Mongabay.co.id

Swastanisasi Air di DKI Jakarta Didukung Gubernur?

 

Keputusan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk memilih pendekatan perdata dalam persoalan tata kelola air di wilayah yang dipimpinnya, disesalkan sejumlah organisasi non pemerintah yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ). Pendekatan tersebut, dinilai sama saja dengan tetap mempertahankan swastanisasi air di DKI Jakarta selama periode kepemimpinan Anies sebagai Gurbernur.

KMMSAJ menilai, apa yang sudah dilakukan Gubernur tersebut berpotensi menjadi pelanggaran konstitusi dan bisa menambah kerugian Negara. Pasalnya, sebelum memutuskan untuk menggunakan pendekatan perdata, Anies diketahui menolak untuk memutus kontrak distribusi air bersih yang selama ini dipegang perusahaan swasta, PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Aetra Air Jakarta.

baca :  Menanti Kerja Tim Evaluasi Tata Kelola Air Jakarta

 

Pembersihan Sungai Ciliwung di daerah Kalibata. Pemakaian air bersih dari PAM Jaya, lewat kedua perusahaan swasta, berbanding dengan pemakaian air tanah. Foto : Andreas Harsono/Mongabay Indonesia

 

Dalam keterangan resmi yang dipublikasikan akhir pekan lalu, KMMSAJ menyebut bahwa koalisinya setahun lalu sudah menyerukan untuk penghentian swastanisasi air di DKI. Seruan tersebut ternyata didengar oleh Gubernur, walau prosesnya cukup lama. Dalam menyerap aspirasi tersebut, Gubernur ternyata dinilai tidak partisipatif dan menghasilkan keputusan yang mengecewakan.

“Atas rekomendasi Tim Tata Kelola Air, Gubernur hendak mengambil alih pengelolaan air melalui langkah perdata. Padahal Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa air merupakan barang publik,” ungkap anggota KMMSAJ dari LBH Jakarta, Arif Maulana.

Menurut dia, apa yang dilakukan Anies tersebut dengan pendekatan bisnis ke bisnis (business to business) memiliki kesamaan dengan opsi yang ditawarkan Gubernur sebelumnya, Basuki Tjahaja Purnama pada 2013. Saat itu, Basuki menyebutkan bahwa upaya untuk memperbaiki kekacauan kontrak swastanisasi pengelolaan air bersih di DKI, hanya bisa dilakukan dengan negoisasi kembali kontrak.

Pada masa kepemimpinan Basuki tersebut, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menunjuk salah satu badan usaha milik daerah (BUMD) PT Jakpro untuk melakukan negoisasi dengan swasta yang terlibat dalam pengelolaan air di DKI. Saat itu, Jakpro mendapat suntikan penyertaan modal daerah (PMD) sebesar Rp650 miliar untuk melakukan akuisisi saham PT Astratel Nusantara di Palyja.

“Akan tetapi, akuisisi ternyata tidak terealisasi. Belakangan, duit tersebut direalokasikan secara sepihak oleh PT Jakpro dan menuai gugatan yang berujung pada pembentukan pansus di DPRD DKI,” ungkap Arif.

baca juga :  Babak Baru Pengelolaan Air Bersih Jakarta: Swasta atau Pemerintah?

 

Penanganan kebersihan Waduk Tomang Barat Jakarta Barat. Foto : jakarta.go.id/Mongabay Indonesia

 

Argumen Sama

Argumentasi yang muncul ke publik di masa kepemimpinan Basuki itu, ternyata muncul kembali di masa Anies Baswedan. Argumen yang sama itu disampaikan Tim Tata Kelola Air DKI yang menyatakan bahwa perlu dilakukan pendekatan perdata untuk menjaga iklim investasi di DKI Jakarta.

Bagi KMMSAJ, pernyataan tersebut jelas sudah melukai warga DKI yang paham akan persoalan tersebut. Dengan pernyataan yang diungkapkan tim tata kelola air, bisa diambil kesimpulan kalau urusan banyak orang harus mengalah untuk kepentingan investasi yang dikuasai oleh investor.

Salah satu anggota KMMSAJ, Nurhidayah, berpandangan bahwa apa yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dengan memilih pendekatan perdata, sama saja dengan mengabaikan konstitusi dan selalu menjaga kepentingan swasta. Dia menyebut, ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa swasta masih berlindung di balik kontrak pengelolaan air DKI yang cacat dan penuh rahasia.

Nurhidayah kemudian merujuk pada ketidakjelasan penggunaan fasilitas dan dana publik saat negosiasi antara Pemprov DKI yang diwakili PAM Jaya dengan dua operator swasta, Palyja dan Aetra. Selain itu, hingga sekarang Gubernur juga belum memberi jawaban atas tuntutan KMMSAJ untuk mempublikasikan secara utuh hasil studi dan rekomendasi tim tata kelola air.

“Gubernur harus berpegangan pada aturan tertinggi yang ada di Republik ini, yaitu konstitusi, bukan kontrak komersial,” tutur dia.

menarik dibaca :  Privatisasi Air Jakarta: Swasta Untung, Warga Ketiban Pulung

 

Penanganan sampah di Pintu Air Manggarai, Jakarta Pusat. Foto : jakarta.go.id/Mongabay Indonesia

 

Menurut Nurhidayah, dari catatan KMMSAJ, pada 2005 Mahkamah Konstitusi (MK) telah menafsirkan perintah pasal 33 dalam Undang-Undang No.7/2004 tentang Sumber Daya Air dengan sangat terperinci, khususnya soal air dan perusahan daerah air minum (PDAM). MK menyatakan bahwa air adalah res commune(hak publik) yang tidak boleh menjadi objek harga secara ekonomi .

Dengan pernyataan MK pada 2005 tersebut, Nurhidayah menyebutkan, proses uji tuntas atau due dilligentatau perhitungan harga saham swasta yang akan dibeli oleh PAM Jaya adalah illegal dan tidak, selayaknya menggunakan uang publik. Kata dia, saham yang dimliki dua operator swasta, lahir atas izin konsesi pengelolaan air bersih disertai dengan surat dukungan resmi (supporting letter) dari Gubernur DKI terdahulu.

Supporting letteritulah yang menjamin bahwa swasta akan tetap untung, terlepas dari baik buruknya kinerja. Swasta juga akan bebas dari resiko proyek (shortfall),” ucap dia.

Kebijakan yang disertai surat dukungan resmi tersebut, menurut MK adalah bentuk swastanisasi yang terselubung pada saat itu. Oleh itu, MK membatalkan UU No 7/2004 karena swastanisasi air terjadi dengan ada izin dari Pemerintah Provinsi DKI.

perlu dibaca :  Kala Warga Jakarta Kesulitan Dapatkan Air Bersih

 

Jejeran jeringen berisi air bersih yang dibeli warga Jakarta Utara. Sebagian warga Jakarta, belum terlayani air bersih hingga harus membeli dengan harga mahal. Foto: Andreas Harsono/ Mongabay Indonesia

 

Dukungan Gubernur

Akan tetapi, menurut anggota KMMSAJ dari Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRuHa), Muhammad Reza, walau MK sudah menegaskan ada campur tangan dari Pemprov DKI atas terciptanya swastanisasi air, tetapi rupanya itu tidak membuat Pemprov memutuskan kerja sama dengan Palyja dan Aetra. Yang terjadi, kerja sama dengan kedua operator swasta tersebut hingga sekarang masih terus berlangsung.

“Kenapa Gubernur masih meneruskan kebijakan itu. Cabut saja supporting lettertersebut, akhiri praktek swastanisasi air terselubung,” tegasnya.

Di sisi lain, Reza mengingatkan kepada Pemprov DK bahwa kekhawatiran swasta akan melakukan gugatan arbitrase jika Pemprov memutus kontrak dengan dua operator swasta, dinilai sebagai hal yang berlebihan. Menurut dia, justru saat ini Pemprov harus bisa mengungkap bahwa operator swasta sudah berlaku curang dan mengambil untung dari penderitaan warga DKI, terutama perempuan, dalam tata kelola air.

Berkaitan dengan itu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memberi keterangan terkait dengan pemutusan swastanisasi air yang saat ini sedang ramai dibicarakan publik. Menurut dia, saat ini prosesnya sedang dalam tahap finalisasi dokumen perjanjian Head of Agreement (HoA) antara PAM Jaya dengan Palyja dan Aetra.

Anies seperti dikutip dari Tirto.id, menyebutkan, HoA adalah kesepakatan yang menyangkut dengan agenda-agenda yang nanti akan dijadikan bahan pembicaraan. Untuk saat ini, Pemprov diakuinya sedang fokus pada HoA dulu dan belum pada pengambilan keputusan (head over).

Sebelumnya, Anies menyampaikan, pembahasan HoA tersebut seharusnya selesai pada kuartal pertama 2019. Tetapi, prosesnya ternyata lebih panjang karena ada beberapa hal yang bersifat teknis dan sedang diselesaikan oleh pihak PAM Jaya melalui beberapa rapat berkaitan dengan HoA. Dia tetap berharap, pengambil alihan bisa dilakukan secepatnya, karena ada konsekuensi fiskal yang harus ditanggung Pemprov DKI.

Menurut Anies, kalau ada anggaran yang harus dipenuhi untuk pengentian swastanisasi air, maka alokasi kebutuhanya bisa dimasukkan dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah perubahan (APBD-P) 2019 atau bahkan pada ABPD 2020.

Diketahui, MA mengeluarkan putusan bernomor 31 K/Pdt/2017 dan meminta Pemprov DKI untuk menghentikan swastanisasi air, atau penyerahan pengelolaan air ke swasta. Akan tetapi, keputusan tersebut kemudian berubah karena MA mengabulkan peninjauan kembali (PK) yang diajukan Kementerian Keuangan.

 

Exit mobile version