Mongabay.co.id

Tidak Dilindungi Lagi, Perburuan Landak Jenis Ini Bakal Meningkat

 

 

Perburuan landak terus terjadi di Aceh. Adanya informasi yang menyebutkan satwa pengerat berbulu tajam ini memiliki batu geliga di tubuhnya, yang berkhasiat untuk obat, membuat sejumlah orang tidak berhenti memburunya.

Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Aceh bersama kepolisian dan lembaga mitra, beberapa kali menangkap pemburu dan pedagang landak, termasuk masyarakat yang memeliharanya. Terutama jenis Hystrix brachyura.

“Sejak 2017-2018, BKSDA Aceh bersama kepolisian telah memenjara empat orang. Namun, sejak dicabutnya status dilindungi jenis ini, dikhawatirkan perburuan meningkat karena tidak bisa ditindak oleh penegak hukum,” ungkap Sapto Aji Prabowo, Kepala BKSDA Aceh, baru-baru ini.

Dalam Peraturan Pemerintah [PP] Nomor: 7 Tahun 1999 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi, Hystrix brachyura merupakan satu-satunya jenis landak dilindungi.

Namun, dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018, yang diubah dengan Peraturan Menteri LHK Nomor: P.92/MENLHK/SETJEN/KUM.1/8/2018, dan diubah lagi menjadi Peraturan Menteri LHK Nomor: P/106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018, justru Hystrix brachyura dikeluarkan dari status dilindungi. Diganti Hystrix javanica.

Baca: Demi Batu Mustika, Perburuan Landak Meningkat

 

Jerat-jerat yang dipasang pemburu di Kawasan Ekosistem Leuser yang telah dimusnahkan oleh tim Forum Konservasi Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Koordinator Perlindungan Satwa Liar Forum Konservasi Leuser [FKL], Dedi Yansyah, mengatakan, saat Hystrix brachyuran dilindungi, perburuannya di Kawasan Ekosistem Leuser [KEL] cukup tinggi. Hal tersebut terlihat dari banyaknya jerat yang dipasang pemburu, dan telah dimusnahkan tim FKL.

“Pemburu yang masuk KEL akan menangkap satwa apapun yang bernilai ekonomi tinggi, bukan hanya gajah, harimau, atau rangkong. Dengan status landak ini yang tidak lagi dilindungi, perburuan akan bertambah. Kami pernah bertemu pemburu saat patroli,” jelasnya.

Aktivis lingkungan Idir Ali mengatakan, di Aceh tengah gencar perburuan landak untuk diambil batu yang ada di tubuhnya. Dulu, landak banyak ditemukan di kebun masyarakat, terutama di Aceh Singkil, bahkan dianggap hama. Saat ini, susah dicari karena diburu.

“Mengapa harus dikeluarkan dari daftar dilindungi? Jangan sampai aturan yang dibuat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan banyak diintervensi pihak-pihak yang memiliki kepentingan tertentu,” jelasnya.

Baca: Aksi Oknum TNI Bawa Puluhan Landak dari Sumbar ke Sumut

 

Landak jenis Hystrix brachyura yang dikeluarkan dari status dilindungi. Foto: Wikimedia Commons/CC BY-SA 3.0/Free/Kaeng Krachan National Park/ Thai National Parks

 

Batu geliga?

Peneliti Zoologi Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia [LIPI], Dr. Wartika Rosa Farida mengatakan, di Indonesia terdapat empat spesies landak: Hystrix brachyuraHystrix sumatrae, Hystrix javanica, dan Hystrix crassispinis

“Di Pulau Sumatera, hanya ditemukan dua jenis yaitu, Hystrix sumatrae dan Hystrix brachyura,” sebutnya, Kamis [04/4/2019].

Rosa menjelaskan, semua makhluk di dunia, termasuk satwa ada manfaatnya. Begitu juga landak berperan penting dalam sistem rantai makanan. Landak merupakan penebar biji-bijan yang dikeluarkan melalui kotorannya.

Secara alami, landak mengkonsumsi tumbuh-tumbuhan termasuk akar-akaran, cabang-cabang tumbuhan muda. Juga, tumbuhan zingiberacea [suku temu-temuan] atau tumbuhan jahe-jahean yang umumnya pahit namun berkhasiat untuk obat.

“Karena itu, landak memiliki sistem kekebalan tubuh yang kuat dan efektif melawan racun/penangkal racun,” ujarnya.

Menurut Rosa, dari beberapa informasi yang diperolehnya saat eksplorasi di Pulau Jawa, Bali, Kalimantan, dan Sumatera, banyak yang menyebut landak memiliki batu geliga [bezoar] atau mustika di bagian perut atau di bawah kulitnya. “Tetapi, saya tidak pernah melihat langsung bentuk batu yang dikatakan berkhasiat menyembuhkan berbagai penyakit itu.”

Dampak informasi ini menyebabkan pembantaian terhadap landak di alam terus terjadi. “Kami khawatir jika tidak dihentikan, populasinya di alam turun. Bahkan bisa punah. Penegakan hukum harus dilakukan,” terangnya.

 

Landak jawa/Hystrix javanica. Sumber: Wikimedia Commons/Ragunan Zoo, Jakarta, Indonesia/Domain Umum/Sakurai Midori

 

Revisi lagi?

Terkait tidak dilindungi lagi Hystrix brachyura, Rosa menjelaskan, kelestariannya di alam patut diperhatikan. Saya perkirakan, ada kesalahan saat pencantuman daftar satwa yang dilindungi itu. 

Sekitar tahun 2016 atau 2017, kami peneliti LIPI mengajukan ke Kementerian LHK untuk memasukkan Hyxtrix javanica sebagai satwa liar dilindungi. Hal ini disebabkan pemanfaatan landak di Pulau Jawa semakin meningkat.

Selain untuk tujuan perdagangan landak hidup, juga dalam 15 tahun terakhir semakin mewabah warung makan dan restoran di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur yang menawarkan menu ekstrim berbahan daging satwa liar. Termasuk, landak. “Jika hal itu terus terjadi, maka akan mengancam kelestarian landak jawa,” sebutnya.

 

Tampak kerangka gajah sumatera yang mati di Kawasan Ekosistem Leuser akibat jerat pemburu. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Rosa mengatakan, LIPI telah melaporkan hilanggnya Hystrix brachyura dari daftar jenis satwa liar dilindungi. Diharapkan, direvisi kembali. Bila tidak segera dilakukan, dikhawatirkan para pemburu dan pengepul, bahkan eksportir akan memanfaatkan celah peraturan tersebut guna melegalkan perbuatannya.

Pemanfaatan satwa liar dilindungi ada aturannya, berasal dari hasil budidaya di penangkaran. Mulai generasi kedua [F2]. Bukan menangkap langsung di alam. Sedangkan untuk yang tidak dilindungi, pemanfaatannya bisa dilakukan mulai generasi pertama [F1]. Pastinya, semua ini ada prosedur dan peraturan yang harus ditaati.

“Semua pihak harus terus melakukan sosialisasi dan penyadartahuan kepada masyarakat akan pentingnya landak di alam. Dengan begitu, keseimbangan ekosistem tetap terjaga,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version