Mongabay.co.id

Meluruskan soal Hak Guna Usaha

Pada Kamis 13 Juli 2017, Ibrahim, 72 tahun, warga Mantadulu, transmigran dari Lombok Tengah mempelihatkan sertifikat tanah yang diklaim PTPN XIV. Konflik lahan antara warga dan perusahaan, termasuk perusahaan negara, banyak terjadi. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Cerobong asap pabrik gula mulai mengotori udara Pulau Jawa, pada 1832. Pabrik Gula Pangkah, Slawi, Jawa Tengah, tercatat sebagai pabrik gula pertama yang berdiri di tanah Jawa. Tahun itu, era tanam paksa Gubernur Jenderal Van Den Bosh, telah berjalan dua tahun.

Kekejaman tanam paksa tak berakhir, hanya berganti model pada 1870 dengan kelahiran UU Agraria 1870. Politik pintu terbuka bagi pengusaha berbagai bangsa untuk masuk membangun perkebunan modern, buruh dan pabriknya. Hasilnya, makin banyak tanah dibuka untuk jadi perkebunan besar lengkap dengan pabrik, rumah buruh berdesak-desakan, rumah karyawan dan pemilik nan megah dan berbagai gudang penyimpanan.

Pemilik perkebunan para pengusaha itu, mendapatkan tanah melalui sewa dari pemerintah kolonial atau bisa juga kontrak dengan penguasa lokal setempat selama 75 tahun. Tak bisa lagi memaksa rakyat menanam komoditas yang diperlukan tetapi sebagian masyarakat mulai menanam tanaman yang dibutuhkan pengusaha.

Kebutuhan pasar global atas hasil perkebunan tertentu jadi pemicu pengambil alihan tanah rakyat, penciptaan buruh kebun (kontrak) hingga hal-hal lain seperti pembangunan infrastruktur jaringan kereta api, jalan raya, pelabuhan dan komunikasi.

Sekarang, situasi semacam ini dijelaskan sebagai fenomena land grabbing yang diakibatkan oleh keperluan komoditas global. Istilah baru untuk praktik lama yang relatif sama.

 

Perusahaan yang membuka kebun sawit dan berkonflik lahan dengan masyarakat adat Laman Kinipan di Kalteng. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

 

Mari melompat cepat ke waktu-waktu sekarang, untuk dapat membayangkan suasana saat itu sama saja dengan hari ini. Misal, Masyarakat Adat Laman Kinipan, Kecamatan Batangkawa, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, sampai hari ini belum teraliri listrik, terkesiap melihat puluhan ribu hektar hutan alam mereka ditebang cepat oleh mesin-mesin dan disulap jadi perkebunan sawit.

Hutan tempat perladangan, buah-buahan, hewan buruan, sumber obat, madu hingga kayu untuk kebutuhan rumah mereka menghilang.

Tanah milik warisan nenek moyang mereka dirampas karena bekerjanya aneka regulasi yang melakukan pencaplokan sistematis. Berawal, wilayah mereka disebut sebagai hutan negara melalui UU Kehutanan, kemudian lepas dari kawasan hutan untuk perkebunan melalui UU Penanaman Modal, UU Perkebunan, UU Tata Ruang, dan pindah hak atas tanah jadi milik perusahaan oleh PP 40/1996 tentang hak guna usaha (HGU) yang menyeleweng dari UU Pokok Agraria (UUPA) 1960.

Tiba-tiba, wilayah yang belum teraliri listrik ini telah terhubung ke dalam sirkuit perdagangan global komoditas sawit.

Sembari membuka lahan, perusahaan datang dengan tawaran jalan raya beraspal, listrik, hingga penerimaan tenaga kerja. Berubahlah sebagian masyarakat adat ini, pendapatan berubah, dari hasil hutan ke sistem pengupahan kerja, jam kerja berubah, konsumsi pangan bergantung dari luar daerah. Tak lagi perayaan adat untuk merayakan panen, aneka upacara seperti menebang pohon untuk rumah atau mantera-mantera kala berburu.

Kemarahan semacam ini, dapat dimengerti sebagai kehilangan kekayaan besar tak terperi yakni kehilangan sebuah masyarakat adat sebagai penopang utama “Bhineka Tunggal Ika.”

Keresahan lain, mengapa pembangunan sistem perkebunan lahan skala besar modern ini sama sekali tak berubah kalau dibandingkan dengan masa kolonial. Bukankah model semacam ini telah membuat jurang ketimpangan struktur agraria yang makin mendalam.

Paradigma ekonomi pertumbuhan begitu mempercayai memberikan lahan luas kepada pengusaha lebih produktif dibanding masyarakat lain. Sebab, pengusaha punya modal, teknologi juga pengetahuan daripada diberikan kepada rakyat jelata. Pandangan ini bahkan yang diajarkan ke sekolah-sekolah. Rakyat jadi tenaga kerja saja.

Entah mengapa saat belajar semacam ini, tak ada pelajaran sejarah dan sistem ekonomi perkebunan kolonial di tanah air seperti sekitar Medan, Pagar Alam, Kerinci, Lampung, dan Pulau Jawa.

Kalau memberi tanah ke rakyat, kadang argumentasi penolakan dengan tambahan argumentasi prediktif tanpa data akurat tentang tanah-tanah milik yang dijual dan terkonstrasi kembali kepada orang kaya.

Di sinilah, kita sebaiknya memberikan ulasan tentang HGU. Sebab, telah lama dilupakan bahwa di dalam UUPA No.5/1960 pada Pasal 12 dan 13, menguraikan, pemberian hak atas tanah bagi lapangan usaha seperti HGU, hak guna bangunan, hak pakai, memprioritaskan kepada lapangan usaha bersama, gotong royong, untuk mencegah monopoli tanah dan penghisapan manusia atas manusia. Lapangan usaha semacam ini, dalam penjelasan ini untuk membentuk suatu formasi kapital progresif domestik.

 

Seorang warga di ujung kanal yang dibangun PT RAPP setelah menebang seluruh hutan di atasnya di Pulau Padang, Riau, Indonesia Mei 2014. Foto: Zamzami

 

Makna dari pasal ini adalah, agar HGU jadi jenis hak atas tanah yang prioritas utama kepada petani, desa atau masyarakat umum lain dalam bentuk koperasi, bukan korporasi. Koperasi, sebagai spirit kolektif ekonomi sekaligus bentuk badan usaha ekonomi. Inilah misi UUPA yang mengidealkan bahwa, tujuan pemberian HGU untuk usaha perkebunan modern—oleh UUPA diluaskan kepada pertanian, peternakan, perikanan dan kehutanan—itu dimiliki rakyat. Hal ini merupakan jawaban UUPA tentang keresahan usaha agraria masyarakat yang stagnan dan harus maju dalam usaha modern, setuju dengan pertanian modern namun pemilik adalah rakyat yang memiliki spirit kolektif dan tentu saja menjawab keresehan fragmentasi lahan karena sistem warisan dan jual beli.

Hal semacam ini tentu memerlukan lingkungan tumbuh yang baik, seperti pendidikan kejuruan dan universitas mendukung HGU untuk rakyat, permodalan seperti bank tani. Sebenarnya, hal-hal ini juga telah disiapkan negara.

Sayangnya, pikiran semacam ini tak boleh ada ketika semasa Orde Baru, berkuasa. Jangan heran, ketika kampus pertanian saat ini lebih banyak melahirkan karyawan perkebunan dan birokrat pertanian dibandingkan mewujudkan cita-cita UUPA ini.

Karena alur pikiran UUPA tidak lagi dipahami, maka makna dan implementasi HGU sekadar nama lain dari hak erpacht di era kolonial. Tujuan HGU untuk menciptakan formasi modal nasional yang dimiliki petani, di mana keuntungan dinikmati rakyat dan direinvetasi kembali di tengah-tengah rakyat, tak pernah terjadi.

Pemberian HGU lebih berkutat kepada pangusaha juga telah membawa konsekuensi tersendiri. Hubungan pemodal dan birokrat untuk mendapatkan HGU dengan proses tertutup hingga menyuburkan mata rantai penyuapan. Akibatnya, pemberian HGU kepada pengusaha di satu sisi adalah proses pengambilan tanah masyarakat di sisi lain. Inilah yang mencuatkan kembali perampasan tanah masyarakat dan letusan konflik agraria.

Saat ini, masyarakat mendesak Kementerian ATR/BPN membuka dokumen HGU. Permintaan ini selalu ditolak pemerintah dan kalangan pengusaha. Padahal, Mahkamah Agung, telah memutuskan dokumen HGU adalah informasi publik yang dapat diakses terbuka.

Mengapa masih tertutup? Banyak kebun bersertifikat HGU dengan luasan kecil namun di lapangan luasan maha dahsyat. Banyak perkebunan juga tak memiliki HGU. Banyak HGU terbit dengan mal administrasi karena memasukkan tanah dan kampung-kampung masyarakat.

Membuka HGU adalah kekacauan bagi persekongkolan lama antara pemerintah dan pengusaha…

 

Penulis adalah Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis.

 

Keterangan foto utama:     Pada Kamis 13 Juli 2017, Ibrahim, 72 tahun, warga Mantadulu, transmigran dari Lombok Tengah mempelihatkan sertifikat tanah yang diklaim PTPN XIV. Konflik lahan antara warga dan perusahaan, termasuk perusahaan negara, banyak terjadi. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

Lubang bekas tambang batubara di Sawahlunto, Sumatera Barat. Foto: Walhi Sumbar/ Mongabay Indonesia
Exit mobile version