Mongabay.co.id

Tak Buka Data HGU, Koalisi akan Pidanakan Kementerian ATR

HGU PTPN ini juga sudah habis dan belum ada perpanjangan dari BPN. Warga, bersama majelis hakim dan perwakilan PTPN XIV, mengunjungi koordinat obyek sengketa lahan dalam kebun inti sawit, di wilayah Wana-wana Desa Mantadulu. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Gugatan organisasi masyarakat sipil agar pemerintah membuka data hak guna usaha (HGU) sudah putus sampai sidang kasasi di Mahkamah Agung. Sayangnya, sudah beberapa tahun putusan tak juga data dibuka.

”Kami mendesak Menteri ATR/BPN mematuhi putusan Mahkamah Agung dengan membuka data HGU. Jika tak dipenuhi, kami akan melaporkan Menteri ATR/BPN secara pidana,” kata Charles Simabura, pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas di Jakarta, pekan lalu.

Soal isu HGU, sempat memanas saat debat calon presiden 17 Februari lalu, kala Presiden Joko Widodo juga capres 01, bicara HGU yang dikuasasi Prabowo Subianto, capres 02.

Baca juga: Setahun Lebih Putusan Mahkamah Agung, Kementerian ATR Belum Buka Data HGU Sawit

Koalisi masyarakat sipil untuk advokasi buka data HGU, terdiri dari YLBHI, Eknas Walhi, Forest watch Indonesia, Konsorsium Pembaruan Agraria, Sawit Watch, Huma, TuK Indonesia, Auriga, AMAN, ICEL, Greenpeace, Elsam menyayangkan, isu HGU hanya sebentar dan tak ditindaklanjuti serius oleh pemerintah.

Pada 11 Maret 2019, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mensomasi Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/BPN untuk membuka data hak guna usaha (HGU).

Era Purnama Sari, Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI mengatakan, hingga kini Kementerian ATR/BPN belum merespon somasi itu.

Sebelumnya, Kementerian ATR/BPN menolak mengabulkan data dengan alasan pemerintah tak bisa sembarangan memberikan informasi, karena menyangkut pemegang hak dan luas lahan HGU merupakan informasi privat.

”Soal putusan Mahkamah Agung itu memang somasi sudah dilakukan YLBHI dan sudah diterima Kementerian ATR/BPN,” kata Horison Mocodompis, Kepala Bagian Biro Humas Kementerian ATR/BPN kepada Mongabay. Saat ditanya lebih lanjut, dia menolak memberikan komentar.

”Karena belum juga direspon, kami akan melaporkan Kementerian ATR/BPN secara pidana. Bersama dengan perwakilan masyarakat lokal,” kata Era.

Baca juga: Mahkamah Agung Putusan Pemerintah Wajib Buka HGU Sawit di Kalimantan

Pada 6 Maret 2017, putusan Komisi Informasi Publik (KIP) yang memenangkan gugatan FWI dalam perkara Nomor 057/XII/KIP-PS-M-A/2015 tertanggal 22 Juli 2016, diperkuat putusan Nomor 121 K/TUN/2017. Putusan itu memerintahkan Menteri ATR/BPN membuka data HGU yang masih berlaku hingga 2016 di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Utara, baik informasi nama pemegang HGU, tempat dan lokasi, luas, jenis komoditi, peta yang dilengkapi titik koordinat.

 

Jurung atau lumbung padi orang Dayak Kinipan. Sengketa lahan juga terjadi di Laman Kinipan, Lamandau, Kalimantan Tengah. Perusahaan belum ada HGU, tetapi sudah berencana memberishkan lahan dan hutan yang masuk wilayah adat Kinipan.  Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

 

Desakan membuka HGU sudah lama dilakukan masyarakat sipil. FWI mencatat, sepanjang 2013-2018, Kementerian ATR/BPN sudah 11 kali diadukan kelompok masyarakat sipil maupun perorangan untuk kasus sengketa informasi terkait dokumen HGU. Mulai dari Sulawesi Tengah, Kalimantan Timur, Bengkulu, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Aceh dan Papua, semua putusan Komisi Informasi Publik (KIP) agar pemerintah membuka data.

”Urgensi keterbukaan HGU ini bukan kepentingan segelintir pihak, ini kepentingan masyarakat Indonesia,” kata Agung Ady Setyawan, Juru Kampanye FWI.

Asep Komarudin, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia menyebutkan, gugatan keterbukaan informasi ini jadi peran partisipasi masyarakat sipil terhadap pemerintahan dalam bentuk kebijakan sumber daya alam. HGU sangat erat dengan sumber daya alam

”Ketertutupan informasi akan ciptakan konflik sosial, konflik agraria dan ketimpangan sosial. Apa yang dilakukan Kementerian ATR/BPN ini langkah mundur dari keterbukaan informasi dan contoh buruk lembaga negara yang membangkang putusan MA,” katanya.

Asep menegaskan, koalisi masyarakat memperjuangkan ini bukan berarti menolak pembangunan, namun memastikan pembangunan berjalan sesuai mekanisme.

Baca juga:   KIP Putuskan Data HGU Kebun Sawit di Kalimantan Terbuka buat Publik

Menurut Charles, Kementerian ATR/BPN mencari jalan pintas dengan menghalau gugatan-gugatan keterbukaan informasi HGU, antara lain melalui kebijakan Permen ATR/BPN Nomor 7/2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha.

Pasal 61 ayat 1, menyatakan,” Setiap orang yang berkepentingan berhak mengetahui keterangan tentang data fisik dan data yuridis tanah HGU.” Dalam regulasi itu, disebutkan, akan nada informasi lebih lanjut dalam petunjuk teknis tetapi hingga kini belum ada.

Charles bilang, aturan itu ertentangan dengan putusan KIP dan PTUN yang menyatakan HGU merupakan infromasi publik.

 

 

Transparansi dorong pengawasan publik

Ombudsman Republik Indonesia (ORI) meminta pemerintah membuka data kepemilikan tanah negara, termasuk HGU. ”Karena areal (HGU), diputus bahwa HGU itu informasi yang bisa diakses publik. Gimana kita mau kontrol HGU yang akan jatuh tempo,” kata Alamsyah Saragih, Komisioner ORI, awal Maret lalu.

Dia mengatakan, sebagian HGU, katanya, akan jatuh tempo, di tahun 2023-2024 menjelang pemilu serentak. Hal itu bisa terawasi kalau informasi dibuka ke publik. ”Berdasarkan data BPN, banyak jatuh tempo di 2023-2024. Tahun 2023, ada 136 HGU dan 2024 ada 100 HGU,” katanya.

Bahkan, political will dari transparansi data terjanjikan melalui kebijakan satu peta namun tidak telalu efektif karena data diakses terbatas pada kalangan tertentu. ”Mungkin antar instansi bagus, untuk pengusaha, tapi publik tidak dapat manfaat,” katanya yang pernah menjabat sebagai Ketua Komisi Informasi.

 

Lahan HGU milik PT. Indo Sawit Perkasa yang telah dibuka. Foto dari udara ini diambil pada 21 Maret 2017. Foto: Junaidi Hanafiah

 

Bahkan, kebijakan satu peta itu diharapkan bisa menjawab soal lahan-lahan yang berkonflik, terlantar maupun lahan yang terlepas konflik. Keterbukaan data ini, mampu menghindari kejadian kapal Indonesia disandera karena dianggap merusak hutan. Hal ini mengacu dari kasus November 2018, Greenpeace berhasil menduduki kapal bermuatan minyak sawit kotor Wilmar menuju Eropa.

Muhammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan HAM Alainsi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mendesak, pemerintah segera mengevaluasi HGU melalui kebijakan yang ada. ”Terkadang hokum bagus, praktik yang mandul,” katanya.

HGU merupakan hilir atau ujung dari sebuah alur perizinan, terutama perkebunan. BIla perizinan HGU tertutup, ada permasalahan dalam tata kelola hutan dan lahan. ”Berbagai macam permasalahan tata kelola hutan dan lahan, sebagian di konsesi HGU. Ini kompilasi tunggakan masalah pada setiap perizinan, mulai dari pelepasan kawasan hutan sampai terbit izin HGU. Permasalahan belum selesai, namun proses perizinan tetap jalan,” katanya.

Berdasarkan analisa FWI, dari 4,3 juta hektar HGU perkebunan, hanya 2,8 juta hektar dikelola untuk tanaman perkebunan. Ada sekitar 1,5 juta hektar HGU tak digunakan sesuai peruntukan.

”Ada indikasi, lahan terlantar HGU sebagai hutan dengan luas lebih 344.000 hektar, akan terancam terdeforestasi di kemudaian hari,” kata Mufti Barri, Manajer Kampanye dan Intervensi Kebijakan FWI.

Luasan itu, katanya, berupa hutan primer, sekunder, semak belukar, bakau, hutan rawa dan lain-lain.

Soal lahan terlantar, kini pemerintah memiliki PP Nomor 11/2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar dan Inpres Nomor 8/2018 tentang Moratorium Perkebunan Sawit. ”Seharusnya bisa mengidentifikasi HGU diduga terlantar untuk didistribusikan kepada masayrakat dalam mendukung reforma agraria,” katanya.

Berdasarkan analisa FWI, dari 19.224.576 hektar, terdapat 14.861.669 hektar atau 77% lahan memiliki IUP tetapi tak ada HGU.

Beni Wijaya, Kepala Departemen Kampanye KPA mengatakan, data tak terbuka memicu konflik. Pelaksanaan reforma agraria lambat, katanya, antara lain karena ketidakterbukaan informasi. Dengan keterbukaan informasi, katanya, reforma agrarian bisa tepat sasaran.

Sejumlah organisasi masyarakat sipil juga menyerahkan data-data wilayah konflik kepada pemerintah sebagai prioritas penyelesaian agraria. Salah satu, data lokasi prioritas reforma agraria (LPRA) yang diusulkan KPA sejak 2017. Dari 462 LPRA, sebanyak 224 lokasi dengan luasan 411.465 hektar berkonflik dengan HGU, baik HGU perusahaan negara (PTPN) maupun HGU swasta.

KPA mencatat, kurun 2009–2018 terjadi sedikitnya 3.168 letusan konflik agraria di seluruh Indonesia. Dari jumlah itu, 1194 di sektor perkebunan. Ia terjadi karena perampasan tanah melalui pemberian HGU sepihak maupun HGU tumpang tindih dengan wilayah garapan dan pemukiman masyarakat.

Sedangkan, perkumpulan HuMa Indonesia, hingga Desember 2018, mendokumentasikan 326 konflik berlangsung di 158 kabupaten dan kota di 32 provinsi, dengan luas 2.101.858,221 hektar melibatkan 286.631 jiwa korban, terdiri dari 176.337 masyarakat adat dan 110.294 warga lokal.

Konflik perkebunan dan kehutanan merupakan paling sering di Indonesia. Konflik sektor perkebunan, mencapai 156 kasus seluas 619. 959,04 hektar, melibatkan 46.934 jiwa. Konflik kehutanan ada 86 kasus seluas 1.159.710,832 hektar, melibatkan 121.570 jiwa.

Perusahaan, katanya, paling sering sebagai pelaku konflik, setdaknya terlibat dalam 221 konflik agraria dan sumberdaya alam.

Arman mengatakan, keterbukaan informasi publik dalam pengelolaan sumber daya alam jadi sangat fundamental bagi masyarakat adat. Kehidupan masyarakat adat, katanya, sangat erat dengan pengelolaan sumber daya alam.

”Masyarakat adat tak pernah tahu bagaimana proses lahir izin HGU dan penetapan kawasaan hutan diatas wiayah adat mereka,” katanya.

Berdasarkan, data overlay AMAN, tumpang tindih izin-izin HGU dengan wilayah adat, tersebar pada 307 komunitas adat yang masuk HGU, seluas 313.687,38 hektar. Untuk lokasi tanah obyek reforma agraria (tota) yang tumpang tindih dengan wilayah adat tersebar di 24 kabupaten dan kota seluas 383.729,21 hektar.

 

Keterangan foto utama:     HGU PTPN ini juga sudah habis dan belum ada perpanjangan dari BPN. Warga, bersama majelis hakim dan perwakilan PTPN XIV, mengunjungi koordinat obyek sengketa lahan dalam kebun inti sawit, di wilayah Wana-wana Desa Mantadulu. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Exit mobile version