Mongabay.co.id

Peringatan Hari Nelayan Sebaiknya Kapan Dilaksanakan?

Nelayan tradisional yang menggantungkan hidupnya dengan mancari ikan di lautan. Peralatan yang mereka gunakan juga sederhana, perahu, jaring, dan kail. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Keinginan Pemerintah Indonesia untuk menjadikan tanggal 21 Mei sebagai momen hari nelayan nasional, dinilai tidak tepat untuk diterapkan. Penilaian itu muncul, karena didasarkan pada pertimbangan bahwa beberapa tahun terakhir, Indonesia merayakan hari nelayan setiap tanggal 6 April, termasuk pada 2019 yang perayaannya baru dilakukan Sabtu (6/4/2019) lalu.

Koalisi Rakyat Keadilan untuk Perikanan (KIARA) mengkritik usulan yang diungkapkan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, sebagai usulan yang ngawur. Bagi KIARA, usulan 21 Mei sebagai hari nelayan, mencerminkan bahwa Negara tidak mendasarkan pertimbangan tersebut dengan melibatkan nelayan dan perempuan nelayan di seluruh Indonesia.

Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati menerangkan, wacana yang digaungkap DPR RI bersama Kemenko Maritim itu, melupakan momen tahunan yang sudah diperingati secara rutin oleh para nelayan dan perempuan nelayan di seluruh Indonesia. Biasanya, perayaan hari nelayan selalu rutin dilaksanakan pada 6 April.

“Sebelumnya, hari nelayan diperingati setiap tanggal 6 April sejak era pemerintah Soekarno dan masih menyimpan perdebatan terkait sejarahnya,” ungkapnya kepada Mongabay Indonesia, akhir pekan lalu.

baca :  Memperingati Hari Nelayan, Apakah Nelayan Makin Sejahtera?

 

Nelayan tradisional menggunakan tangkul untuk menangkap ikan di Danau Dendam Tak Sudah. Foto: Muhammad Ikhsan/Mongabay Indonesia

 

Susan memaparkan, berkaitan dengan perayaan hari nelayan tersebut, Indonesia juga sudah memiliki momen serupa yang berkaitan dengan kelautan dan kemaritiman, yaitu hari Juanda dan hari Maritim. Hari Juanda sendiri menjadi momentum bagi sejarah Indonesia sebagai salah satu negara kepulauan di dunia. Sementara, hari Maritim, menyimpan visi maritim Indonesia yang sudah dicanangkan sejak Pemerintahan Indonesia di bawah Presiden Soekarno.

Menurut Susan, kedua momen tersebut, seharusnya bisa menjadi pertimbangan bagi Pemerintah dan DPR untuk menetapkan hari nelayan. Yang terjadi, justru sebaliknya, karena Pemerintah tidak melibatkan momen peringatan kedua hari di atas yang menjadi momen penting bagi Indonesia dalam mendorong kemajuan Indonesia.

“Juga penguatan identitas budaya Indonesia berdasar pada geopolitik dan geografi kepulauannya,” ungkapnya.

 

Suara Nelayan

Atas pertimbangan di atas, Susan menyebut bahwa upaya yang sedang dibuat oleh Pemerintah dan DPR RI, akan tidak berarti apa-apa jika tetap dipaksakan. Kalau pun ditetapkan tanggal tersebut, itu tak lebih hanya menjadi formalitas saja yang melihat sisi praktisnya. Sementara, sisi krusial dari momen hari nelayan tersebut, justru tidak disentuh karena tidak ada suara nelayan Indonesia yang dilibatkan untuk penetapan perayaan hari nelayan.

Menurut Susan, jika memang tetap dipaksakan 21 Mei sebagai hari nelayan nasional, maka itu juga menjadi simbol kepentingan politik. Padahal, di balik peringatan momen tersebut, ada banyak sejarah yang sangat berharga dan berarti, baik bagi nelayan, masyarakat pesisir, maupun Indonesia sebagai bangsa yang majemuk.

“Tidak ada pertimbangan dari suara nelayan Indonesia atau akar sejarah yang seharusnya pantas menjadi rujukan dan simbolisasi peringatan nasional,” tegasnya.

baca juga :  Hari Nelayan, Diperingati Tapi (Hampir) Dilupakan

 

Nelayan Cilacap, Jateng, bersiap melaut di Pantai Teluk Penyu. Dalam beberapa waktu terakhir, hasil tangkapan ikan nelayan Cilacap mengalami peningkatan. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Susan menambahkan, selain faktor sejarah dan keterlibatan nelayan, penetapan hari nelayan pada 21 Mei juga akan mengubah tradisi yang selama ini sudah dijalankan oleh nelayan Indonesia. Setiap tahun selama puluhan tahun terakhir, peringatan hari nelayan selalu dilaksanakan pada 6 April dan itu selalu menjadi momen untuk mengapresiasi perjuangan panjang nelayan dan perempuan nelayan di seluruh Nusantara.

“Mereka adalah penyuplai protein bagi bangsa ini dan sekaligus menjadi penjaga ekologi laut Indonesia,” ucapnya.

Dengan kata lain, Susan meminta Pemerintah Indonesia untuk mempertimbangkan kembali rencana penetapan 21 Mei sebagai hari nelayan nasional. Idealnya, peringatan nasional tersebut harus memiliki landasan pijak sejarah maupun wacana tujuannya. Untuk itu, perlu dilibatkan nelayan yang memiliki semangat juang untuk menyejahterakan mereka sendiri di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.

Di sisi lain, Susan memiliki pandangan, kalaupun Pemerintah ingin mengganti tanggal peringatan hari nelayan nasional, maka bukan 21 Mei yang layak untuk dipilih dan ditetapkan. Akan tetapi, Pemerintah bisa mempertimbangkan 16 Juni sebagai tanggal peringatan, karena itu dinilai sebagai hari yang lebih tepat dan memiliki makna mendalam.

“Jika merujuk kepentingan, sejarah dan harapan para nelayan baik laki-laki maupun perempuan, 16 Juni lebih tepat dijadikan sebagai peringatan hari nelayan. Pasalnya di situ ada catatan sejarah kemenangan perjuangan nelayan Indonesia secara konstitusional untuk menjaga laut dan pulaunya dari kemungkinan korporatisme dan privatisasi yang jauh dari agenda mensejahterakan nelayan,” jelasnya detil.

Adapun, Susan menerangkan, catatan sejarah yang ada pada 16 Juni, adalah karena Mahkamah Konstitusi (MK) mengakui Hak Konstitusional Nelayan Indonesia, yaitu hak melintas, hak mengakses lautnya, hak mengelola lautnya sesuai dengan tradisi dan kearifan yang telah dijalankan turun temurun, serta hak untuk mendapatkan laut yang bersih dan sehat.

menarik dibaca :  Saat Presiden Perintahkan Susi Persingkat Perizinan Perikanan Demi Nelayan 

 

Seorang nelayan dari Suku Bajo sedang mencari ikan di perairan Pulau Bungin, Sumbawa Besar, NTB. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Tanggal Peringatan

Dalam Keputusan Mahkamah Konstitusi No.3/PUU-VIII/2010, tanggal 16 Juni 2011 itu, terdapat bahasan mengembalikan persoalan pengelolaan kawasan pesisir ke semangat dasar Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 33.

Atas dasar itulah, Susan mengungkapkan, Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) sebagaimana tercantum dalam UU No.27/2007 Pasal 1 (18), Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21 Pasal 22, Pasal 23 ( ayat 4 dan 5), Pasal 50, Pasal 51, Pasal 60 (1), Pasal 71, Pasal 75 bertentangan dengan UUD 1945.

Selain itu, menurut Susan, di saat bersamaan, MK pada saat itu juga menilai pemberian HP3 melanggar prinsip demokrasi ekonomi karena akan membuat wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dikuasai pemilik modal besar. Penguasaan itu akan berdampak pada tersingkirnya nelayan dari ruang hidupnya yaitu pesisir, laut dan pulau-pulau kecil.

“Artinya, 16 Juni memiliki alasan lebih tepat untuk ditetapkan menjadi hari nelayan nasional. Karena pada tanggal 16 Juni nelayan Indonesia bangkit dan hak konstitusionalnya diakui melalui Keputusan MK No.3/PUU-VIII/2010. Ini kemenangan nelayan atas ruang hidupnya, dan tentu 16 Juni tidak sarat dengan urusan politik,” sebutnya.

Tak hanya pertimbangan di atas, Susan mengatakan, pemilihan 16 Juni sebagai pangganti 6 April sebagai hari nelayan nasional, juga pantas untuk dipertimbangkan, karena inilah momen yang tepat bagi masyarakat kecil seperti nelayan untuk bisa memberikan kontribusi dalam sebuah kebijakan Negara. Jika itu bisa terwujud, maka nelayan sudah mendapat tempat terhormat dalam sejarah Indonesia.

“Hanya dengan cara pikir semacam itu, negara ini menunjukkan kesadaran yang lebih maju dan sesuai dengan semangat kemerdekaan Indonesia,” tegasnya.

Oleh itu, Susan meminta Pemerintah dan DPR RI untuk bisa berpikir jernih dan tidak mementingkan tujuan politik yang bersifat sementara dalam menetapkan momen peringatan seperti hari nelayan nasional. Bagi dia, momen spesial tersebut harus dikembalikan kepada nelayan dan hanya mereka yang berhak untuk menikmatinya secara utuh.

“Supaya publik dan generasi kita mengingat kontribusi nelayan bagi bangsa ini. Di situlah visi kebaharian dan kemaritiman kita mestinya juga ditegakkan,” pungkasnya.

baca juga :  Kenaikan Nilai Tukar Nelayan Sejahterakan Nelayan Indonesia?

 

Sekelompok nelayan di pantai Depok, Yogyakarta. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Center of Maritime Studies for Humanity Abdul Halim, juga mengkritik kebijakan Pemerintah Indonesia untuk sektor kelautan dan perikanan. Dalam penilaian dia, Indonesia saat ini sedang kehilangan arah di lautnya sendiri. Bukti itu bisa dilihat dari masih tumpang tindihnya kebijakan yang ada di lautan dan merugikan nelayan dan masyarakat pesisir.

Menurut Halim, contoh paling nyata adalah klaim penangkapan kapal pencuri ikan sebanyak 488 unit yang sudah dilakukan sejak 2014 hingga 2018. Klaim tersebut terlihat seolah bagus, padahal sebenarnya tidak. Mengingat, tidak ada efek jera yang diberikan kepada pemilik kapal yang sudah melakukan pelanggaran kedaulatan Negara.

“Jika itu tidak dicarikan solusi, maka kedaulatan bangsa akan tergadaikan dan beragam permasalahan akan kembali muncul,” tandasnya.

***

Keterangan foto utama : Nelayan tradisional yang menggantungkan hidupnya dengan mancari ikan di lautan. Peralatan yang mereka gunakan juga sederhana, perahu, jaring, dan kail. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version