Mongabay.co.id

Lanskap Lestari, Cara Desa Bangsal Berdaulat Pangan dan Menjaga Bentang Alam

 

 

Desa Bangsal, salah satu desa di Kecamatan Pampangan, Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI], Sumatera Selatan, dikenal karena adanya pengembalaan kerbau rawa. Desa yang luasnya sekitar 448,5 hektar ini, berada di Pulau Kuro, daratan yang dikelilingi rawa gambut. Bagaimana desa ini mengantisipasi perubahan bentang alam di sekitarnya demi mempertahankan tradisi memilhara kerbau rawa, memenuhi pangan, dan menjaga sumber ekonomi?

“Kami menata ruang desa yang disebut lanskap lestari,” kata Muhammad Hasan, Kepala Desa Bangsal, kepada Mongabay Indonesia, akhir Februari 2019.

Salah satu ancaman bentang alam di Desa Bangsal, khususnya Pulau Kuro, yang terdiri dari Desa Kuro, Desa Bangsal, dan Mengris, yakni hadirnya perkebunan kelapa sawit yang berada di sekitar desa, serta pembangunan infrastrukltur.

“Jika ekonomi masyarakat tidak kuat, termasuk juga kesadaran akan lingkungan, bukan tidak mungkin akan banyak lahan mineral maupun rawa di Pulau Kuro ini berubah menjadi perkebunan sawit,” kata Hasan.

Saat ini, semua warga yang berjumlah 567 jiwa menetap di lahan mineral seluas 5 hektar. Sekitar 68,5 hektar lahan mineral dijadikan perkebunan karet, sebagian kecilnya berupa hutan ramuan. Sementara, sekitar 375 hektar yang berupa rawa gambut, dijadikan lokasi pengembalaan kerbau dan persawahan.

Baca: Menyelamatkan Potensi Kerbau Rawa dari Dampak Kerusakan Gambut, Bagaimana Caranya?

 

Warga Desa Bangsal, Kecamatan Pampangan, Kabupaten OKI, Sumatera Selatan, masih banyak menggunakan perahu untuk pergi ke kebun atau sawah melalui rawa gambut dengan latar belakang hutan desa tersisa. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Tujuan lanskap lestari, kata Hasan, menghindari konflik antara warga yang berkebun dan bersawah dengan peternak kerbau, serta menjamin kebutuhan pangan warga. Garansi ekonomi sekaligus mempertahankan hutan yang ada.

“Lanskap ditetapkan melalui peraturan desa yang dikeluarkan akhir 2018. Peraturan tata ruang wilayah ini dijalankan hingga 2028. Tujuannya, mewujudkan Desa Bangsal yang berdaulat pangan, mandiri ekonomi dan lestari berbasis kearifan lokal,” lanjutnya.

Perekonomian masyarakat, seperti halnya juga masyarakat pedesaan di Sumatera Selatan lainnya, mulai menurun sejak harga getah karet tidak pernah membaik atau tidak mencukupi. “Jika dulu getah karet menjadi andalan, kini menjadi penunjang. Butuh pendapatan lain atau mengurangi biaya kebutuhan hidup, misalnya pangan yang dihasilkan sendiri,” katanya.

Dalam mewujudkan cita-cita tersebut, Pemerintah Desa Bangsal didukung INAgri [Institut Agroekologi Indonesia], sebuah organisasi nonpemerintah yang fokus pada pengembangan desa lestari.

Baca: Wong Rawang, Membaca Jejak Keberadaan Mereka di Lahan Gambut

 

Seorang ibu dan anaknya berada di kebun karet yang tengah disadap getahnya. Harga karet yang rendah tidak mampu lagi menunjang biaya kehidupan warga Desa Bangsal. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan pantauan Mongabay Indonesia, warga membangun diklat mandiri perikanan lokal, seperti patin, sepat, gabus, lele, baung, dan lainnya. Di lokasi tersebut terdapat empat kolam berisi pembesaran lele, patin, putak dan sepat. Hasil budidaya itu akan dikembangkan menjadi kerupuk ikan dan sale ikan, yang mesin pengasapannya dari bantuan pemerintah melalui Kedeputian 3, Badan Restorasi Gambut [BRG].

“Kami juga melatih warga membudidayakan ikan air tawar,” kata Muhammad Husin, salah satu warga yang juga pengurus diklat perikanan.

Dijelaskan Husin, sejak bentang alam di sekitar Pulau Kuro mengalami perubahan, potensi ikan di sungai dan rawa gambut berkurang. “Budidaya ikan ini upaya agar kebutuhan ikan dan ekonomi kami terjamin ke depannya,” ujarnya.

Sementara di sektor pertanian, selain tetap mempertahankan persawahan yang ada, juga dikembangkan pertanian pekarangan rumah dengan model FAITH [food always in the home]. Saat ini tengah dicoba sejumlah sayuran yang ditanam di sebuah demplot yang lokasinya menyatu dengan budidaya perikanan, serta pengembangan pertanian apung atau di atas air.

Baca: Harga Karet Rendah Pemicu Api di Lahan Gambut, Benarkah?

 

Sekawanan kerbau rawa dengan latar belakang permukiman masyarakat di Desa Bangsal, Kecamatan Pampangan, Kabupaten OKI, Sumatera Selatan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Terkait peternakan kerbau rawa, masyarakat meningkatkan kualitas dan produksi hasil turunan berupa olahan susu menjadi gula puan [fermentasi susu dicampur gula], sagon, dadih [mentega dari susu kerbau] dan peunjeum [yoghurt dari susu kerbau], serta pupuk kompos.

“Selain mengembangkan teknologi yang mengoptimalkan bahan baku, kami pun menata ruang kerbau rawa, dengan membatasi pagar kawat atas bantuan BRG,” kata Hasan.

Saat ini kerbau rawa milik warga Desa Bangsal sekitar 400 ekor, sementara jumlah kerbau rawa di Kecamatan Pangkalan Lampam dan Pampangan di Kabupaten OKI sekitar 2.100 ekor. Agar tidak terjadi konflik dengan warga yang bersawah dan berkebun, kami membatasi kerbau hingga 450 ekor. Jika lebih, kami menjualnya.

“Kami memperhatikan kesehatan dan pakannya sehingga kerbau menghasilkan susu yang baik dan lancar,” ujar Samari, Ketua kelompok Peternak Kerbau Rawa Desa Bangsal, Pokmas Harapan Sejahtera.

Baca juga: Yandri Tak Pernah Ragu, Mengajak Pemuda Desa Perigi Bertani

 

Pertanian merupakan sektor penting yang harus diperhatikan dari dampak pembangunan dan kebijakan yang merugikan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Mencetak petani

Terkait sumber daya manusia, mewujudkan masyarakat desa yang cerdas dan bermoral, di desa ini sejak 2008 telah didirikan Sekolah Aliyah [SMP] Ibnul Fallah. Ibnul Fallah artinya “anak petani”.

Awalnya, sekolah ini dibangun untuk menampung anak-anak petani atau warga Desa Bangsal yang terancam putus sekolah karena persoalan biaya. Saat dibuka, tercatat 17 anak yang masuk sekolah. Kini sudah ada 150 siswa dari Desa Bangsal dan desa lain di Pulau Kuro. Sekitar 60 anak menginap di asrama. Semua biaya secara swadaya. Ke-150 anak itu bukan hanya siswa Aliyah, tapi juga Tsanawiyah [SD] dan PAUD.

“Jika awalnya menyelamatkan anak petani terancam putus sekolah, saat ini kami menargetkan menghasilkan petani muda yang agamis, ekologis dan memiliki jiwa kewirausahaan. Sehingga mata pelajaran lingkungan hidup, pertanian, perikanan, menjadi pelajaran wajib, selain tentunya ilmu agama dan pengatahuan umum lainnya,” kata Rohman, guru di Ibnul Fallah.

Baca juga: Ayo! Tancap Gas Kembangkan Biogas

 

 

 

 Potensi biogas dan wisata

Selama ini kotoran kerbau yang tertampung di kandang hanya dimanfaatkan untuk membuat pupuk kompos, “Tapi kami ingin mengembangkannya menjadi biogas atau bahan bakar untuk penerangan listrik,” kata Hasan.

“Ini baru rencana yang akan didukung Pemerintah Kabupaten OKI. Percobaannya, di ruang belajar pesantren. Tapi semua, tergantung potensi biogas yang ada,” lanjutnya.

Menurut pakar ternak, kata Hasan, setiap kerbau dapat menghasilkan 20 kilogram kotoran per hari. “Tapi kan, sebagian besar kotoran kebaru di sini tidak hanya dibuang di kandang, ada juga di lokasi pengembalaan. Jika diasumsikan, dengan kotoran di sekitar kandang sebanyak 10 kilogram per hari, potensi biogas di Bangsal sekitar 4.000 kilogram dari 400 ekor kerbau,” katanya.

“Selain biogas, kami juga berkeinginan mengembangkan energy sinar matahari, khususnya di rumah-rumah warga. Sehingga, energi kami mandiri dan beban ekonomi berkurang,” ujarnya.

 

 

Selanjutnya, jika semua upaya terwujud, ke depan Desa Bangsal berpotensi menjadi objek wisata dusun agroekologis. “Kerbau, perikanan, hutan, dan pertanian menjadi satu kesatuan yang dapat dinikmati para wisatawan lokal maupun mancanegara,” kata Hasan.

“Tapi masih banyak persiapan menuju ke sana, baik lingkungan maupun manusianya sehingga wisata itu berjalan saja, bukan sebagai ancaman masa depan desa,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version