Mongabay.co.id

Curhat soal Debat

 

Jadi, siapa yang menang debat kedua Pilpres 2019?

Buat saya, pertanyaan itu terlampau mudah dijawab. Debat itu dimenangkan oleh yang didukung masing-masing orang. Para pendukung Jokowi akan bilang Jokowi menang telak. Begitu juga sebaliknya.

Adakah pemenang objektif dalam debat itu?

Tentu saja ada. Hanya saja, perlu dirumuskan dengan hati-hati indikator, norma, dan nilainya terlebih dahulu. Beberapa pengamat yang independen maupun ‘independen’ sudah angkat bicara, dan semuanya menyatakan Jokowi yang menang. Tapi itu jelas tak penting-penting amat di mata para pendukung Prabowo.

Saya sendiri punya pandangan subjektif tentang siapa yang lebih unggul. Tetapi, tulisan ini bukan soal itu. Saya mungkin lebih mau curhat dibandingkan sok menjadi juri dalam perdebatan itu. Dan curhat saya ini juga teramat subjektif, tak mau berpretensi mengangkat semua aspek yang bisa dicurhati, tetapi yang paling menonjol saja di batin saya.

baca :  Menatap Debat Capres Kedua : Isu-isu Lingkungan di Mata Jokowi dan Prabowo

 

Calon Presiden No. urut 1 Joko Widodo dan Calon Presiden No. urut 2 Prabowo Subianto bersalaman saat debat capres kedua, Minggu (17/02/2019). Foto : rmol.co/Mongabay Indonesia

 

Inakurasi Data

Jelas sekali bahwa banyak angka dihamburkan oleh Jokowi. Ini menunjukkan—setidaknya bagi para pendukungnya—dia bukan saja sebagai Presiden Indonesia yang benar-benar menguasai masalah, melainkan juga yang mendasarkan solusi atas masalah tersebut dengan data.

Di sisi lain, Prabowo benar-benar mengambang jawabannya. Terkadang jawabannya tidak nyambung dengan pertanyaan. Dia juga punya kecenderungan untuk menjawab segala hal dengan jawaban populis, dengan senjata pamungkas bernama Pasal 33 UUD 1945—saya akan kembali ke soal ini nanti. Litbang Kompas mencatat pada debat tanggal 17 Februari itu, Jokowi membuat 31 pernyataan dengan data; sementara Prabowo hanya 17 pernyataan.

Masalahnya adalah bahwa tidak setiap jawaban Jokowi mengandung akurasi. Ketika dia menyatakan tak ada lagi kebakaran hutan, jelas itu bukan jawaban yang tepat. Ketika Jokowi naik, dia diwarisi kondisi hutan dan lahan yang mudah terbakar, sehingga 2015 jadi tahun kebakaran hutan yang dahsyat. Saya adalah di antara orang yang mengirimkan notifikasi citizen lawsuit melawan Presiden Jokowi ketika itu.

Bagusnya, berbagai tindakan perbaikan Jokowi lakukan dengan jelas. Kami tak jadi menuntutnya ke meja hijau. Pakar kebakaran hutan dari IPB, Profesor Bambang Hero Saharjo, memaparkan bahwa di bawah kepemimpinan Jokowi, kebakaran hutan memang menyusut secara drastis. Tapi menyatakan tak ada kebakaran hutan, tentu tak betul sama sekali. Dari 2016 hingga 2019 kita terus melihat peristiwa kebakaran hutan, walau jumlahnya jauh menyusut dibandingkan periode sebelum Jokowi berkuasa. Buat saya, Jokowi tetap tak bisa menyatakan tak ada kebakaran hutan.

baca juga :  Potret Relasi Pebisnis Tambang di Balik Kedua Calon Presiden

Lalu, soal impor jagung. Saya tidak tahu dari mana Jokowi bisa bilang bahwa impor jagung di tahun 2018 hanya 180.000 ton saja. Pengecekan secara cepat ke data BPS menunjukkan bahwa angka yang tepat itu sekitar empat kali lipatnya—tetapi Jokowi menyatakan bahwa dia mengutip data Kementerian Pertanian. Betul, impor jagung turun selama periode yang dipimpinnya. Tetapi, membanggakan data yang salah atau kontroversial tentu tak elok.

Jokowi tentu bisa menunjukkan keberhasilannya meningkatkan produksi beras, juga penurunan impor beras dibandingkan dengan yang terjadi pada periode kepresidenan sebelumnya. Tapi, sebagaimana yang disangkal pakar pertanian dari Universitas Lampung, Profesor Bustanul Arifin, sebetulnya produksi itu naik turun, demikian juga dengan impor beras.

Saya betul-betul ingin terus melihat Jokowi maupun Prabowo untuk berbicara dengan data. Tetapi data yang diangkat haruslah akurat, sehingga mencerdaskan rakyat. Inakurasi Jokowi kali ini, walau hanya dalam beberapa hal, saja sudah mengganggu saya. Apalagi hamburan hoaks—bukan sekadar inakurasi—yang sudah berbulan-bulan dilontarkan oleh Prabowo.

Pengecekan fakta yang dilakukan oleh berbagai organisasi memang menunjukkan begitu, dan ini sangatlah mengganggu kehidupan bangsa, apalagi banyak di antara rakyat negeri ini—tidak terkecuali yang menyandang gelar akademik yang tinggi—gampang sekali memakan, menyebarkan dan membela apapun yang dinyatakan idolanya. Saya ingin mulai sekarang keduanya bicara dengan data valid saja. Atau setidaknya data yang tidak faktual bisa dikikis sedrastis mungkin.

baca juga : Tak Ada Pembahasan Kedaulatan Masyarakat Pesisir dalam Debat Capres Kedua

 

Pasangan calon presiden pada Pilpres 2019. Foto : RRI/Mongabay Indonesia

 

Isu-isu Penting yang Terlupakan

Tema debat kedua ini adalah “Energi, Pangan, Infrastruktur, Sumber Daya Alam, dan Lingkungan Hidup”. Saya punya harapan yang tinggi soal tema ini, mengingat kata-kata kunci disitu menjadi perhatian saya sejak lama. Bisa dikatakan, saya menghabiskan waktu profesional saya terbanyak untuk isu-isu yang terkait tema tersebut. Membaca deretan nama panelis debat yang diundang oleh KPU, harapan saya membumbung tinggi. Lalu terbanting keras ketika menyadari bahwa ada banyak isu yang tak disentuh di dalam debat.

Beberapa bulan terakhir, bersama-sama dengan beberapa rekan aktivis, saya terlibat dalam citizen lawsuit (CLS) lagi. Kali ini soal kualitas udara perkotaan di Jakarta. Siapapun yang memeriksa jumlah hari udara sehat di ibukota negeri ini akan tercengang, khawatir, bahkan takut. Lantaran udara Jakarta bukan cuma terkait dengan polusi yang dibuat oleh warga Jakarta saja, maka CLS itu juga menyasar gubernur dari dua provinsi tetangga, Banten dan Jawa Barat, yang memang menyumbang polutan ke Jakarta. Lantaran kemudian sifatnya antar-provinsi, maka Pemerintah Pusat juga harus dimasukkan.

Polusi udara, terutama di perkotaan, dan juga lantaran karhutla, adalah pembunuh yang semakin menakutkan.Di level global, total kematian per tahun yang diakibatkan polusi udara kini sudah melampaui 7 juta nyawa setiap tahunnya. Hasil sebuah penelitian di Indonesia pada 2017 memperkirakan ada sekitar 62.000 orang per tahun karena polusi udara. Walaupun kematian langsung akibat karhutla bisa ditekan seminimal mungkin—Pemerintah mengakui kematian 24 orang akibat karhutla 2015—namun para peneliti dari Universitas Harvard dan Columbia di tahun 2016 memperkirakan polusi udara bisa mengakibatkan kematian prematur antara 26.300 – 174.300 orang, dengan rerata 100.300. Jadi, bagaimana mungkin sebuah isu lingkungan yang membunuh sekian banyak orang tidak dibicarakan sama sekali?

Seandainya polusi udara dianggap serius—walau membunuh orang Indonesia lima kali lipat lebih banyak daripada narkoba, atau 12.000 orang per tahun menurut BNN—tidak cukup penting untuk diangkat, ‘gajah’ ini keterlaluan besarnya dihilangkan.

baca juga :  Pembangunan Rendah Karbon Harus Jadi Perhatian Capres-Cawapres

 

Kebakaran hutan pada 20 Februari 2018 lalu di Riau. Karhutla tak hanya sebabkan kerusakan lingkungan juga membahayakan kesehatan warga. Foto: BNPB/ Mongabay Indonesia

 

Salah satu isu yang hilang dari debat yang lalu adalah perubahan Iklim. Dan ini agaknya merupakan hal yang keterlaluan dari kubu Jokowi. Pemeriksaan atas dokumen visi misi Jokowi yang disetorkan ke KPU mengungkap betapa pentingnya perubahan iklim bagi kubu petahana. Di situ, diungkapkan strategi mitigasi yang komprehensif, dan tampak paling menonjol di antara strategi untuk pengelolaan lingkungan. Jadi, kalau kemudian Jokowi alpa mengangkat isu maha-penting ini, tentu saya kecewa.

Kalau dari kubu Prabowo tidak mengangkat isu ini, saya tak begitu kaget. Silakan periksa dokumen visi misi yang mereka ajukan. Perubahan iklim yang bisa memudarkan seluruh pencapaian ekonomi dan sosial yang telah diraih Indonesia ini cuma dapat tempat kurang dari satu baris di dokumen itu. Kubu itu memang kalah telak dalam soal lingkungan. Tapi, Jokowi dan para panelis yang cendekia itu sepantasnya memaksa pembicaraan soal perubahan iklim ini jadi hal penting.

Tapi, nasi sudah menjadi bubur, perubahan iklim hilang begitu saja dari perdebatan. Sahabat saya, ekonom World Resources Institute Sonny Mumbunan, mengomentari lewat percakapannya di The Conversation : “Througout the debate, none of the presidential candidates touched on climate change. It’s difficult to have a real discussion about food, energy, environment, infrastructure, and natural resources without talking about this.

Kalau kemudian perubahan iklim tak muncul dan tampaknya debat tersebut bisa berjalan ‘baik-baik saja’, sebetulnya karena sebagian besar orang memang tak punya ide tentang isu-isu apa saja yang paling penting dari tema debat tersebut. Kedua kandidat bisa tampil seperti menguasai masalah juga karena dipersiapkan oleh tim masing-masing.

Kalau kemudian perubahan iklim tidak muncul, padahal itu adalah isu paling besar yang menyatukan seluruh tema debat kedua ini, penjelasannya bisa sangat beragam. Kubu Jokowi mungkin tak mau mengangkat sesuatu yang bisa membuat perbincangan jadi suram atau setidaknya bernada pesimistik. Kubu Prabowo tak memunculkannya mungkin lantaran memang tak menganggapnya penting, seperti yang ditunjukkan di dokumen visi misi mereka.

Buat saya, Jokowi kehilangan banyak sekali peluang untuk menonjolkan beberapa pencapaiannya yang sebetulnya sangat signifikan terkait tema debat kedua ini. Di dalam pemerintahannya, Indonesia meratifikasi Sustainable Development Goals (SDGs) dan dia membuat Perpres SDGs dalam waktu yang relatif singkat, lalu meluncurkan Rencana Aksi Nasional, dan memfasilitasi pembuatan Rencana Aksi Daerah.

Di periode pemerintahannya pula regulasi soal Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) muncul, termasuk pewajiban implementasinya di tingkat daerah sebagai prasyarat rencana pembangunan. RPJMN 2020-2024 yang dihasilkannya juga dianggap yang paling dekat dengan cita-cita pembangunan berkelanjutan dan kebijakan pembangunan rendah karbon. Bagaimana mungkin pencapaian-pencapaian yang sangat membanggakan itu malah tak dimunculkan di dalam debat?

menarik dibaca :  Debat Capres: Perubahan Iklim Tak Dibahas, Energi Terbarukan Suram?

 

Area persawahan. Petani yang tergantung pada hasil pertanian amat terpengaruh pada dampak perubahan iklim yang terjadi. Foto: Donny Iqbal/ Mongabay Indonesia

 

Sawit sebagai Energi Terbarukan?

Walaupun perubahan iklim tak muncul, kedua kandidat memunculkan perbincangan soal energi terbarukan, yang merupakan strategi penting untuk mitigasi perubahan iklim. Jokowi punya keunggulan yang besar dalam soal ini di dalam dokumen visi misi, pun dalam elaborasi awalnya di dalam debat. Namun, keduanya kemudian tampak sama-sama sepakat soal pemanfaatan minyak nabati untuk bahan bakar. Di sini saya harus kembali menahan emosi negatif yang timbul lantaran kedua kandidat jelas menggampangkan masalah.

Kita tahu bahwa minyak sawit adalah minyak nabati yang produktivitasnya paling tinggi. Penelitian IUCN yang muncul di tahun lalu menyatakan bahwa secara rerata produktivitasnya bisa mencapai 9 kali lipat minyak nabati lainnya. Tetapi, apakah ini kemudian membuat minyak sawit sebagai bahan bakar adalah jalan keluar yang lebih hijau dibandingkan energi fosil? Belum tentu.

Sawit di Indonesia jelas punya peluang ditingkatkan produktivitasnya. Kalau kemudian kebun-kebun yang sudah ada ditingkatkan produktivitasnya itu, mungkin dampak lingkungannya masih terkendali, terutama kalau penggunaan pupuk dan pestisida kimiawi bisa ditekan. Kalau perluasan lahan perkebunan sawit dilakukan di lahan-lahan kritis, itu juga sesuatu yang baik. Tetapi, kalau rencana meningkatkan pemanfaatan minyak nabati itu sampai membuat hutan-hutan sekunder dan primer dibuka—terlepas dari status legalnya—maka dampak negatif terhadap lingkungan pasti terjadi.

Kebun sawit secara rerata hanya menyimpan karbondioksida sebesar 50 ton per hektare, sementara hutan tropis menyimpan 350 ton. Kalau dilakukan di lahan gambut, dampaknya lebih tak masuk akal lagi, karena itu gambut bisa menyimpan lebih dari 2.500 ton karbondioksida per hektarenya.

Saya paham bahwa pemanfaatan sawit untuk bahan bakar ini sangatlah terkait dengan rencana Uni Eropa untuk tidak lagi memanfaatkan sawit sebagai bahan bakar. Ini menimbulkan risiko bisnis yang besar bagi industri minyak sawit di dalam negeri. Ancaman aset terdampar (stranded assets) sangat jelas di hadapan mata, dan salah satu cara mengatasinya adalah menggenjot pemanfaatan di dalam negeri. Ancaman tersebut secara cerdik ditransfer menjadi peluang yang lebih jauh lagi. Bukan saja memastikan bahwa pasar dalam negeri akan menyerap kelebihan pasokan yang bakal terjadi karena penurunan serapan pasar Eropa, tetapi juga malah mungkin membuat pasar yang lebih besar lagi dengan menjadikan sawit sebagai bahan bakar nabati dengan B20, B30, bahkan hingga B100.

Agaknya, kedua capres tak cukup mau berpikir panjang. Memanfaatkan gelegak perasaan nasionalisme, menunggangi gelombang kedongkolan kepada Uni Eropa, para pengusaha tampaknya berhasil membujuk para politisi untuk tampil ‘populis’. Menggunakan kesejahteraan pekebun skala kecil sebagai dalih utama, ditambah dengan peluang penghematan devisa puluhan triliun setahun lantaran bisa menggantikan sebagian proporsi impor bahan bakar, tentu sangat menarik. Tidak sedikitpun disebutkan soal bagaimana sebetulnya yang paling diuntungkan adalah para pengusaha sawit skala raksasa, juga tak ada pembicaraan soal dampak lingkungan yang mungkin timbul, dan kemungkinan konflik penggunaan lahan dengan kebutuhan peningkatan produksi pangan. Itu semua menunjukkan para kandidat mau ‘seenaknya saja’ menghindar dari diskusi yang lebih berat.

 

Hutan berubah jadi kebun sawit di Sare Rangan, Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Pilkada korup memicu izin-izin konsesi lahan keluar sebagai modal kampanye politik. Foto: Sandy Watt untuk The Gecko Project.

 

Penguasaan Lahan dan “yang Online-online Itu”

Prabowo, dalam catatan Litbang Kompas, memang lebih kerap menyerang, yaitu sebanyak 20 kali. Sementara, Jokowi ‘hanya’ 11 kali. Jadi, sebetulnya tidak benar Prabowo tampil kalem. Secara gestur mungkin begitu, namun sebetulnya serangan verbal dilancarkan hampir dua kali lipat yang dilakukan Jokowi. Tapi bukan jumlah itu yang menonjol. Semua orang akan mencatat dalam benaknya bahwa pada debat kedua ini Jokowi menangkis serangan Prabowo dengan balasan yang mematikan.

Sama dengan catatan saya di atas, lagi-lagi kedua capres, tak bersedia bertukar pandangan dengan lebih dalam lagi. Soal penguasaan lahan misalnya dimulai oleh serangan Prabowo soal ketimpangan. Dia juga menyatakan bahwa bagi-bagi lahan kepada petani bukanlah kebijakan yang tepat. Tanah akan habis kalau dibagi-bagi kepada para petani, begitu kata Prabowo. Jokowi kemudian tanpa ragu-ragu membela pilihannya untuk membagi tanah kepada rakyat lewat reforma agraria dan perhutanan sosial, selain melakukan beragam tindakan untuk memastikan kepemilikan lewat program sertifikasi.

Yang tak disangka-sangka, Jokowi kemudian juga membuka penguasaan tanah oleh Prabowo. Menurut Jokowi, Prabowo menguasai 220.000 hektare tanah di Kalimantan Timur, dan 120.000 hektare di Nanggroe Aceh Darussalam. Dia menekankan bahwa tak ada bagi-bagi tanah untuk para pengusaha besar di masa kekuasaanya. Di satu sisi, Jokowi bertahan dengan menyatakan dialah yang mengurangi ketimpangan kepemilikan yang jadi bahan serangan Prabowo. Tetapi, pengungkapan data tersebut juga dimaknai sebagai serangan balik kepada Prabowo, karena dia adalah bagian dari masalah ketimpangan itu.

Jokowi juga menambah serangan, ketika dia bertanya soal infrastruktur apa yang akan dibangun Prabowo untuk mendukung unicorn-unicorn Indonesia. Unicorn, yang berarti perusahaan rintisan yang bisa mencapai valuasi sebesar USD 1 miliar dalam waktu relatif singkat, tak cukup dipahami oleh Prabowo. Setelah mulai dengan potongan kalimat tanya yang jadi sangat terkenal setelah debat ini, “…yang online-online itu?” Prabowo memberikan jawaban kelewat umum, yang kemudian oleh banyak pihak dinyatakan sebagai bukti bahwa Prabowo tak memahami diskursus dan praktis bisnis mutakhir, yang banyak menjadi aspirasi kaum Milenial.

Saya bakal sangat heran kalau Prabowo bisa memberikan jawaban yang bagus soal itu. Sampai sekarang, yang ditunjukkan oleh Prabowo hanyalah retorika-retorika yang tidak menunjukkan bobot pengetahuan mendalam atas apapun. Kengawuran soal data yang dia pergunakan sudah pada tingkat parah—atau Stadium 4, meminjam perumpamaan yang Prabowo pernah nyatakan—jadi, tak aneh kalau dalam soal ini, Prabowo tak bisa berbuat banyak.

Tapi, yang bikin saya lebih heran lagi adalah bahwa pertanyaan itu tidak diintervensi oleh moderator. Apakah, hanya karena menggunakan kata infrastruktur, sesungguhnya pertanyaan itu bisa dianggap sesuai dengan tema debat kali ini? Menurut saya, pertanyaan itu tidak relevan, dan sudah seharusnya moderator meminta Jokowi mengganti pertanyaannya menjadi yang sesuai dengan tema. Apakah para moderator, juga panelis, tidak diperkenankan untuk mengajukan keberatan atas pertanyaan yang diajukan? Tidakkah seharusnya Jokowi, juga Prabowo kalau melakukannya, diingatkan apabila membawa pertanyaan dan pernyataan yang keluar dari tema debat? Kalau relevansi tak bisa ditegakkan, untuk apa ada tema debat?

 

Lahan warga seluas 125 hektar milik 72 petani di Pulongbangkeng Utara, Kabupaten Takalar, yang diambil paksa oleh pihak PTPN pada 2015 lalu. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Kelanjutan Nasib Isu Ketimpangan Lahan

Jokowi menutup debat dengan pernyataan soal bagaimana dia mau memerjuangkan kemajuan Indonesia, dan dalam perjuangannya itu dia tak takut kepada siapapun, kecuali kepada Tuhan. Sambutan itu bisa ditebak akan sangat diapresiasi oleh para pendukungnya Di dalam kesempatannya menutup debat, Prabowo lebih lemah nadanya. Dia malah membela diri dengan menyatakan bahwa tanah yang dikuasainya berstatus HGU dan dia siap mengembalikan kepada negara kalau sewaktu-waktu dibutuhkan. Dia juga menambahkan bahwa penguasaan lahan oleh dirinya itu lebih baik, karena menurut pengakuannya, dia adalah seorang ‘patriot nasionalis’.

Beberapa hari setelah debat, pernyataan itu terus menjadi perhatian publik. Banyak yang menyatakan menunggu pembuktian ucapan Prabowo untuk mengembalikan lahan yang dikuasai. Tentu, tak semudah itu realisasinya, tapi itu tak membuat orang berhenti ‘menagih janji’ Prabowo. Ombudsman kemudian mengeluarkan pernyataan bahwa status lahan Prabowo di Aceh bukanlah HGU sebagaimana yang dia nyatakan. Wapres Jusuf Kalla juga buka suara, menyatakan bahwa dialah yang memberi rekomendasi kepada BPPN untuk menjual lahan di Kalimantan Timur ke Prabowo dengan harga jual tunai USD150 juta. Sementara, Tempo dan Auriga menyatakan bahwa lahan yang dikuasai Prabowo itu hampir mencapai 362.000 hektare

Di sisi lain, tentu saja kubu Prabowo membela diri. Menurut mereka, Prabowo menguasai lahan itu dengan cara-cara yang sesuai regulasi. Tetapi, kalau ukurannya regulasi, lalu apa artinya kritikan Prabowo? Kubu Prabowo juga bilang bahwa tak ada konflik lahan atas tanah-tanah yang dikuasai oleh Prabowo. Pengecekan atas berbagai nama perusahaan Prabowo dan lokasinya yang kini sudah menjadi pengetahuan umum segera saja membuktikan bahwa klaim itu tidak benar. Tetapi, kubu Prabowo juga mengemukakan bahwa pemilikan lahan yang luas bukan cuma ada di kubu mereka. Walau Jokowi dan Ma’ruf Amin jelas kalah jauh sekali dalam soal penguasaan lahan dibandingkan Prabowo dan Sandiaga Uno, namun para pengusaha yang berada di kubu Jokowi, termasuk Menteri Luhut Panjaitan juga merupakan penguasa lahan yang luar biasa luas.

Diskursus soal penguasaan lahan dan ketimpangan ini seharusnya tidak dihentikan, dan terus dicari penyelesaiannya yang hakiki dan adil. Melihat kecenderungan ‘saling mengunci’ seperti sekarang, apakah ada harapan untuk tindak lanjut yang bakal membuat ketimpangan berkurang? Kalau Jokowi menang, lalu melanjutkan programnya, tentu pengurangan ketimpangan akan berlanjut, lewat reforma agraria dan perhutanan sosial yang menjadi andalannya. Tetapi, apakah itu juga bakal mencakup tindakan tegas terhadap para penguasa lahan skala raksasa, termasuk yang berada di kubunya? Entahlah. Apakah kalau Prabowo menang kemudian masalah ketimpangan penguasaan lahan akan diselesaikan, termasuk dengan melepaskan lahan-lahan yang dimiliki oleh dirinya dan Sandiaga? Walau mendengar langsung pengakuan sebagai ‘patriot yang nasionalis’, saya sangat pesimistik.

 

Hutan Aceh yang luasannya berkurang akibat pembalakan dan alih fungsi lahan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Masih Relevankah Debat Capres?

Di penghujung tulisan ini saya merasa, sama seperti keyakinan yang saya tuliskan di bagian depan, masing-masing kubu memang merasa tak ada yang salah di kubunya, dan seluruh kesalahan ada di kubu lawan. Lalu, saya teringat ajaran mahaguru dari MIT, Otto Scharmer, yang saya dengarkan beberapa tahun lampau di kampus Sloan School of Management. Menurut Scharmer, ruang percakapan (fields of conversation) itu bisa mewujud menjadi empat tingkatan, yaitu downloading, debate, dialogue, dan collective creativity. Apa yang diajarkan itu kemudian memberikan kesadaran pada saya.

Downloading padanannya adalah basa-basi. Dari pembicaraan yang sopan dan menghamburkan apa yang hendak didengar lawan bicara itu, sesungguhnya kita tak akan mendapatkan apa-apa. Debat memang hakikatnya adalah konfrontasional dan sekadar melihat kesalahan di pihak lawan. Hasilnya? Perpecahan.

Dialog berisikan saling tukar pemikiran tentang apa yang menjadi perhatian bersama. Dari dialog orang mendapatkan refleksi soal posisi awal masing-masing, serta perluasan wawasan, lantaran masing-masing bisa mengapresiasi pandangan lawan bicaranya. Yang terakhir, lewat proses kreativitas kolektif, masing-masing pihak bisa mengalami pergeseran identitas, menjadi diri yang otentik dan mewujudkan potensi tertingginya. Bahkan, tingkatan tertinggi ini biasanya menghasilkan kesepakatan tindakan bersama yang akan diambil untuk kebaikan kolektif.

Karena ingatan saya pada ajaran Scharmer tersebut, sekarang saya betul-betul merasa prihatin atas hasil debat capres. Membaca saling serang kedua kubu di laman komentar berita di media massa daring, apalagi di media sosial, membuat saya semakin yakin dengan apa yang dinyatakan Scharmer. Buat apa debat? Jelas hanya akan semakin menguatkan perbedaan di antara pendukung kedua capres. Yang bangsa Indonesia butuhkan sesungguhnya adalah dialog dan kreativitas kolektif. Dan ini bukan sekadar persoalan nama, melainkan soal perbedaan hakikat dan tujuan dari perbincangan itu.

Kalau tulisan ini bisa melampaui sifat curhat belaka, mungkin yang saya inginkan adalah agar format debat capres kita tinggalkan saja. Saya membayangkan kedua pasangan bisa duduk bersama dengan lebih santai, berdialog soal apa yang menjadi perhatian masing-masing. Bukan untuk mencari kelemahan satu sama lain, melainkan untuk mencari berbagai tantangan yang dihadapi Indonesia dan bagaimana masing-masing bisa menyumbangkan diri untuk menjawab tantangan-tantangan itu—baik sebagai presiden/wakil presiden, maupun sebagai kontestan yang lebih sedikit pendukungnya. Saya kira, jawaban masing-masing atas pertanyaan “Apa yang bakal Bapak sumbangkan buat Indonesia bila tidak terpilih menjadi presiden/wakil presiden?” akan lebih menggambarkan karakter kepemimpinan, dan membantu masyarakat memilih dengan lebih baik, dengan rasio dan emosi positif.

***

*Jalal, Reader on Corporate Governance and Political Ecology Thamrin School of Climate Change and Sustainability. Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis

 

Exit mobile version