Mongabay.co.id

Pakar Hukum Nilai Aneh Vonis Hukum kepada Budi Pego

Penolakan warga atas tambang emas di Tumpang Pitu, juga banyak memenjarakan warga, salah satu Budi Pego. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Budi Heriawan atau dikenal Budi Pego, aktivis lingkungan dari Banyuwangi, yang berusaha mempertahankan lingkungan agar tak jadi tambang emas, terjerat hukum. Setelah vonis 10 bulan di pengadilan negeri, melonjak jadi empat tahun pada putusan kasasi dengan tuduhan menyebarkan ajaran komunis.

Baca juga: Hukuman Jadi 4 Tahun, Budi pego Bakal Ajukan Peninjauan Kembali

Pada Maret lalu, para pakar hukum adakan eksaminasi terhadap putusan hukum yang menjerat Bugi Pego di Jakarta. Wahyu Nugroho, pakar hukum Universitas Sahid menilai, ada penggiringan argumentasi hukum dalam kasus Budi Pego.

“Dari seorang warga yang berjuang atas lingkungan hidup yang sehat digiring ke arah lain, yakni penyebaran komunisme,” katanya.

Faktanya, dalam persidangan tak ada bukti menunjukkan bahwa Budi Pego menyebarkan ajaran komunisme. Yang ada, katanya, hanya spanduk penolakan tambang emas di Gunung Tumpang Pitu. Tak pernah muncul dalam persidangan bukti yang memperlihatkan spanduk ada lambang komunis seperti tudingan yang menjerat Budi Pego.

Baca juga: Cerita Budi Pego soal Spanduk Komunis ‘Siluman’ di Aksi Tolak Tambang Tumpang Pitu

Mengingat kembali kronologis peristiwa aksi, saat Budi Pego, mengumpulkan masyarakat untuk protes diketahui ada orang berteriak, usul spanduk penolakan diberi gambar.

“Budi Pego, tidak fokus pada itu. Yang dia tahu hanya bikin spanduk dan aksi. Disinilah jebakan terjadi,” kata Wahyu.

Hal terpenting yang digarisbawahi Wahyu dari kasus Budi Pego, bagaimana negara menghindar dari UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup No 32 terutama Pasal 66. Pasal itu, katanya, menjamin warga negara yang berjuangan demi lingkungan hidup sehat dan baik tak bisa kena pidana maupun perdata.

 

Budi Pego. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

UU PPLH, katanya, saat ini hanya menjamin masyarakat yang berjuang lewat jalur hukum. “Bagaimana jika tak lewat jalur hukum?” wahyu mendesak, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menyusun rancangan tindak lanjut dari UU PPLH ini.

Dalam kasus Budi Pego, kata Wahyu, hakim dan jaksa sama sekali tidak proaktif mencari siapa yang membuat logo palu arit.

“Budi Pego, tidak terbukti ada kaitannya dengan logo palu arit pada spanduk yang juga tidak pernah dihadirkan dalam sidang. Saat bikin spanduk pun ada polisi yang mengawasi. Di sini jelas ada unsur skenario dari awal.”

Dalam pertimbangan putusan, hakim juga mengenyampingkan budaya lokal masyarakat Tumpang Pitu Banyuwangi yang berusaha melestarikan lingkungan untuk anak cucu mereka.

“Ini tidak jadi bagian dari pertimbangan. Padahal, hakim konstitusi wajib menggali nilai budaya hukum masyarakat,” katanya.

Unsur-unsur penyebaran ajaran komunisme tak terbukti. Rekaman video aksi tak satupun anggota aksi yang meneriakkan atau menyampaikan muatan komunisme.

“Mengapa hakim tetap menvonis? Itu yang jadi pertanyaan. Ada yang dipaksakan di sini.”

Dalam perspektif negara hukum mestinya ada penghormatan terhadap hak asasi manusia termasuk hak untuk lingkungan hidup yang sehat.

“Justru negara hadir untuk merepresi warga.”

Arsil, pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera juga menilai hakim dalam kasus ini tidak melihat unsur pidana Budi Pego. Pengadilan Tinggi menyatakan Budi Pego dimintai pertanggungjawaban karena peran sebagai pemimpin aksi.

“Apakah tindak pidana peserta aksi serta merta kemudian bisa dialihkan kepada pemimpin aksi?” kata Arsil.

Menurut dia, hal ini sangat berbahaya karena kalau dalam menyampaikan ekspresi dan pendapat, yang dijamin UUD, pemimpin aksi bisa kena pidana oleh perbuatan yang peserta aksi. “Kalau ada peserta aksi yang membunuh, apakah kemudian pemimpin aksi mengambil tanggungjawab pidananya? Tentu tidak bisa.”

Hal lain yang menjadi sorotan Asril, unsur menyebarkan ajaran komunisme juga tak pernah terpenuhi dalam fakta persidangan. Yang muncul hanya visual spanduk dengan logo palu arit. Tak pernah terungkap siapa yang membuat dan yang memerintahkan penggunaan spanduk siluman itu.

“Apakah ini cukup dianggap menyebarkan?”

Anugrah Rizky Akbari, pengajar lain di STIH Jentera, mengatakan, untuk membuktikan penyebaran ajaran komunisme jaksa dan hakim mesti bisa menelusuri lebih jauh siapa sesungguhnya yang memerintahkan dan membuat logo palu arit itu.

 

Keterangan foto utama: Penolakan warga atas tambang emas di Tumpang Pitu, juga banyak memenjarakan warga, salah satu Budi Pego. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Exit mobile version