Mongabay.co.id

Tak Perlu Sewot Kebijakan Uni Eropa, Serius Saja Benahi Tata Kelola dan Hilirisasi Sawit

Hutan rusak jadi kebun sawit di Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

 

Kebijakan Uni Eropa yang mengeluarkan produk minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dari sumber energi terbarukan (biofuel) alias tak mendapatkan subsidi lagi, kembali panas. Komisi Eropa, pada 13 Maret 2019,  mengadopsi Delegated Act dengan proses penetapan kriteria untuk menentukan bahan baku berisiko tinggi alih fungsi lahan tak langsung untuk biofuel mereka. Para menteri Indonesia, ramai-ramai mengeluarkan pernyataan protes terhadap Uni Eropa.

Masa itu, berdekatan pula dengan putaran ketujuh perundingan perjanjian kerja sama ekonomi komperhensif Indonesia-Uni Eropa (CEPA). Perundingan ini, membahas 16 isu, antara lain, perdagangan barang, energi dan bahan baku, keterangan asal, bea cukai dan fasilitasi perdagangan, sanitasi dan fitosanitasi, instrumen pengamanan perdagangan, perdagangan jasa, dan lain-lain.

Organisasi masyarakat sipil mengingatkan, daripada terlalu reaktif, sebaiknya, Pemerintah Indonesia, fokus dan serius memperbaiki tata kelola dan hilirisasi industri sawit dalam negeri.

Pekan ini, beberapa menteri di Indonesia, bikin pertemuan menyikapi kebijakan Uni Eropa soal sumber-sumber energi terbarukan (renewable energy  directive/RED II) itu.

Darmin Nasution, Menteri Koordinator bidang Perekonomian mengatakan, kerjasama antara Indonesia dan Uni Eropa, sudah berjalan sangat lama, bahkan sejak zaman kolonial.

Baca juga: Ketika Penghapusan Biofuel dari Sawit Unit Eropa Mundur pada 2030

Kerjasama itu, katanya, terutama bidang ekonomi dan tergambar dalam angka-angka perdagangan dan investasi. Dia berharap, apa yang tertuang dalam peraturan yang didelegasilan (delegated regulation) atau Delegated Act itu tak mengganggu hubungan baik yang terjalin lama.

“Sebetulnya, Indonesia, selalu berusaha obyektif dalam kerjasama. Sampai minggu lalu, berlanjut pembahasan CEPA antara Uni Eropa dan Indonesia,” katanya di Jakarta, Rabu (20/3/19).

Uni Eropa, katanya, menghasilkan minyak nabati dengan tanaman bunga matahari, kedelai, dan lain-lain, yang jadi produk subsitusi sawit. “Ini memang bersaing. Saya harus mengatakan, diukur dengan apapun, CPO akan bersaing dengan tanaman minyak nabati lain,” katanya.

Dia bilang, produktivitas minyak CPO paling sedikit 6-12 kali lebih banyak dibandingkan biji bunga matahari dalam hasilkan biofuel.  

Perusahaan yang membuka kebun sawit dan berkonflik lahan dengan masyarakat adat Laman Kinipan di Kalteng. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

Pemerintah, katanya, sudah berkomunikasi membahas persoalan ini dengan Uni Eropa. Indonesia, katanya, beberapa kali menerima perwakilan parlemen Uni Eropa dan menjelaskan langkah-langkah pemerintah dalam membenahi tata kelola perkebunan sawit. Dalam perjalanan, Komisi Eropa justru mengeluarkan kebijakan itu.

“Kalau kita lihat, kebijakan Uni Eropa yang kemudian digambarkan melalui Delegated Act itu, jelas sekali seolah-olah ada scientific-nya melalui ILUC (indirect land use change—alih fungsi lahan tak langsung). Belum apa-apa, sudah menyimpulkan, soy bean (kedelai) Amerika itu low risk (risiko rendah). Itu buat kita sangat terang benderang, ini langkah-langkah yang dipersiapkan untuk mengeluarkan CPO di pasar Uni Eropa,” katanya.

Parlemen Eropa, kata Darmin, dalam dua bulan sejak 13 Maret lalu, memutuskan Delegated Act itu. “Tapi bukan tak mungkin, itu bisa dipercepat. Sebab 25-28 Maret akan ada pertemuan Parlemen Eropa.” Darmin curiga, pertemuan ini akan mengesahkan Delegated Act.

“Bagi Indonesia, sawit adalah tanaman dan komoditi nomor satu. Bukan hanya yang menghasilkan devisa terbanyak, juga mempekerjakan orang banyak sekali.” Dia sebut industri sawit berhubungan dengan SDGs (pembangunan berkelanjutan) dengan klaim di daerah penghasil sawit, angka kemiskinan turun. “Itu bukti sawit sangat erat kaitan dengan SDGs.”

Alasan itu pula, katanya, yang membuat Pemerintah Indonesia, bereaksi keras dengan kebijakan Uni Eropa. Pemerintah, katanya, tak mau sektor sawit terganggu dengan cara dan rumusan proteksionisme terselubung yang berujung diskriminatif.

“Ini cara yang tidak fair. Kita pasti akan mengambil semua jalan yang bisa kita ambil untuk melawan. Kalau upaya-upaya unfrair trade ini berlanjut, itu bisa memperngaruhi hubungan baik antara Uni Eropa dan Indonesia. Tentu saja termasuk dengan Malaysia dan lain-lain.”

Darmin bilang, Indonesia akan berkolaborasi dengan negara-negara produsen sawit untuk mempromosikan dan melawan tindakan Uni Eropa yang dianggap diskriminatif dan tidak adil.

Begitu parlemen Uni Eropa, mengadopsi Delegated Act, katanya, berarti sudah resmi aturan berlaku. Indonesia, katanya, bertekad membawa kasus ini ke World Trade Organization (WTO) dan mengambil langkah lain. “Kita tak mau diperlakukan begini oleh Uni Eropa. Kita ingin bekerjasama menghentikan pengesahan Delegated Act yang jelas-jelas sebagai diskrtiminasi bagi komoditas minyak sawit.”

Abdurrahman Mohammad Fachir, Wakil Menteri Luar Negeri mengatakan, dalam pertemuan menteri luar negeri di Chiang Mai, Thailand, Indonesia berhasil mengeluarkan posisi bersama ASEAN menunda peningkatan status kemitraan dengan Uni Eropa.

“Dari komprehensive partnership jadi starting partnership. Kita tak bisa, karena itu menyangkut komoditi strategis. Kita sampaikan itu dalam pertemuan ASEAN dan Uni Eropa, beberpa waktu lalu,” katanya.

Yupens dan Agustinus, menatap hutan adat Wonilai, Papua, tempat mereka hidup dan bermain sudah berubah jadi perkebunan-sawit. Foto: Christopel Paino/ Mongabay Indonesia

Dalam kesempatan sama, Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, sektor sawit berkontribusi dalam menurunkan angka kemiskinan di Indonesia. Dia bawa-bawa Bank Dunia, juga mengakui ini.

“Jadi palm oil ini sangat penting bagi kita. Orang yang bekerja di sektor perkebunan sawit hampir 20 juta orang. Kalau ini diganggu sedemikian jauh, tentu kami juga akan bereaksi dengan sangat keras. Indonesia diperlakukan diskriminatif dengan larangan pakai sawit untuk biofuel di Uni Eropa. Saya kira ini betul-betul tidak adil.”

Selama ini, katanya, persoalan lingkungan selalu dikait-kaitkan dengan sawit. Dia klaim, pemerintah sudah melakukan berbagai upaya membenahi tata kelola perkebunan sawit. Berbagai kebijakan, katanya, sudah keluar, seperti penanaman kembali, penyelesiaan tanah dalam kawasan hutan, juga moratorium izin sawit.

Luhut menyebut, hal-hal yang dibuat Indonesia, sebagai kontribusi kepada dunia, misal, memperbaiki hutan mangrove, sampai menjaga orangutan. “Kita tak terlalu bodoh. Mungkin di masa lalu kami melalukan kesalahan, dengan membagikan banyak tanah dan peatland luas. Kan memperbaiki tak semudah membalikan telapak tangan. Ada proses. Kalau kita tutup langsung, akan menimbulkan masalah baru.”

Dia mengancam dengan bilang, Amerika bisa keluar dari komitmen perubahan iklim. “Mengapa kita tidak? Kita pasti akan bertindak. Ini menyangkut kepentingan nasional, kalau sampai 20 juta orang terganggu, tentu kami akan mempertimbangkan hal-hal tadi. Ini menyangkut kepentingan petani kecil dan presiden sangat konsen dengan ini.”

Dia meminta, Uni Eropa, mengerti situasi di Indonesia. “Jangan hanya melihat dari kacamata mereka. Juga harus melihat persoalan ini dari kacamata Indonesia juga. Kalau pemerintah tidak melawan ini, lantas kami membela rakyat kami ini dimana?”

 

 

Serius saja perbaikan tata kelola dan hilirisasi

Edi Sutrisno dari Transparansi untuk Keadilan (TuK) Indonesia, coba meluruskan. Dia bilang, Uni Eropa, tak melarang seluruh penggunaan CPO, hanya sawit untuk biodiesel tak masuk lagi dalam perhitungan energi terbarukan hingga tak mendapatkan insentif. Sawit-sawit yang ekspor ke UE, katanya, bukan hanya buat biofuel tetapi makanan dan dan lain-lain.

“Ini hanya ketidakmampuan, kelemahan diplomasi ekonomi Indonesia dengan Uni Eropa dan pemahaman yang salah. Saya pikir, kebijakan ini tak akan berpengaruh signifikan. Kebutuhan (sawit) untuk food jauh lebih besar daripada untuk biodiesel,” katanya.

Kebijakan Uni Eropa itu, kata Edi, seharusnya jadi ajang Indonesia, berpikir lebih serius membangun industri hilirisasi sawit.

“Faktanya, kan tak ada juga pabrik-pabrik untuk turunan CPO di Indonesia. Ini yang didorong hingga naik kelas, tak hanya jadi produsen CPO. Juga negara terdepan dalam industri sawit,” katanya.

Dia bilang, setiap negara punya kepentingan politik ekonomi bagi rakyat mereka, begitu juga Uni Eropa. “Kalau Uni Eropa mendengarkan rakyatnya untuk tidak menggunakan sawit untuk biodiesel, saya pikir ya gak ada salahnya juga. Karena itu kan untuk kepentingan nasional mereka. Ini jadi koreksi bagi Indonesia. Sawit di Indonesia banyak konflik lahan, harga, juga hilirisasi.”

Edi menyinggung, angka luasan perkebunan sawit yang tak jelas alias berbeda antar kementerian. “Harusnya ini diperbaiki. Sisi lain, kebun sawit yang punya sertifikat berkelanjutan dari Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), hanya 3,7 juta hektar.”

Dia bilang, diakui atau tidak, standar RSPO lebih maju daripada Image result for ISPO palm oilheartofborneo.or.id

Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan lebih diterima padar luar. “Maka, hanya CPO yang keluar dari 3,7 juta hektar yang sustain. Kita punya 17 juta hektar. Masih ada 10 juta yang tidak berkelanjutan.”

Edi setuju, Indonesia harus meningkatkan sawit-sawit yang dikelola dengan bertanggung jawab. “Kalau ISPO serius benahi diri, kita perlu tiga sampai lima tahun. Pemerintah juga harus mulai berpikir kembangkan hilir supaya gak tergantung sama Uni Eropa.”

Soal rencana pemerintah menggugat ke WTO, Edi bilang, tak akan mengubah banyak hal Justru petani kecil akan jadi korban.

“Ke WTO, bukan sia-sia tetapi apa sih dampaknya buat petani Indonesia? Justru nanti yang terkatung-katung itu petani. Kita punya pembelajaran biaya petani mahal karena diplomasi politik yang bikin harga sawit mahal, itu dampaknya ke petani.”

 

Kebakaran gambut terjadi di kebun sawit di Dusun Benuang, Desa Teluk Nilap, Kecamatan Kubu Darussalam, Rokan Hilir. Di dusun ini sedikitnya 14 rumah dan sejumlah kendaraan roda dua hangus terbakar pada pekan lalu. Hingga Jumat lalu, api masih berkobar. Foto: Zamzami/ Mongabay Indonesia

 

Terlepas tantangan diplomasi ke Uni Eropa, katanya, tantangan terbesar permasalahan sawit itu ada di dalam negeri. “Konflik lahan masih banyak, ekspansi jalan terus meskipun ada moratorium sawit.”

Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch mengatakan, tak bisa dipungkiri banyak sawit di Indonesia dari kebun yang menyebabkan deforestasi. Dengan kebijakan Uni Eropa, katanya, sebenarnya tantangan bagi Pemerintah Indonesia, memperbaiki tata kelola perkebunan sawit.

“Kemudian sawit-sawit perusahaan dari deforestasi itu harus dievaluasi. Terlepas dari sawit itu komoditi andalan atau unggulan penghasil devisa, juga ada aspek-aspek sosial dan lingkungan yang harus dilihat.”

Pemerintah, katanya, jangan mengabaikan persoalan pelanggaran HAM, perampasan tanah, sampai kerusakan lingkungan dari kehadiran industri perkebunan sawit.

Pemerintah, katanya, memang sudah mengeluarkan beberapa kebijakan soal perbaikan tata kelola sawit, seperti percepatan penyelesaian tanah dalam kawasan hutan, maupun moratorium sawit. “Itu kebijakan bagus. Itu harus dikawal. Pemerintah harus memastikan itu berjalan di daerah. Jangan sebatas produk kebijakan tetapi tidak berjalan,” katanya.

Sejauh ini, baru Sanggau, Kalimantan Barat, yang sudah mengeluarkan surat edaran menindaklanjuti kebijakan moratorium izin perkebunan sawit. “Daerah lain, belum ada.”

Kalau pemerintah mau menggugat Uni Eropa ke ke WTO, boleh saja tetapi, katanya, harus memperhatikan serius perbaikan tata kelola perkebunan sawit dan kesejahteraan petani swadaya.

“Pemerintah jangan hanya menggugat. Ini tantangan pemerintah harus serius memperbaiki tata kelola perkebunan sawit dan tak lagi ekspansi. Kebun-kebun yang ada itu yang diintensifkan produktivitasnya.”

Selama ini, katanya, ada program penanaman kembali oleh pemerintah tetapi lebih banyak menyasar perusahaan besar, bukan kebun-kebun rakyat atau petani. Seharusnya, kata Inda, dukungan dan pembinaan kepada petani harus jalan. “Petani-petani swadaya ataupun plasma diberdayakan supaya produk berkelanjutan.”

 

Sawit disebut-sebut sebagai produk andalan devisa negara. Untuk memproduksi bulir-bulir buah ini menciptakan begitu banyak masalah, dari perizinan tak sesuai prosedur, menciptakan deforestasi, bencana sampai pelanggaran HAM. Indonesia perlu pembenahan kebun sawit serius, hingga tak perlu lagi ekspansi, cukup membenahi tata kelola dan produktivitas dari kebun-kebun yang sudah ada. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Senada dikatakan Khalisah Khalid dari Walhi Nasional. Kebijakan Uni Eropa, katanya, seharusnya jadi tantangan Indonesia dalam memperbaiki tata kelola perkebunan sawit.

“Kami mengajak Pemerintah Indonesia, perbaiki saja tata kelola sawit. Kalau mau dikonsumsi sendiri, ya konsumsi sendiri saja. Karena produktivitas masih sangat rendah kok. Daripada sampai memberikan statemen-statemen internasional yang justru merugikan kita, komitmen kita bisa dipertanyakan dalam kaitan Kesepakatan Paris.”

Alin, biasa disapa mengatakan, pemerintah memang sudah mengeluarkan kebijakan moratorium sawit tetapi belum memperlihatkan hasil. Terlebih, katanya, kebijakan hanya tiga tahun di tengah karut marut perkelapasawitan Indonesia. “Tak bisa dibatasi waktu tiga tahun, moratorium sawit dan hutan, gambut harus paralel dengan penegakan hukum dan audit perizinan.”

Dia mengatakan, organisasi masyarakat sipil seperti Walhi, juga meminta publik di Eropa mengurangi konsumsi. “Tingginya konsumsi mereka berpengaruh terhadap praktik perampasan tanah, penggundulan hutan dan dan lain-lain di negara produsen,” katanya, seraya bilang, pernyataan seperti ini sering ditangkap salah Pemerintah Indonesia, dengan menyatakan, mendukung agenda asing.

Padahal, katanya, regulasi Uni Eropa itu muncul atas desakan organisasi masyarakat sipil di Eropa. “Bukan hanya persoalan perdagangan tetapi ada hak masyarakat adat, hutan, lingkungan dan lain-lain.”

Dalam konteks perdagangan, Walhi bersama-sama teman Friends of The Earth, mendesak agar sawit ini dikeluarkan dari perundingan perjanjian kerja sama ekonomi komperhensif Indonesia Uni Eropa (comprehensive economic partnership agreement/CEPA) karena selalu jadi dagangan diplomasi dan tawar menawar.

“Soal hak asasi manusia itu tak bisa ditawar-tawar. Pemerintah Indonesia maupun Uni Eropa, seharusnya memahami itu. Ini bukan soal perdagangan semata. Ini ada soal HAM, lingkungan, hutan yang tak bisa ditawar-tawar dalam konteks perdagangan. Mari kita melihat ini secara serius,” katanya.

Sama seperti Edi, Alin juga menyoroti, perbedaan data luas perkebunan sawit yang berbeda. Inpres  Moratorium Sawit, katanya, memandatkan kejelasan data itu.

 

 

Keterangan foto utama:    Hutan rusak jadi kebun sawit di Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version