorang rekan yang membantunya mencari ikan.

Dari kebutuhan BBM, setiap hari masyarakat Dusun Sungai Sembilang mengeluarkan biaya sebesar Rp44.112.000, atau Rp41.952.000 untuk solar dan Rp2.160.000 untuk bensin. Harga solar di dusun ini Rp8.000 per liter dan bensin seharga Rp12.000 per liter [sebelum harga penyesuaian terbaru sekarang ini].

 

Speed boat satu-satunya angkutan umum penumpang dari Palembang ke bentang alam Sembilang. Foto: Miftah Afifah Zafar

 

Adakah upaya meminimalisir ketergantungan energi fosil pada masyarakat di bentang alam Sembilang?

“Rasanya belum ada. Transportasi di sini masih bergantung dengan angkutan air yang umumnya menggunakan solar dan bensin, termasuk juga penerangan,” kata Yunan Alwi, Kepala Dusun Sungai Sembilang.

“Kami senang sekali jika ada energi baru yang ramah lingkungan. Tapi harganya, tentunya jauh lebih murah dari BBM,” katanya.

Yang utama itu, kata Yunan, terkait listrik. “Kami berharap ada jaringan PLN ke dusun ini.”

“Semoga pemerintah menciptakan mesin perahu yang hemat BBM atau dari bahan bakar lainnya. Kami terpaksa menggunakan solar atau bensin, sebab mesin perahu yang ada saat ini hanya difungsikan dari bahan bakar tersebut. Jika ada mesin perahu menggunakan air, ramai-ramai kami beli,” tembah Mang.

 

 

La Ode Muhammad Rabiali dari ZSL Indonesia, sebuah lembaga yang menjalankan program konservasi di Sembilang-Dangku, mengatakan belum mendapatkan informasi atau adanya program terkait penggunaan energi bersih pengganti fosil. Misalnya, pengembangan energi matahari, air, dan angin di bentang alam Sembilang yang potensinya ada.

“Harapannya, kedepan upaya ini ada sebab saya setuju penggunaan energi fosil dapat berpengaruh pada ekosistem lingkungan, selain persoalan sampah,” tegasnya.

 

* Miftah Afifah Zafar, mahasiswa semester VI Jurusan Pendidikan Ekonomi, Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Padang, Sumatera Barat. Email: miftahafifah400@gmail.com

 

 

Exit mobile version