Parlemen Uni Eropa lakukan pemungutan suara terhadap revisi arahan energi terbarukan (renewable energy directive/RED) pada 17 Januari 2018, dengan salah satu keputusan, menghilangkan kontribusi bahan bakar nabati (biofuel) minyak sawit dalam perhitungan kotor akhir konsumsi energi terbarukan negara-negara anggota Uni Eropa pada 2021. Artinya, mereka bakal mencabut subsidi energi terbarukan dari minyak sawit. Kabar itu, mendapat respon keras dari negara produsen sawit terbesar dunia, Indonesia dan Malaysia, dengan isu usungan soal perang dagang.
Baca juga: Ketika Uni Eropa Bakal Hapus Biofuel dari Sawit, Apa Kata Mereka?
Keputusan Parlemen Eropa yang masih perlu kesepakatan Komisi Eropa dan Dewan Uni Eropa ini akhirnya berubah. Pada 14 Juni 2018, mereka sepakat meningkatkan kebijakan energi terbarukan sebesar 32% dan menghentikan bahan bakar kendaraan dari sawit (biofuel) pada 2030, tak lagi 2021.
Parlemen Eropa mengusung kebijakan energi terbarukan ini sebagai upaya pengurangan emisi dari sektor transportasi. Proses produksi sawit, dinilai memicu deforestasi, kerusakan lingkungan sampai melanggar hak asasi manusia.
”Kami menyayangkan itu mundur terlalu jauh ke tahun 2030, sementara perbaikan tata kelola perkebunan sawit di Indonesia masih reaktif. Begitu usulan Parlemen Uni Eropa mau mengeluarkan tahun 2021, baru perbaikan pengelolaan dibahas,” kata Andi Muttaqien, Deputi Direktur Advokasi Elsam saat dihubungi Mongabay, pekan lalu.
Dia bilang, alasan Uni Eropa mundur karena penyesuaian kesanggupan antara negara-negara anggota yang tak dapat digeneralisasi.
Andi menyadari, target 2021 memang sulit langsung berlaku, namun tak menyangka mundur sampai 2030.
Pertimbangan soal penghentian biofuel dari minyak nabati—tak hanya sawit–, katanya, seharusnya bukan hanya menitikberatkan pada persoalan lingkungan.
”Harusnya mengambil pertimbangan sisi sosial hanya lingkungan. Isu sosial, perampasan tanah, pelanggaran HAM. Misal, isu sawit banyak pelanggaran HAM. Ini harusnya jadi pertimbangan, sayangnya tidak masuk,” katanya.
Nils Herman Ranum, Kepala Kebijakan dan Departemen Kampanye Rainforest Foundation Norway juga menyesalkan dan tak menerima keputusan Uni Eropa yang mundur penggunaan minyak sawit jadi biofuel sampai 2030.
”Banyak hutan hujan tropis akan hancur oleh industri sawit dalam 12 tahun terakhir,” katanya dalam sebuah pernyataan.
Dalam laporan Rainforest Foundation Norway berjudul Driving Deforestation, yang rilis Januari 2018 memperkirakan sekitar 4,5 juta hektar hutan akan mengalami penggundulan hutan karena kebijakan ini. Luasan itu setara dengan luas Belanda.
Selain penggundulan hutan, kata Ranum, bencana juga bakal terjadi, keragaman hayati hilang dan masyarakat adat serta masyarakat yang bergantung hutan akan terkena dampak.
Sedangkan dari emisi gas rumah kaca, akan menghasilkan 7 juta ton emisi CO2 dalam kurun waktu 20 tahun berikutnya, karena penggundulan hutan dan pengeringan gambut.
Angka ini, katanya, lebih dari total emisi gas rumah kaca tahunan Amerika Serikat.
“Sulit percaya bahwa Uni Eropa akan terus menggunakan bahan bakar berbasis minyak sawit dan berkontribusi pada penghancuran ini sampai 2030,” katanya.
Dengan melanjutkan menggunakan bahan bakar berbasis minyak sawit ini, katanya, bisa mengancam komitmen global menghentikan deforestasi dan mengatasi perubahan iklim.
Miguel Arias Cañete, Komisaris untuk Aksi Iklim dan Energi dalam pernyataan pers Komisi Eropa menyebutkan, ambisi baru ini akan memenuhi tujuan Kesepakatan Paris. Eropa mematok target sekitar 40% pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) di bawah level tercatat tahun 1990 pada 2030.
Target bauran energi transportasi pun jadi 14% pada 2030, dari 10% pada 2020.
Dia senang dengan target Eropa yang baru 32% pada 2030. Target ini, katanya, yang sebenarnya diminta Perlemen Eropa dan dewan.
Keputusan ini belum resmi, masih perlu persetujuan Komisi Eropa dan Dewan Eropa. Setelah disetujui oleh kedua co-legislator dalam beberapa bulan mendatang, kebijakan energi terbarukan ini akan publis dan mulai berlaku 20 hari setelah publikasi. Negara-negara anggota Uni Eropa kemudian harus mengubah unsur-unsur kebijakan ini dalam hukum nasional 18 bulan setelah pemberlakuan.
Andi mengatakan, pada Februari 2019, Uni Eropa akan memiliki satu kriteria atau kategori soal deforestasi, yakni, definisi nol deforestasi dan rendah emisi dalam perubahan lahan (berkelanjutan) yang jadi sebuah syarat dalam sertifikasi mereka.
”Proses ini yang kita harapkan bisa dikonsultasikan dan dilakukan transparan, agar semua pihak, organisasi masyarakat sipil bisa memantau definisi ini. Jangan sampai malah kontra produktif terhadap perlindungan hutan selama ini,” katanya.
Apa kata Pemerintah Indonesia?
Pada 15 Juni 2018), Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, Indonesia belum mengambil sikap dan sedang berkonsolidasi semua substansi keputusan Uni Eropa ini.
Dia terus mengikuti perkembangan putusan dan berkoordinasi dengan Menteri Luar Negeri dalam tindak lanjutnya.
Siti mengibaratkan, Indonesia sedang masa turbulensi forest landscape management dalam konteks perkebunan sawit, di mana sedang menuju titik keseimbangan baru. ”Salah satu benchmark-nya adalah deforestasi, gambut dan smallholder.”
Pemerintah Presiden Joko Widodo, katanya, konsisten lewat kebijakan korektif untuk atasi persoalan sawit. ”Tidak mudah meyakinkan dunia internasional setelah komplikasi masalah pada masa waktu begitu panjang dan paradigma tata kelola sawit yang lemah pada berbagai aspek atribut tata guna lahan,” katanya.
Dia bilang, tantangan cukup berat menjelaskan kepada dunia internasional bahwa penanganan kompleksitas masalah sawit bagi Indonesia sekaligus penataan sedang dilakukan. Pembenahan tata kelola sawit ini, katanya, sebagai wujud kewajiban pemerintah dalam memberikan akses kepada kesejahteraan masyarakat.
Siti mengatakan, pemerintah Indonesia memiliki langkah-langkah memperbaiki dan menuju tata kelola maupun tata guna lahan sawit. Katanya, harus memenuhi tiga prinsip (prasyarat), yakni, fisik sawit, manajemen dan persyaratan konservasi untuk kelestarian lingkungan.
”Itu akan menjamin tata kelola sawit dan tata kelola hutan pada konteks sawit yang baik dan berkelanjutan.”
Menurut Andi, jika produk sawit Indonesia mau diterima pasar, ada atau tidak kebijakan Eni Eropa ini harus tetap memperbaiki tata kelola. ”Tetap jadikan rencana ini memperbaiki ke dalam. Jangan hanya perbaikan sebagai lip service.”