Mongabay.co.id

Politik dan Mereka yang Terabaikan

Batubara dalam negeri terserap, salah satu sebagai sumber energi buat PLTU. Dalam gambar ini tampak anak-anak kecil bermain di Pantai Menganti, yang hanya berjarak tak sampai satu kilometer dari PLTU barubara. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Adalah Greta Thunberg, pelajar berusia 16 tahun asal Swedia, yang menggagas gerakan mogok sekolah guna mendesak parlemen dan pemerintah, serius menangani perubahan iklim. Aksi Climate Rtrike kini makin meluas ke berbagai negara, mendesak pemerintah dan politisi di negara masing-masing untuk serius menangani perubahan iklim yang jadi ancaman serius bagi masa depan anak-anak di seluruh muka bumi.

Kita tahu, dari hari ke hari, komitmen pemimpin negara seakan tak serius menangani krisis iklim, pasca penandatanganan Kesepakatan Paris. Bahkan, laporan terakhir dari Intergovernmental Panel on Climate Change. 

(IPCC) belum mengerakkan pemimpin negara mengambil langkah-langkah aktif dan cepat guna menahan suhu bumi di bawah 1.5 derajat. Termasuk, mengambil langkah signifikan mengubah haluan ekonomi dan pembangunan global yang terbukti gagal.

Yang menarik buat saya atas aksi mogok sekolah oleh Thunberg , adalah keberanian mendesak politisi di gedung parlemen untuk mengambil langkah nyata mengatasi perubahan iklim. Menggugat politisi yang selama ini sibuk mengamankan kekuasaan, baik secara ekonomi maupun politik, dengan mengabaikan keselamatan hidup, terutama masa depan anak-anak.

Saya memaknai, aksi bolos sekolah ini sebagai tindakan politik lingkungan. Thunberg memilih tempat jelas, di gedung parlemen, tempat di mana wakil rakyat seharusnya membicarakan dan memutuskan hal-hal terkait dengan persoalan yang dialami rakyat.

Salah satu yang khas dari gerakan penyelamatan lingkungan dan keadilan ekologis adalah dia menyuarakan generasi akan datang, termasuk desakan keadilan iklim (climate justice). Generasi medatang berhak atas lingkungan hidup baik dan sehat. Generasi mendatang berhak tahu dan mengenal hutan dan fungsi ekologis, mereka berhak menikmati pesisir dan laut.

 

Aksi pelajar di Balai Kota Jakarta, mendesak pemerintah serius tangani perubahan iklim. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia

 

Mengapa gerakan lingkungan hidup harus memperjuangkan generasi mendatang? Generasi mendatang, baik yang sudah terlahir maupun belum, jangan hanya dihitung dalam statistik angka demografi, sebatas angka, anak-anak seperti tak berwajah.

Padahal, anak-anak, sebagai generasi mendatang memiliki hak hidup bahkan hak turut serta mengambil bagian dalam pengurusan kekayaan alam ini. Anak-anak selalu dan selalu hanya menjadi korban dari sistem ekonomi kapitalistik dan mesin-mesin pembangunan yang rakus yang mengakibatkan perubahan iklim. Di Kalimantan Timur, anak-anak harus meregang nyawa, dampak pilihan ekonomi rakus dan destruktif bernama industri tambang.

Kita mengabaikan, anak-anak sebagai generasi akan datang punya hak menjadi pemimpin bangsa ini. Bahkan, peluang mereka sangat besar membawa perubahan bangsa ini menuju keadaan lebih baik.

Demikian juga dengan bumi. Meski usia jauh lebih tua dari manusia, namun suara nyaris tidak terdengar. Bumi, alam atau lingkungan hidup, tak mampu bersuara, meski bisa mengekspresikan apa yang dirasakan dalam bentuk pesan berupa peristiwa-peristiwa bencana, termasuk bencana ekologis yang kini menempati angka tertinggi dari peristiwa bencana di Indonesia.

Bumi, alam dan lingkungan, punya hak hidup dan memberi penghidupan pada makhluk hidup. Pohon punya hak untuk terus tumbuh dan berkembang dan memberikan jutaan oksigen pada makhluk hidup, air punya hak mengalir tanpa dibendung, laut punya hak beriak tanpa reklamasi.

Sayangnya, orang dewasa dan sistem politik mengabaikan hak-hak mereka melalui sebuah pilihan ekonomi dan politik yang menghancurkan kesempatan anak-anak mendapatkan hak hidup dengan kehidupan yang baik. Elit politik nyaris mengabaikan suara anak-anak.

 

Alih fungsi lahan dan tata guna lahan tak beraturan merupakan aktivitas yang mengundang datangnya bencana banjir dan tanah longsor. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Mereka tak pernah didengar, apalagi ditanya, apakah mereka mau hidup dengan kepungan asap pencemaran dari kebakaran hutan dan gambut. Atau, pencemaran dari transportasi dengan asap mengepul tebal dengan racun timbal yang dihirup setiap hari juga pencemaran dari corong-corong pabrik dan PLTU batubara. Mesin-mesin ekonomi dan pembangunan yang dimotori korporasi rakus, mengorbankan masa depan generasi penerus bangsa.

Alam dan anak-anak, kemudian disuarakan oleh gerakan lingkungan hidup yang memperjuangkan hak-hak politik yang tak bisa terepresentasi oleh anak-anak baik yang sudah terlahir, terlebih yang belum terlahir. Sistem politik prosedural dan orang dewasa, dalam hal ini politisi, sering kali menihilkan hak alam dan hak generasi mendatang. Keduanya, sama-sama menjadi kelompok marjinal dalam politik elektoral, karena tak masuk hitungan “suara.”

Kita bisa melihat itu secara gamblang dalam kontestasi politik elektoral di Indonesia, dari waktu ke waktu, hingga saat ini.

Bahkan, sistem politik yang berjalan saat ini di banyak tempat, termasuk di Indonesia, justru jadi mesin-mesin penghancur alam. Demokrasi dibajak, sumber daya alam tergadaikan untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan ekonomi dan politik. Pada akhirnya, dari semua praktik politik, kembali dikorbankan adalah alam dan masa depan anak-anak, masa depan generasi penerus bangsa.

Para politisi seharusnya malu dengan gerakan anak sekolah yang menyuarakan persoalan krisis yang dialami oleh rakyat di seluruh dunia. Sementara di Indonesia, sebagian besar politisi sibuk “menggoreng” isu politik identitas dan jauh membahas persoalan-persoalan substansial seperti krisis lingkungan hidup yang mengancam keselamatan hidup rakyatnya.

Isu lingkungan hidup belum dipandang sebagai isu pokok yang harus diperjuangkan, bahkan sengaja tak disentuh, karena sama saja mengotak-atik dinasti oligarki yang lama bercokol dalam bisnis sumber daya alam di Indonesia. Isu lingkungan hidup, masih terus berada di pinggiran dalam gelanggang politik elektoral.

Akankah politik terus mengabaikan alam dan generasi mendatang? Atau masih menunggu ada gerakan politik lebih besar dari anak-anak yang mogok sekolah dan turun ke jalan guna memaksa politisi mendengar suara mereka yang khawatir masa depan suram karena kerusakan lingkungan dan perubahan iklim.

 

Penulis adalah:  Koordinator Devisi Politik Walhi Nasional

 

Keterangan foto utama:   PLTU batubara memberikan dampak penurunan kualitas kesehatan masyarakat baik karena debu maupun asap pembakaran batubara yang mengandung logam berat dan beracun. Dalam gambar ini tampak anak-anak kecil bermain di Pantai Menganti, yang hanya berjarak tak sampai satu kilometer dari PLTU barubara. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Aksi menyuarakan penyelamatan hutan adat Laman Kinipan di Lamandau, Kalteng. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

 

 

 

Exit mobile version