Mongabay.co.id

Riset Evaluasi Efektivitas Konservasi Harimau Sumatera Libatkan Berbagai Pihak

Si Monang, harimau Sumatera di BNWS. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Survei tahap kedua melibatkan banyak pihak guna memantau berkala dan sistematik populasi harimau Sumatera, melalui Sumatra Wide Tiger Survey (SWTS), mulai berjalan.

Pada 2007-2009, sudah mulai SWTS tahap pertama. Kala itu, cakupan wilayah survei terdiri dari 394 petak seluas 11 juta hektar dengan melibatkan lebih 40 anggota tim dari delapan lembaga. Hasilnya, menunjukkan, 72% wilayah survei masih dihuni harimau Sumatera.

Menurut para ahli, kondisi ini masih baik. SWTS pertama juga jadi rujukan utama penyusunan beberapa dokumen strategis konservasi harimau Sumatera, skala nasional maupun internasional.

Untuk SWTS II, pada 2018-2019. Kali ini, lebih banyak lagi pihak terlibat. Ia disebut sebagai survei satwa liar terbesar di dunia baik dalam kemitraan, sumberdaya manusia terlibat, maupun cakupan luas. Sebanyak 73 tim survei terdiri 354 anggota tim dari 30 lembaga akan survei di 23 kantong habitat harimau seluas 12,9 juta hektar.

Untuk kemitraan, tercatat keterlibatan 15 UPT KLHK, 21 lembaga masyarakat sipil nasional maupun internasional, dua universitas, sektor swasta dan 13 lembaga donor.

Hariyo T. Wibisono, Koordinator Pelaksana SWTS, dalam seminar di Jakarta, mengatakan, SWTS tahap kedua untuk mengevaluasi efektivitas upaya konservasi harimau Sumatera yang telah berjalan 10 tahun terakhir.

“Sebenarnya, survei sudah dimulai sejak Juli tahun lalu. Kick off-nya agak telat karena mengumpulkan berbagai pihak ini tak mudah. Baru sekarang. Harapannya, akhir 2019, survei bisa selesai. Kita akan publikasikan hasil enam bulan setelah survei selesai,” katanya.

 

Harimau yang berhasisl dievakuasi dari jerat baja di konsesi restorasi ekosistem PT RAPP. Foto: BBKSDA Riau

 

Hasil survei ini, katanya, akan sangat penting untuk intervensi dalam kegiatan konservasi harimau Sumatera. Data tren peningkatan ataupun penurunan kualitas habitat maupun populasi harimau perlu untuk evaluasi dan menentukan langkah guna melestarikan harimau Sumatera.

“Kita harus kaji lagi, mungkin ada yang kurang tepat dalam intervensi konservasi. Dari survei ini akan memberikan masukan kepada pemerintah dan mitra bagaimana tren populasi dalam 10 tahun terakhir.”

Dalam survei ini, juga akan mengkoleksi dan mendata ancaman-ancaman apa yang terjadi di lapangan. Nanti bisa tahu prioritas yang harus segera ditangani. Survei ini, katanya, bukan hanya mengukur habitat harimau Sumatera juga satwa liar kunci lain, seperti badak, gajah, dan orangutan.

“Kalau hutan terus tergerus, akan memepngaruhi kehidupan harimau. Karena harimau itu punya sistem teritorial, jelajah luas.”

Hariyo mengatakan, di Sumatera, ada dua wilayah aman untuk habitat harimau tanpa ancaman, yakni, lansekap Kerinci Seblat dan Leuser-Hulu Masen. Sisanya, terancam.

“Belajar 10 tahun pertama, dulu konsep melindungi kawasan-kawasan inti. Sepuluh tahun berjalan, ternyata kita melihat ada harimau di luar kawasan konservasi. Sekarang, kita pendekatan konservasi termasuk ke kawasan yang kecil-kecil.”

Mereka akan mengkaji kawasan yang kecil-kecil agar bisa mendapatkan gambaran kira-kira kondisi populasi, sampai sejauh mana mengembara ke luar kawasan. “Apakah ada konflik dengan masyarakat dan lain-lain. Kita akan kelola dalam konteks meta populasi.”

Untuk survei yang dikatakan terbesar di dunia ini, dana perlu US$800.000. Mereka hingga kini mendapatkan pendanaan sekitar 60%, sisanya akan ditutupi dengan menggalang kolaborasi bersama berbagai pihak termasuk swasta.

Peneliti LIPI Gono Semiadi mengatakan, dalam SWTS kedua ini diharapkan bisa menemukan proporsi area yang jadi wilayah hidup harimau, informasi mengenai keragaman genetika populasi di masing-masing kantong habitat serta meningkatkan kapasitas teknis nasional.

“Survei ini tidak hanya melibatkan pemerintah juga seluruh pemangku kepentingan dalam upaya penyelamatan harimau,” katanya.

Munawar Kholis, Ketua Forum HarimauKita (FKH) mengatakan, dengan kolaborasi masa lalu yang berhasil, yakin terulang dalam SWTS tahap kedua.

“Keterlibatan multipihak ini langkah maju dalam membangun disain konservasi komprehensif di level pemerintah pusat maupun pemerintah daerah,” katanya.

 

Kulit harimau sumatera dan barang bukti kejahatan satwa liar lainnya yang dimusnahkan di Markas SPORC Bigade Macan Tutul, Medan, Sumatera Utara, beberapa waktu lalu. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Purwadi dari Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) menyebut, dari 120 juta hektar hutan di daratan Indonesia terdiri dari hutan konservasi seluas 22 juta hektar, hutan lindung 29 juta hektar dan 68 juta hektar adalah hutan produksi, dengan 30 juta terbebani izin.

“Hutan produksi justru mendominasi hutan di daratan Indonesia. Posisi kita berhadapan dengan pemukiman. Hutan produksi menjadi strategis sebagai buffer dari kegiatan jelajah satwa liar dari hutan konservasi ataupun hutan lindung sebelum mereka masuk ke pemukiman.”

“Kalau sekarang harimau, gajah dan satwa liar lain masuk ke pemukiman, artinya pasti ada sesuatu yang salah di hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Betapa pentingnya hutan produksi ini menjadi buffer kegiatan konservasi,” katanya.

Areal jelajah harimau 30% berada di kawasan konservasi, 70% justru di luar kawasan konservasi, termasuk hutan produksi. APHI, katanya, sudah meminta para anggota untuk menjaga daerah bernilai konservasi tinggi hingga koridor jelajah mereka tak terganggu.

Indra Exploitasia, Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, SWTS kedua ini penting mengingat makin tinggi ancaman kelestarian harimau Sumatera di alam.

“Selain informasi terkait wilayah sebaran harimau, output yang diharapkan dari kegiatan ini terkait data kondisi populasi dan sebaran satwa mangsa, penyakit dan genetik di seluruh kantong habitat harimau. Jadi, dapat memetakan kesenjangan aktivitas konservasi.”

Menurut dia, seluruh data informasi dan kajian SWTS akan terpusat di database Direktorat Jenderal Konservasi, Sumber Daya dan Ekosistem serta jadi acuan arahan kebijakan konservasi tak hanya harimau juga badak, orangutan, gajah dan lain-lain di Sumatera.

Wiratno, Dirjen KSDAE KLHK mengatakan, habitat dan kantong populasi harimau berkurang banyak terjadi antara 1985-2008 dengan ada perubahan tutupan hutan dan perubahan fungsi jadi peruntukan lain.

Selain itu, perburuan dan perdagangan ilegal bagian tubuh harimau serta konflik manusia dengan harimau juga ancaman bagi kelestarian satwa ini.

Hasil kajian populasi dan habitat terbaru, katanya, diperkirakan sekitar 604 harimau hidup di alam liar. Harimau-harimau itu hidup di habitat tersisa di seluruh Sumatera. “Ini menjadi tantangan kita semua dalam mempertahankan satu-satunya spesies harimau yang tersisa di Indonesia,” katanya.

SWTS, merupakan bagian dari implementasi strategi dan rencana aksi konservasi harimau Sumatera 2007-2017. SWTS tahap pertama merupakan survei pola sebaran dan penggunaan tata ruang harimau Sumatera pada 60% habitat di Sumatera.

Hasil SWTS pertama, katanya, menjadi dasar penyusunan dokumen arahan pengelolaan harimau Sumatera skala nasional.

Dia berharap, dalam STWS kedua itu, bisa mengidentifikasi kesenjangan konservasi, merumuskan strategi konservasi yang efektif dan tindakan prioritas, mengarahkan alokasi dukungan pendanaan pada kebutuhan prioritas untuk mempertahankan dan memulihkan populasi harimau Sumatera.

Dia bilang, SWTS memerlukan dukungan dan peran aktif dari para pihak baik pemerintah daerah, LIPI, universitas, lembaga donor, LSM, peneliti dan pemerhati harimau Sumatera.

 

Keterangan foto utama:  Si Monang, harimau Sumatera di BNWS. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

Harimau sumatera yang selalu saja diburu. Foto: Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version