Mongabay.co.id

Jalan Panjang Berantas Penyelundupan Satwa Liar Dilindungi

Kasus penyelundupan satwa liar dilindungi terus terjadi. Sejak Januari hingga Maret 2019, berbagai upaya penyelundupan telah digagalkan petugas dari Kepolisian, BKSDA, Balai Karantina hingga Bea Cukai di area vital seperti bandara dan pelabuhan di sejumlah daerah.

Belum lama ini, penyelundupan bayi orangutan oleh seorang warga negara Rusia berhasil digagalkan otoritas keamanan Bandara Internasional Ngurah Rai, Denpasar, Bali. Modusnya, pelaku membius bayi orangutan malang itu dan dimasukkan dalam keranjang.

Di Semarang, Jawa Tengah, Balai Karantina Kelas I Semarang, akhir Maret lalu menggagalkan penyelundupan burung berbagai jenis seperti murai batu [Copsychus malabaricus], cucak hijau [Chloropsis sonnerati], hingga kacer [Copsychus saularis]. Jumlahnya, 296 ekor dimasukkan keranjang yang sebanyak 30 ekor mati. Nerdasarkan informasi, burung-burung itu berasal dari Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah.

Sementara di Papua, Tim Subdit IV Tipidter Ditreskrimsus Polda Papua menangkap dua pelaku penyelundupan ribuan kura-kura moncong babi [Carettochelys insculpta] dari Agats, Kabupaten Asmat ke Timika, Kabupaten Mimika, pada Selasa [26/3]. Selain dua pelaku, petugas mengamankan barang bukti berupa 5.050 ekor kura-kura dengan rincian 4.800 ekor hidup dan 250 ekor mati.

Dilansir dari liputan Investigasi Tempo, sejak 2017 sejumlah 796 pelaku sudah ditangkap Kepolisian dengan barang bukti sebanyak 15.640 individu satwa dilindungi.

Baca: Perdagangan Satwa Liar Dilindungi Menggila, Polisi: 41 Ekor Komodo Sudah Dijual ke Luar Negeri

Sebanyak 79 individu kukang jawa diamankan Kepolisian Resor Majalengka, Jawa Barat, dari upaya penyelundupan ke China Januari 2019 lalu. Foto: Reza Septian/Mongabay Indonesia

Dwi Adhiasto, Wildlife trafficking specialist, Wildlife Conservation Society, mengatakan, banyaknya pengungkapan kasus perdagangan dan penyelundupan satwa liar merupakan bentuk meningkatnya kemampuan deteksi aparat penegak hukum.

“Kejahatan memang banyak, apa yang dilakukan aparat penegak hukum belum mencapai puncak gunung es. Jumlah kasus akan terus bertambah,” ungkap Dwi kepada Mongabay Indonesia, Sabtu [13/4/2019].

Menurut dia, yang harus dilakukan aparat penegak hukum adalah fokus membongkar jaringan kejahatan, karena pelakunya bukan perorangan. “Tidak dilakukan parsial, tetapi sistematis agar rantai perburuan dan perdagangan bisa dihentikan,” tambahnya.

Dwi juga menilai, kejahatan satwa liar melibatkan pemain lama. Selama ini, yang berhasil ditangkap dan dilakukan penyelidikan lebih lanjut adalah orang-orang yang sudah tahunan menjalankan bisnis haramnya.

Kepala Unit Perlindungan Satwa Liar IAR Indonesia, Ode Khalasnikov mengatakan, permintaan yang tinggi masih mengambil porsi besar terjadinya penyelundupan satwa liar. Meski operasi terus digencarkan, tidak otomatis menurunkan permintaan. Para pelaku biasanya ‘tiarap’ sementara sampai suasana kembali kondusif.

“Fenomena itu biasa terjadi ketika ada pelaku tertangkap. Beberapa di antara mereka bahkan menutup lapak jualannya,” katanya kepada Mongabay Indonesia belum lama ini.

Ode menilai, penting dilakukan adalah menguatkan peran antar-lembaga penegak hukum untuk memberantas kejahatan terorganisir lintas negara ini. Salah satunya dengan menerapkan hukuman maksimal bagi pelaku kejahatan berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya.

“Undang-undang tersebut mengamanatkan pidana kurungan penjara maksimal 5 tahun dengan denda paling banyak Rp100 juta. Sementara, hukuman yang dijatuhkan rata-rata satu tahun. Hukum tegas yang memberikan efek jera harus ada,” jelasnya.

Baca juga: Warga Rusia Selundupkan Orangutan dari Bali, Bagaimana Akhirnya?

Komodo, satwa endemik Indonesia dilindungi undang-undang yang tak luput dari perdagangan ilegal. Foto: Rhett Butler/Mongabay

Peran jaksa

Untuk menerapkan hukuman maksimal, jaksa penuntut umum memegang peran kunci dalam menentukan putusan yang akan dijatuhkan hakim di pengadilan.

Jaksa Agung Muda Pidana Umum, Noor Rachmad mengakui hal itu. Dalam sebuah kesempatan di Surabaya, Jawa Timur, Maret lalu, dia mengatakan, peningkatan kapasitas jaksa penuntu umum terkait tindak pidana satwa liar sangat diperlukan.

“Agar jaksa lebih berkualitas dan satu visi. Sehingga, ketika membuat tuntutan, yang dilihat bukan hanya prinsip jera tetapi juga efek takut bagi pelaku untuk melakukan hal serupa. Juga, bisa mengembangkan pada tindak pidana lain seperti, undang-undang karantina, kepabeanan, pencucian uang, hingga korupsi.”

Noor menerangkan, undang-undang pencucian uang dapat diterapkan apabila hasil kejahatan dimasukkan ke rekening atau disamarkan untuk pembelian aset. Sedangkan undang-undang kepabeanan dan pemalsuan dokumen dapat digunakan apabila terdapat pelanggaran dalam ketidaksesuaian dokumen pengiriman satwa ilegal antardaerah atau antarnegara.

“Bila diterapkan ke aspek pidana lebih luas, akan ada daya tangkal untuk pelaku. Bahkan, pelaku tidak terbatas pada perorangan, tapi juga korporasi,” pungkasnya.

Baca juga: Tuntutan Jaksa Tidak Maksimal, Pelaku Kejahatan Satwa Liar Tidak Takut Hukuman

Awetan harimau sumatera yang disita dari pelaku kejahatan satwa liar di Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

Masih tinggi

Berdasarkan International Enforcement Agency [IEA], nilai perdagangan satwa liar global menempati posisi tertinggi setelah narkotika, senjata api, dan perdagangan gelap manusia. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan, nilai kerugian negara akibat perdagangan ilegal satwa liar diperkirakan mencapai 13 triliun Rupiah per tahun.

Kelompok Kerja Kebijakan Konservasi [Pokja Konservasi] dalam Catatan Akhir 2018 menemukan masih tingginya angka kasus kejahatan satwa liar. Berdasarkan data WCS-IP terdapat peningkatan kasus dari 106 kasus di 2015, menjadi 225 kasus di 2017. Sementara pantauan hingga Oktober 2018, tidak mengalami perubahan yang signifikan yaitu 169 kasus.

Pokja menyoroti, penegakan hukum konservasi belum banyak menjerat pelaku kejahatan satwa liar sebagai kejahatan terorganisir. Juga, belum berhasil menjerat korporasi, khususnya yang konsesinya merupakan habitat satwa liar dilindungi. Belum lagi payung hukum yang lemah bagi perlindungan spesies dan sumber daya genetik, terutama spesies terancam punah bukan asli [non-native] Indonesia.

Pokja Konservasi juga mengkritisi tarik ulur kebijakan perlindungan spesies dengan dikeluarkannya daftar jenis dilindungi melalui Permen LHK P.20 Tahun 2018, pertengahan 2018 silam. Persoalan lain yang disoroti adalah dalam kurun waktu singkat pemerintah merevisi daftar perlindungan Permen LHK P.20 menjadi P.92, dan kini P.106.

Exit mobile version