Mongabay.co.id

Peringatan Dini Terkikisnya Hutan Mangrove, Benteng Alami di Selatan Bali [Bagian 1]

 

Dari bekas Pulau Serangan, barisan terluar benteng alami bencana tsunami di selatan Bali ini sudah terlihat abu-abu sampai kecokelatan. Ada yang sudah mati dan ada yang sekarat. Mangrove sekarat ditandai daun-daunnya makin jarang dan rantingnya mudah patah.

Perahu motor mendekati area Teluk Benoa yang sedang diurug di sisi utara dan timur Teluk Benoa. Air laut terlihat berlapis, ada yang cokelat berlumpur dan sisi lainnya masih kebiruan. Jelang area yang sedang direklamasi, perahu berhenti, tak berani melanjutkan karena perairan dangkal. Padahal air laut sedang pasang di siang hari. Sedimentasi di area reklamasi menambah dangkal.

Otoritas pelabuhan, Pelindo sedang mereklamasi bagian perairan yang menjadi area pengembangan usaha. Alat berat terlihat bekerja di atas lahan urugan. Mangrove yang kecokelatan makin jelas terlihat, terutama di barisan paling luar. Kontras dengan hijaunya mangrove di barisan dalam.

Barisan yang mati adalah Sonneratia caseolaris (nama lokalnya prapat) jenis mangrove terkuat dalam habitat unik hutan mangrove dengan ciri khasnya masing-masing. Dua jenis mangrove sejati lain yang juga ada yang mati adalah Rhizophora dan Avicennia.

baca :  Sedihnya Duta Earth Hour Lihat Mangrove Benoa Bali Tersisa 1%. Kok Bisa?

 

Sebuah kapal laut berlayar dengan latar sekaratnya tutupan mangrove terdepan di dekat perairan Serangan, Teluk Benoa, Bali. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Perahu berbalik kembali ke arah Serangan, namun kembali menyusuri mangrove-mangrove yang sedang sekarat yang dekat dengan kawasan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Suwung.

Sedimentasi di areal pohon ini terlihat dengan makin tebalnya lumpur. Ketika sedimentasi menebal, akar-akar mangrove tenggelam padahal akarnya yang mencuat berfungsi sebagai organ pernafasan. Inilah ciri khas tumbuhan yang bisa menyerap karbon jauh lebih banyak dibanding pohon lain ini. Tak heran akar-akar kuatnya yang mencengkeram di dalam dan luar tanah ini membuatnya dikenal sebagai benteng alami bencana alam. Seperti tsunami dan rob.

Hanggar Prasetio, pecinta mangrove dan peneliti di lembaga Conservation International Indonesia melakukan penelitian dengan hasil mengejutkan. Hasil pemantauan melalui citra satelit Sentinel-2 pada bulan Januari 2019, dieback telah menghancurkan setidaknya 8,95 hektar area mangrove di Teluk Benoa. Secara temporal dapat berpotensi menyebar ke wilayah sekitarnya dan berujung pada kematian massal mangrove yang ada disana.

Awalnya ia mendapat informasi dari temannya, aktivis Kehati, bahwa ada banyak mangrove sekarat di Teluk Benoa. Kemudian ia melihat langsung ke lapangan, mengidentifikasi situasi dan kondisi mangrove, dan menindaklanjuti dengan memetakannya lewat citra satelit dan menganalisis kualitas kesehatannya. Hanggar menyimpulkan munculnya fenomena unik yang disebut dengan dieback. Istilah ilmiah untuk menjelaskan suatu kondisi kematian akibat tak berfungsinya organ pohon itu sendiri. Tak bisa merespon perubahan di ekosistemnya.

Tanda-tandanya, daun berguguran padahal mangrove tidak mengenal pengguguran daun massal. Daun habis di pohonnya, ranting dan batang layu pucat, kering, berwarna abu-abu kemudian berubah kecokelatan.

baca :  Degradasi Mangrove Indonesia: Fenomena Dieback Pada Kawasan Teluk Benoa Bali

 

Mangrove mati dengan lumpur mengering dan terlihat pecah-pecah di Teluk Benoa, Bali. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Jika dilihat ekosistemnya, juga ada gangguan sistem hidrologi yang membuat pasang surut alami di Teluk Benoa terganggu. “Tanah sekitarnya pecah-pecah saat surut. Air tak masuk ke tanah, kena matahari jadi pecah-pecah. Akar mangrove tak bisa hidup,” kata Hanggar, salah satu pendiri jaringan Mangrove Nusantara ini.

Dieback menyerang jenis Sonneratia, Rhizophora, dan Avicennia. Ketiga jenis mangrove sejati itu terlihat sekarat dan mati karena ketidakmampuan sistem jaringannya untuk beradaptasi pada perubahan lingkungan yang terjadi. Batang dan rantingnya kering kehilangan kelembabannya hingga berwarna abu-abu, tidak ada daun yang menempel di batang, serta tidak ditemukan anakan yang hidup dari jenis tersebut disekitarnya.

Fenomena ini sebagian besar menghancurkan mangrove disebelah utara area reklamasi pembangunan proyek pelabuhan Benoa. Berlanjut ke arah Timur.

Hamparan mangrove mati sepenuhnya ini sangat mudah terlihat jika melewati jalan raya tol menuju Pelabuhan Benoa dari arah Utara. Sekitar restoran Akame, tampak barisan mangrove kecokelatan. Nyaris tak nampak daunnya lagi. Di sekitarnya sudah tak terlihat anakan mangrove. Area sekitarnya sudah tak bisa pasang surut karena depannya perairan sudah jadi daratan.

Alat pengeruk material nampak masih bekerja meratakan gundukan tanah menjadi daratan baru di Timur Teluk Benoa. Aliran air alami dari laut sudah tertutup. Barisan mangrove mati ini kontras dengan kawasan mangrove di seberangnya, sisi Barat jalan tol dari arah Denpasar. Tutupannya masih rimbun, daunnya hijau, dan ada yang berbunga.

menarik dibaca :  Mangrove Tahura Ngurah Rai Bali, Nasibmu Kini…

 

Hanggar Prasetio, peneliti dan aktivis Jaringan Mangrove Nusantra melihat mangrove yang mengalami dieback. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Dari penelitian Hanggar, hasil pemantauan mangrove dieback mulai terlihat dari tahun 2017 hingga 2019 melalui citra satelit Sentinel-2. Pada 2017 fenomena dieback setidaknya merusak 2,43 ha area mangrove di Teluk Benoa. Pada tahun 2018, dieback meluas hingga 7,41 ha, kemudian pada awal Januari sudah terdeteksi menjadi 8,95 ha.

Faktor pemicu utama fenomana dieback adalah tingginya sedimentasi yang masuk ke dalam area mangrove sehingga menutupi sebagian besar akar nafas yang ada disana. Akar nafas digunakan oleh mangrove untuk membantu mengambil oksigen dari udara melalui lentiselnya guna proses metabolisme. Jika dalam keadaan normal, seharusnya akar-akar tersebut terlihat di permukaan tanah.

Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Bali I Made Gunaja ketika ditemui pada Rabu (13/02/2019) saat mengikuti rapat di Kantor Gubernur Bali menyebut pihaknya sudah mengetahui ada sejumlah mangrove mati namun belum tahu detailnya. Gunaja baru pindah ke Dinas Kehutanan setelah sebelumnya Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Bali.

Mongabay Indonesia memberikan link artikel penelitian Hanggar di Mongabay dan meresponnya dengan terima kasih. Ia menyebut akan rapat dan memetakan lahan Tahura Mangrove Ngurah Rai tersisa.

baca juga : Nasib Miris Hutan Mangrove Teluk Benoa

 

Aktivitas pengurugan di Teluk Benoa, Bali mengakibatkan mangrove mati. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Selain dampak reklamasi, kawasan mangrove kemungkinan berkurang karena ada permintaan untuk menjadikan satu kompleks mangrove 1,4 hektar menjadi area sanitary landfill TPA Suwung. Gubernur Bali Wayan Koster memberi sinyal persetujuan dan sedang dikonsultasikan ke Kementrian. Pemerintah merencanakan pembangunan insinerator Pembangkit Listrik Tenaga Sampah di TPA Suwung karena makin tingginya gunungan sampah, meluber sampai ke kawasan Tahura dan saluran air sekitarnya.

Tsunami Aceh dan Palu menjadi bukti, ada area pesisir yang mengalami dampak tsunami jauh lebih ringan dibanding tanpa sabuk hijau mangrove. Dikutip dari koran Kompas edisi 21 Februari 2019, survei oleh peneliti tsunami BPPT, Widjo Kongko, menemukan area yang terlindung mangrove seperti Desa Kabonga dan Labuan Bajo, Donggala, selamat dari terjangan tsunami. Hutan bakau sepanjang 3 kilometer dan lebar 50-75 meter di dua area itu mereduksi gelombang tsunami dari ketinggian 3-5 meter menjadi 1-1,5 meter.

Sulitnya menanam dan memastikan bibit mangrove tumbuh besar bukan isapan jempol. Di kawasan Tahura Ngurah Rai ini, selain alih fungsi perairan, kendala lainnya adalah sampah anorganik. Sampai kini tak sedikit akumulasi sampah di sela-sela bakau Tahura.

 

Exit mobile version