Mongabay.co.id

Alam Negeri Ini Masih Tertekan Berbagai Beban

Taman Nasional Gunung Leuser yang telah berubah jadi kebun sawit di Kabupaten Aceh Tenggara. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Oheeime. Begitu nama rumah Ohee atau rumah besar Suku Ohee, yang terletak di Kampung Yoka, Distrik Heram, Kota Jayapura, Papua, ini. Rumah ini terbangun pada 1967, setahun sebelum Agustinus Ohee, anak laki-laki dalam keluarga ini lahir.

Tinggi lantai rumah dari dasar danau hampir dua meter. Seperti rumah warga di pinggiran Danau Sentani, tiang rumah ini dari kayu sowang, endemik Papua, yang dikenal kuat dan tahan air. Meski dibangun di atas air dan sudah tua, rumah ini tetap kokoh.

“Saya lahir di pinggiran Danau Sentani. Saya belajar dari kecil hingga besar di pinggiran danau ini. Saya berenang, mendayung perahu. Perahu besar, kecil sampai sekarang masih bisa,” cerita Agus, akhir pekan lalu.

Di belakang rumah ini, ada parapara (tempat duduk) yang menghadap ke hamparan Danau Sentani dan Pegunungan Cycloop. Agus kini jadi pelukis, biasa menghabiskan sore di rumah ini.

Dari sini matahari tenggelam tepat di bawah kaki Cycloop. Warna senja yang memantul di atas hamparan danau jadi kemewahan bagi yang bisa menikmati tempat ini.

Tidak jarang teman-teman Agus yang berdomisili di Kota Jayapura, datang menghabiskan sore sambil minum kopi atau makan papeda dengan ikan dari danau ini.

Kini, rumah ini kosong. Parapara belakang juga sudah hanyut. Sebulan lalu, bersamaan dengan banjir bandang yang menerjang Kota Sentani, air danau naik. Rumah-rumah yang dibangun di atas danau, termasuk Oheeime ini terendam. Tampak bekas ketinggian air di dinding rumah, melewati lantai rumah hingga setengah meter.

“Curah hujan tinggi, malam sampe pagi. Kita ikuti perkembangan, oh, air sudah naik. Kita kan orang danau pasti tau perkembangan. Kita pikir tidak usah angkat semua barang, geser-geser yang di lantai, yang di meja biarkan. Ternyata, perhitungan salah. Air naik hajar di meja juga. Akhirnya, semua geser keluar, kasi kosong rumah.”

Banjir bandang menghantam Kabupaten Jayapura, termasuk rumah Agus, yang berada di tepian Danau Sentani. Ratusan korban jiwa. Data Posko bencana banjir Kabupaten Jayapura menyebutkan, danau seluas 104 km2 ini merendam hingga 1.568 rumah. Jumlah ini belum termasuk rumah-rumah yang masuk Kota Jayapura seperti Oheeime ini.

Agus bilang, dari cerita orangtuanya, air danau pernah meluap seperti ini sekitar 1962 atau 1963. Ketinggian air saat itu jadi patokan ayahnya membangun rumah ini. Tahun-tahun setelah itu, meski air naik tetapi hanya 10 cm di bawah lantai rumah, lalu turun lagi. Kini, pada 2019, air naik melewati batas rumah dan memaksa mereka mengungsi.

Meski air danau mulai surut, tampak rumah-rumah masih kosong. Bersama keluarga tinggal di sanggar Agus yang di daratan. Keluarga yang lain mengungsi ke gedung pemerintah kampung.

Bagi Agus, kenaikan air danau jadi petanda, rumah harus dibangun yang baru. Lantai rumah harus lebih tinggi dari sekarang. Kalau nanti air danau naik lagi, rumah tetap aman.

“Masyarakat kalau dipindahkan dari pinggiran Danau Sentani ke darat, susah. Kehidupan dan tradisi dari dulu sudah begitu. Dia tertanam di pinggi danau. Kalau bisa ke depan itu, dinaikkan lagi, misal, berapa dari 2019 ini.”

Sebagai warga, Agus menunggu kesepakatan antara adat dan pemerintah pasca bencana ini terutama penataan pembangunan di danau ini. “Saya masyarakat biasa menyesuaikan dengan apa yang akan disepakati.”

Bencana ini, katanya, juga jadi peringatan agar semua pihak peduli lingkungan, antara lain, menjaga kebersihan danau dan berhenti membangun di rawa pinggir danau yang seharusnya jadi tempat penyimpanan air.

Kan itu banyak pembangunan di sana. Padahal, itu tempat penyimpanan air. Air masuk di daerah itu hingga debit air naik tapi mengurang karena tersimpan ke sana.”

Bencana di Papua ini, bisa jadi satu gambaran, betapa bumi sudah begitu tertekan dengan berbagai pembangunan dan penggunaan lahan yang tak memperhatikan kelestarian.

 

Rumah warga di Distrik Sentani Timur. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Di Riau, Sumatera, kekhawatiran terhadap bumi juga datang dari para pegiat lingkungan. Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) bersama Wahana Lingkungan Hidup Walhi, Riau, berupaya meninjau kembali Perda Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Riau ke Mahkamah Agung.

Mereka khawatir, kalau sampai perda ini berjalan, ancaman lebih berat lagi bagi alam.

Pada Minggu, (21/4/19), sembari menyambut Hari Bumi Internasional, mereka aksi damai menyerukan penyelamatan bumi Melayu dengan melawan Perda RTRW.

Mereka membentang spanduk sepanjang 15 meter dan mengajak para penikmat jalan beri tandatangan dukungan pada sedepa kain putih. Kebanyakan dari orang-orang yang beri dukungan tidak mengerti dengan RTRW Riau, namun setuju terhadap upaya penyelamatan bumi.

Ketika Perda RTRW Riau Nomor 10 sah pada 8 Mei 2018, Jikalahari menilai, aturan itu lebih mengutamakan kepentingan sekelompok pengusaha dan perusahaan tanpa mempertimbangkan ruang ekologis begitu juga ruang kelola masyarakat.

“Selain pengesahan terkesan dipaksakan, Perda RTRW Riau juga tak memperhatikan peraturan lebih tinggi,” kata Arpiyan Sagita, devisi advokasi dan kampanye Jikalahari.

Devi Indriani dari Walhi Riau, mengatakan, beberapa peraturan bertentangan itu antara lain, UU Kehutanan tahun 1999, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Pemerintahan Daerah 2014. Juga Peraturan Pemerintah soal Tata Cara Penyelenggaraan Kajian Lingkungan Hidup Strategis tahun 2016.

Kesalahan DPRD dan Gubernur Riau, katanya, mengesahkan RTRW Riau ketika mereka tak menghiraukan surat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang belum menyetujui validasi kajian lingkungan hidup strategis. Padahal, katanya, Gubernur Riau diminta menyempurnakan kembali kajian itu selambat-lambatnya setahun setelah surat pemberitahuan.

Alih-alih menjalankan perintah menteri yang mengurus perlindungan dan pengelolaan lingkungan tadi, Sekretaris Daerah Riau Ahmad Hijazi, malah berkirim surat ke Menteri Dalam Negeri lewat Direktur Bina Pembangunan Daerah meminta nomor register. Perangai seperti ini, kata Arpiyan, sebagai bentuk gagal paham pemerintah daerah dalam menjalankan tugas.

Gagal paham lain, ketika Perda RTRW Riau, mengamanatkan usulan perhutanan sosial harus dibahas terlebih dahulu di DPRD Riau. Karena pasal inilah, pemberian hak pengelolaan hutan pada masyarakat tak mencapai target pusat alias lambat. Mekanisme ini, kata Devi, bertentangan dengan UU Pemerintahan Daerah, termasuk Permen LHK P.83/2016 tentang Perhutanan Sosial.

Belum lagi menyoal kawasan lindung gambut yang hanya diakomodir sekitar 21.000 hektar dalam perda itu. Padahal, bencana ekologis kabut asap karena kebakaran hutan dan lahan di Riau, mayoritas terjadi di lahan gambut yang sebagian terbebani izin perusahaan.

Kenyataannya, Pemerintah Riau, lebih mementingkan atau membuka keran investasi sebesar-besarnya, seperti diucapkan Arsyadjuliandi Rachman, ketika masih menjabat Gubernur Riau. Sedang keterlibatan publik sebagai bentuk keterbukaan dan akuntabilitas, katanya, sama sekali tidak terakomodir.

 

Kebakaran di Dusun Suka Damai, Desa Tanjung Leban, Kecamatan Kubu, Rokan Hilir, Riau. Foto: Zamzami/ Mongabay Indonesia

 

Keseriusan pemerintah

Belum selesai masalah di Riau, Sumatera Utara, juga tak jauh beda. Iswan Kaputra, Wakil Direktur Bina Keterampilan Pedesaan (Bitra) Indonesia, mengatakan soal kondisi lingkungan Sumut kekinian, alami kerusakan.

Kontribusi utama kerusakan disumbang perusahaan perkebunan baru maupun perluasan lahan yang membabat hutan.

Pada 2013, hutan Sumut 1,73 juta hektar, tiga tahun berikutnya, pada 2016, hutan tersisa 1,64 juta hektar, alias laju kerusakan rata-rata 90.000 hektar.

Dia mengingatkan, Indonesia, bakal susah memenuhi target capaian kontribusi pengurangan emisis 29-41% sampai 2030, tanpa mengatasi deforestasi dan degradasi hutan.

Pada 1970-an, data FAO, laju deforestasi Indonesia 300.000 hektar pertahun. Dari Sunderlin dan Resodarmo, 1997, menyebutkan, pada 1990-an, deforestasi naik jadi satu juta hektar pertahun.

Analisis Forest Watch Indonesia (FWI) dan Global Forest Watch (GFW) 2001 memperlihatkan, 1996-2000, laju deforestasi 2 juta hektar pertahun. Selanjutnya, 1,5 juta hektar pertahun periode 2001-2010 dan 2009-2013 sebesar 1,1 juta hektar pertahun.

Kajian terbaru FWI, pada tiga provinsi (Sumatera Utara, Kalimantan Timur dan Maluku Utara), laju deforestasi relatif tinggi, sekitar 240.000 hektar pertahun periode 2013- 2016, naik dari sebelumnya (2009-2013), sekitar 146.000 hektar pertahun.

Kalau total, hutan alam di tiga provinsi itu hilang seluas 718.000 hektar selama tiga tahun. Temuan lain, sekitar 72% deforestasi pada tiga provinsi ini di dalam wilayah yang terbebani izin pengelolaan.

Konsesi-konsesi seperti HPH, HTI, perkebunan sawit dan pertambangan, katanya, jadi penyebab langsung deforestasi. Sumut, katanya, masih sedikit beruntung, peningkatan deforestasi tertinggi di Malut dan Kaltim.

Di Sumut, katanya, aktor penyebab deforestasi adalah hutan tanaman industri (HTI) dan ekspansi perkebunan sawit di dalam konsesi hak pengusahaan hutan (HPH).

Deforestasi oleh HTI tinggi karena ada pembukaan lahan pada tahap awal penyiapan lahan hutan tanaman.

Fakta-fakta deforestasi ini, katanya, menuntut keseriusan pemerintah dalam mengurangi emisi, menjaga lingkungan hidup, mencegah bencana dan melestarikan sumber daya alam.

Menurut dia, degradasi hutan dan deforestasi ini menyebabkan bencana lingkungan, mulai banjir, longsor, kekeringan dan kehilangan keragaman hayati.

Akhirnya, dengan melihat kecenderungan hutan alam hilang bergeser ke Timur Indonesia. “Ini tak lain karena hutan alam di Sumatera dan Kalimantan, memang sudah makin sedikit,” katanya.

Kondisi bisa lebih parah kala hutan alam di Timur Indonesia itu, kebanyakan di pesisir dan pulau-pulau kecil. Kalau hutan hilang, katanya, dampak jauh lebih besar dibandingkan kehilangan hutan di pulau-pulau besar.

“Tenggelamnya pulau, intrusi air laut dan hilangnya sumber-sumber kehidupan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil di Timur Indonesia ancaman depan mata.”

 

Tambang nikel di Pulau Kabaena. Ore nikel ini kemudian dibawa ke pelabuhan khusus atau jetty. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Kerusakan hutan ini, secara otomatis bikin bumi menderita. Pelepasan emisi karbon terus terjadi.

Contoh dampak langsung deforestasi, katanya, menyebabkan daerah tangkapan air gundul dan tak lagi sebagai daerah tangkapan air. Hulu anak sungai pun, katanya, tak lagi dapat mengairi sungai dengan debit air normal. Anomali debit air sungai, katanya, akan lebih tak jelas.

Dia mengibaratkan dengan tubuh manusia. “Sungai sebagai urat nadi bumi…! Air sebagai darahnya! Jika darah sangat sedikit atau terlalu banyak, pasti tubuh akan mengalami masalah.”

Begitu juga, katanya, kalau darah sudah tercemar berbagai bahan kimia, seperti limbah ke sungai, tubuh juga akan rentan terserang berbagai penyakit, bahkan sangat mematikan sekalipun.” “Sekarang ini, bumi sedang sakit kronis.”

Kalau cerita komitmen pemerintah daerah terhadap bumi dan lingkungan, katanya, sejauh ini sangat minim. Yang ada, katanya, program dari pemerintah pusat dengan pemikiran dan konsep yang benar-benar baik dan tajam. Kala sampai ke pemerintah provinsi dan kabupaten, katanya, hanya jadi program yang kurang dipahami, makna dan substansi, jauhlah dari menjiwai dalam melaksanakannya.

“Kedinasan atau badan khusus di provinsi dan kabupaten, memandang ini sekadar program bagus jika disertai anggaran. Akan berhenti, jika tidak ada anggaran. Begitupun pelaksanaan, hanya sekadarnya tanpa penghayatan substansi demi bumi sehat.”

Dia menegaskan, melestarikan lingkungan tidak harus mengorbankan ekonomi masyarakat dan merusak lingkungan, apalagi sampai merusak bumi.

Konsep perkebunan tanaman campuran atau polikultur adalah konsep perkebunan di mana semua pihak, termasuk lingkungan dan bumi akan diuntungkan. Ekonomi masyarakat makin baik, lingkungan terjaga, daya dukung sangat tinggi, dan budaya masyarakat terpelihara baik.

Bitra bersama masyarakat pada lahan seluas 550 hektar tanam kebun campuran di dataran tinggi.

Selain kebun tanaman campuran, upaya-upaya pertanian selaras alam (pertanian organik) dan model terobosan maksimalisasi ekonomi dan ekologi, seperti integrasi ikan dan padi dalam model mina padi, dan konservasi, dengan penanaman pohon di hulu dan bantaran sungai.

Bitra bersama masyarakat dampingan secara kecil-kecilan, katanya, ikut berkontribusi dalam menangani kondisi lingkungan yang makin memburuk dan berakibat pada kerusakan bumi ini.

Masyarakat, katanya, kalau diajak bersama-sama, dengan pendekatan penyadaran, bukan perintah, akan ikut berpartisipasi dalam kegiatan menjaga bumi.

Sedang perusahaan, katanya, harus masuk lebih substantif dalam menjaga alam, bukan hanya kegiatan seremoni dan pemanis untuk pencitraan agar tampak bersih.

Semua pihak, katanya, berkolaborasi baik eksekutif dan legislatif dalam membuat kebijakan agar memaksimalkan fungsi-fungsi konservasi dan rehabilitasi ekologi dalam menjaga bumi.

 

Pulau Gee, Halmahera Timur, Maluku Utara. Pulau-pulau kecil ini dinaggap sebelah mata oleh pemerintah dan mungkin dianggap tak penting, hingga bisa begitu saja dieksploitasi hingga ludes, botak dan hancur lebur. Seakan, pulau ini hilang tak masalah yang penting sudah dikuras terlebih dahulu. Foto: AMAN Malut

 

Dari Maluku Utara, berbagai pihak memberikan harapan di Hari Bumi, soal perlu ada upaya perbaikan lingkungan dan pengurangan tekanan bumi demi berbagai kepentingan ekonomi terutama industri ekstraktif.

Natsir Tamalene, Ketua Program Studi Biologi Universitas Khairun Ternate Malut, selama ini riset keragaman hayati mengatakan, soal tekanan dan kerusakan bumi Malut, karena cara pandang antroposentris dan kesadaran lingkungan rendah.

Eksploitasi industri ekstraktif, katanya, seperti tambang, perkebunan monokultur dan hak pengusahaan hutan (HPH).

Kerusakan lingkungan maupun hutan ini, katanya, menyebabkan sumber oksigen susut, sumber air berkurang bahkan tercemar, dan peningkatan sumber karbon yang berdampak bagi kelangsungan hidup makhluk hidup.

Kerusakan hutan, katanya, bikin suhu bumi naik karena oksigen berkurang. Belum lagi, katanya, kerusakan hutan mangrove di pesisir juga jadi alasan kenapa abrasi di pesisir.

Hutan mangrove banyak ditebang untuk kayu bakar, bangunan rumah buat pemukiman. Kalau diamati nyata, perubahan garis pantai dari tahun ke tahun mengalami perubahan. Kenaikan air laut menyebabkan abrasi nampak sekali terjadi di pulau-pulau di Malut.

Hasil riset, mereka menunjukkan terjadi kerusakan serius pantai pulau-pulau kecil seperti di Kayoa, Pantai Jailolo dan Susupu, Oantai Toniku, pulau-pulau kecil Obi, Pulau Bisa, Pulau-pulau Kecil Bacan Kasiruta Tawwale. Juga di Gane Luar, Gane Dalam, Morotai bagian selatan, pulau pulau kecil Gotowasi Halmahera Timur, pulau kecil Jara- jara di Halmahera Timur, pesisir Pantai Oba Utara, Oba Selatan.

“Ini bukti kerusakan dan tekanan terhadap bumi begitu serius,” katanya.

Data lain, setiap pulau di Malut ditemukan sampah plastik. Di Kota Ternate, misal, ada delapan titik sumber sampah plastik di wilayah perairan. Ini ancaman bumi di masa sekarang.

Biota laut pesisir terkena dampak dari cemaran sampah microplastik yang berpengaruh pada jaringan makanan di laut. “Jika terjadi dan mengganggu siklus dalam ekosistem laut, ikan dan kerang di Pasar Gamalama, Dufa-dufa dan Bastiong kemungkinan tercemar bahaya sampah microplastik.”

Untuk itu, katanya, perlu kajian bersama karena bumi saat ini mengalami kerusakan dari darat sampai laut, karena ulah manusia.

Dia bilang, kenaikan suhu juga menyebabkan fauna di daerah pegunungan bermigrasi ke daerah lebih tinggi. Spesies di puncak gunung akan mengalami kepunahan.

Spesies dengan habitat di hutan hujan tropis wilayah Pulau Halmahera, yang gundul oleh perusahaan tambang akan punah.

Kenaikan suhu juga menyebabkan kasus penyakit tropis seperti malaria dan demam berdarah. Apalagi, malaria adalah penyakit menular dengan intesitas tertinggi di Malut.

 

Foto udara kondisi Sungai Citarum, Baleendah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Tampak airnya menghitam bercampur limbah. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Tambang, katanya, dalam kajian ekologi adalah ancaman, tetapi dalam kajian ekonomi sangat menguntungkan. Sayangnya, struktur perekonomian Malut hingga sekarang bukanlah sektor tambang, HPH dan sawit namun perikanan. Ia didukung luas laut sekitar 113.796,53 km2 dengan potensi sumber daya alam. Pertanian merupakan sektor yang menghidupi masyarakat Malut.

Masyarakat Malut, katanya, perlu menyadari hutan merupakan kekayaan dengan nilai lebih berharga dari tambang dan perusahaan sawit. “Ini tentu sangat beralasan karena hutan nadi dari kehidupan manusia dan makhluk hidup lain.”

Asgar Saleh, Direktur Rorano Malut, mengatakan, untuk sektor kehutanan meski area lebih kecil dari laut tetapi sangat signifikan dalam menjaga keseimbangan alam.

“Saya melihat jika dibiarkan sengaja untuk eksploitasi atas nama investasi, maka akan sangat berbahaya. Saat ini mungkin ada keuntungan ekonomi jangka pendek, untuk masa depan, jelas sangat mengancam keberlangsungan hidup di Malut dan dunia secara umum.”

Dia bilang, mitigasi bencana dan kesehatan menyatakan, keuntungan ekonomi dan investasi sektor kehutanan termasuk tambang tak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan warga lokal. Aktivitas ini, katanya, hanya menguntungkan sebagian kecil investor.

“Ini butuh regulasi di level lokal untuk   membatasi investasi sektor ini yang merusak hutan Halmahera dan beberapa pulau besar lain.”

Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan mengatakan, peringatan Hari Bumi seharusnya jadi momentum bersama untuk koreksi soal perlindungan lingkungan. Hal ini penting karena kondisi lingkungan makin menurun.

Lingkungan hidup, katanya, masih jadi komoditas politik dan sumber pendapatan untuk membiayai ongkos politisi dan pejabat di Indonesia.

Seharusnya, lingkungan jadi pilar ekonomi berkelanjutan. Bukan jadi sumber pendapatan untuk ongkos politik.

Banyak obral perizinan, katanya, pemerintah di masa tahun politik.

Seharusnya, katanya, peringatan Hari Bumi bukan hanya diperingati seremonial belaka juga jadi momentum perubahan besar dalam tata kelola lingkungan.

“Selama ini, leadership untuk isu lingkungan masih lemah. Kedua paslon capres-cawapres masih lemah dalam komitmen menjaga lingkungan. Ini yang menjadi catatan bersama.”

Ke depan, katanya, ekonomi Indonesia akan bertumbuh kuat kalau lingkungan baik dan terjaga. “Kalau pembangunan ekonomi tak berlandaskan perkembangan sektor lingkungan yang kuat, sama saja dengan bunuh diri.”

Dia mengkritisi berbagai pembangunan proyek infrastruktur belakangan ini. Pembangunan jalan tol misal, harus memperhatikan daya dukung lingkungan.

Pembangunan tanpa memperhatikan aspek lingkungan berakibat buruk, seperti banjir di proyek jalan tol baru-baru ini.

“Bencana ekologis juga meningkat, Banjir, longsor, kebakatran hutan dan lain-lain. Itu indikasi, ekonomi Indonesia bisa sangat maju kalau menjaga sumber daya alam, daya dukung lingkungan.”

Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi Nasional mengatakan, kondisi bumi sudah level darurat dalam skala planet. Dampaknya, akan dirasakan semua makhluk hidup, termasuk manusia.

“Sekarang ini, yang diperlukan tindakan nyata kolektif. Terutama pemerintahan di dunia untuk penurunan emisi gas rumah kaca secara drastis. Juga pemulihan fungsi-fungsi ekosistem masif.”

Bentuk koreksi kebijkan pemerintah mendatang, katanya, antara lain, pemulihan fungsi ekosistem rusak seperti gambut, mangrove, daerah aliran sungai dengan prinsip pencemar membayar . Selain itu, memproteksi fungsi ekosistem yang masih baik dengan melibatkan masyarakat lokal dan adat sebagai subjek utama.

“Hal lain, menghentikan total ekspansi perkebunan-perkebunan besar monokultur seperti sawit dan hutan tanaman industri. Bukan hanya moratorium. Mulai serius beralih pada sumber energi bersih terbarukan. Juga menyelesaikan berbagai konflik sumber daya alam dan lingkungan.”

Annisa Rahmawati, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia mengatakan, kondisi bumi sedang kritis. Masyarakat dunia, dihadapkan dengan berbagai masalah yang mengancam keberlangsungan kehidupan.

“Bumi adalah planet tempat tinggal kita dan mahluk hidup lain, tidak banyak manusia sadar untuk menjaga dan memperlakukan sebagaimana layaknya sebuah rumah.”

Berbagai kerusakan lingkungan di seluruh penjuru dunia terjadi, katanya, tak terkecuali Indonesia mulai pencemaran lingkungan darat, sungai, laut dan udara, banjir, kebakaran hutan dan lahan, kepunahan satwa liar. Juga penggundulan hutan eksploitasi sumber daya alam berlebihan dan lain-lain.

Annisa bilang, produksi emisi gas rumah kaca di dunia makin meningkat. Dengan prediksi kenaikan populasi penduduk dunia 10 miliar jiwa pada 2050, berimbas pada kemampuan daya dukung bumi.

“Perjanjian iklim Paris, yang sudah diratifikasi berbagai negara memandatkan kepada seluruh negara lebih ambisius dalam target penurunan emisi.”

Dia  menegaskan, sangat penting bagi dunia, khusus Indonesia segera beralih dari sumber-sumber energi fosil dan kotor ke sumber-sumber terbaharukan dan memperbaiki sistem ekonomi dan bisnis.

Selama ini, katanya, kebijakan ekonomi dianggap gagal mempertahankan hutan dari ekpansi komoditas-komoditas haus lahan seperti sawit, kedelai, bubur kertas untuk memenuhi permintaan pasar dan konsumsi berlebihan di tingkat global maupun lokal.

Hutan, katanya, menyediakan air sangat penting bagi hidup manusia dan menumbuhkan tanaman-tanaman pangan, juga menyediakan sumber-sumber tanaman obat yang sangat berharga.

Hutan adalah rumah bagi keragaman hayati, flora dan fauna, serta sumber makanan dan penopang ekonomi bagi masyarakat adat.

Saat ini, katanya, tak cukup hanya menghentikan penggundulan hutan atau deforestasi tetapi harus segera memulihkan hutan-hutan dan lingkungan yang rusak.

“Kalau ingin bertahan hidup di rumah kita, perubahan lebih baik harus terjadi. Kapan? Sekarang juga, karena tidak ada Planet B.” Tim penulis:  Asrida Elisabeth, Ayat S Karokaro, Mahmud Ichi, dan Indra Nugraha

 

Keterangan foto utama:    Taman Nasional Gunung Leuser yang telah berubah jadi kebun sawit di Kabupaten Aceh Tenggara. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

 

Exit mobile version