Mongabay.co.id

Kajian Populasi Satwa Terancam Punah: Penting Ada, Agar Tidak Timbul Perdebatan

Ada 10 elang yang cacat permanen akibat perburuan liar di Pusat Konservasi Elang Kamojang, Garut, Jabar. Elang Jawa (Nisatus bartelis) ii mengalami patah tulang sayap kanan akibat kekejaman majikannya. Foto : Donny Iqbal

 

 

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menargetkan peningkatan 10 persen terhadap 25 spesies satwa terancam punah dalam kurun waktu 2015-2019. Sejumlah satwa prioritas itu menjadi tolok ukur keberhasilan pengelolaan ekosistem dengan menakar kondisi biologis dan ketersediaan habitat [SK Dirjen PHKA No. 200/IV/KKH/2015]. Peningkatan jumlah menjadi barometer keberhasilan program konservasi.

Bagaimana perkembangannnya saat ini? Dalam buku berjudul Status Hutan & Kehutanan Indonesia 2018 yang diterbitkan KLHK dituliskan jika merujuk baseline data 2013, ada peningkatan populasi satwa. Beberapa spesies bertambah rata-rata diatas dua persen per tahun.

Berdasarkan data Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam [BBKSDA] Jawa Barat, owa jawa [Hylobates moloch] dan elang jawa [Nisaetus bartelsi] merupak satwa yang menjadi prioritas ditingkatan populasinya.

Kepala Bidang KSDA Wilayah II BBKSDA Jawa Barat Memen Suparman, mengatakan target peningkatan populasi kedua satwa terancam punah itu sudah memenuhi target 10 persen. Namun, dia tidak menjelaskan rinci berapa pertambahannya.

“Intinya, ada peningkatan. Side monitoring-nya berada di Cagar Alam [CA] Tangkuban Perahu untuk elang jawa. CA Burangrang, CA Gunung Simpang, dan CA Gunung Tilu untuk owa jawa,” jelasnya baru-baru ini.

Baca: Indonesia Targetkan Peningkatan 10 Persen Populasi 25 Spesies Terancam Punah

 

Elang jawa yang berada di Pusat Konservasi Elang Kamojang, Garut, Jawa Barat ini direhabilitasi agar naluri liarnya tumbuh kembali sebelum dilepasliarkan. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Sulit menghitung populasi

Manajer Pusat Konservasi Elang Kamojang [PKEK], Zaini Rahman menuturkan pendapatnya. Menurut dia, sulit membuktikan peningkatan populasi elang jawa. Pasalnya, sejauh ini belum ada data mutakhir terkait jumlahnya di alam.

“Untuk meningkatkan populasi, perlu jumlah yang stabil di alam.”

Peningkatan popluasi selama ini, kata Zaini, sifatnya hanya translokasi. Memindahkan satwa dari wilayah lain ke tempat lebih aman. Secara umum, upaya ini tidak meningkatkan populasi. Sebab, populasi di satu tempat berkurang, sedangkan ditempat lain bertambah.

Penambahan populasi, lanjut Zaini, lazimnya berasal dari alam. Artinya, satwa berbiak alami di habitatnya. Namun, cara ini kemungkinan kecil sekali peluangnya. “Perburuan dan perambahan hutan marak,” jelasnya.

Cara lain adalah mengandalkan pelepasliaran hasil penangkaran. Persoalannya, selama ini yang dilepaskan merupakan hasil rehabiltasi yang semuanya diambil dari alam, dikembalikan ke alam. “Lagi-lagi memindahkan, bukan menambah,” terangnya.

Lembaga rehabilitasi ini memang menfokuskan pelepasliaran elang jawa di kawasan CA Kamojang, Kabupaten Garut. “Di Kamojang daya tampungnya sekitar 7 pasang. Data terakhir, ada 4 pasang, masih berpeluang lepas liar 3 pasang lagi,” imbuhnya.

Baca: Kisah Mudiknya 6 Owa Jawa ke Tanah Pasundan

 

Elang jawa. Foto: Harry Kartiwa/ Burung Indonesia

 

Hutan menyusut

Kepala Perawat Satwa Primata The Aspinall Foundation, Sigit Ibrahim tidak menampik jika menyusutnya hutan menjadi kendala utama dalam upaya rehabilitasi. Menurutnya, keadaan ini bisa merembet ke faktor lain, mulai ekologi habitat hingga daya tampung sebagai pertimbangan lokasi pelepasliaran.

“Seteleh proses rehabillitasi yang panjang, tantangan berikutnya mencari lokasi pelepasliaran. Terus terang kami kesulitan menemukan lokasi ideal,” ungkapnya.

Baseline data Aspinall di kandang Rehabilitasi Ciwidey, Kabupaten Bandung, dalam kurun waktu 2011 – 2018 menunjukkan, telah ada 150 individu primata dari tiga spesies yaitu owa jawa, lutung jawa dan suliri di kandang perawatan. Hanya, jumlah primata yang telah dilepasliarakan sebanyak 57 individu.

“Sebetulnya, trennya malah banyak menambah populasi di kandang bukan di alam,” paparnya.

Sigit menjelaskan, salah satu keberhasilan rehabilitasi adalah perkawinan dengan primata liar. Tahun 2014, Aspinall melepasliarkan sepasang owa jawa sitaan. “Terakhir, kami melakukan pemantauan anakan owa sudah pisah dari induknya. Setidaknya, perlu waktu empat tahun untuk owa berkembangbiak. Sulit memang menambah populasi,” tuturnya.

Baca juga: Owa, Primata Dilindungi Ini Ada Saja yang Pelihara!

 

Owa jawa ini dilepasliarkan di kawasan Cagar Alam Gunung Tilu Blok Gambung, Desa Mekarsari, Kecamatan Pasir Jambu, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, pada 2 Agustus 2017 lalu. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia [LIPI] pada 2009, melalui pusat penelitian Biologi telah mengembangkan riset konservasi satwa liar pada populasi kecil. Penelitian ini ingin mengungkap bahwa spesies dengan ukuran populasi kecil akan menghadapi risiko kepunahan lebih cepat ketimbang populasi besar.

Ada tiga faktor dominan yang mengakibatkan kepunahan satwa. Pertama, hilangnya keragaman genetika diakibatkan perkawinan sedarah [inbreeding depression] dan hanyutan genetik [genetic drift]. Kedua, penyusutan kawasan hutan yang dampaknya bisa memutus habitat satwa menjadi terfragmentasi. Ketiga, perubahan lingkungan.

 

 

Exit mobile version