Mongabay.co.id

Kala Indonesia Siapkan Rencana Pembangunan Rendah Karbon

Mencegah kebakaran dengan melestarikan hutan. Foto: Suryanto/Juara 2 Pers DETaK 2018

 

 

 

 

 

“The year 2078, I will celebrate my 75th birthday. If I have children maybe they will spend that day with me. Maybe they will ask me about you. Maybe they will ask why you didn’t do anything while there still was time to act. You say you love your children above all else, and yet you are stealing their future in front of their very eyes.”

Begitu petikan pidato Greta Thunberg, aktivis lingkungan belia 16 tahun asal Swedia. Boediono, Wakil Presiden 2009-2014 menayangkan pidato ini sebelum meluncurkan hasil kajian pembangunan rendah karbon di Jakarta, baru-baru ini. Tepuk tangan menyambut saat video selesai diputar.

”Usia (Thunberg) sama dengan cucu saya,” katanya.

Pidato Thunberg dalam konferensi perubahan iklim tahun 2018, memberikan gebrakan dalam mendorong komitmen dan protes dunia soal kebijakan perubahan iklim.

Boediono mengatakan, pembangunan ekonomi tak boleh memasung generasi mendatang, terutama lewat kontrak investasi biasa jangka panjang.

Hari itu, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional / Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) merilis dokumen laporan kajian pembangunan rendah karbon (PRK) Indonesia (low carbon development initiatives/LCDI).

Model pendekatan pembangunan rendah karbon ini sebagai dasar rancangan teknis Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024.

”LCDI akan kami arus utamakan jadi bagian penting dan tak terpisahkan dari RPJMN 2020-2024,” kata Bambang Brodjonegoro, Kepala Bappenas.

Dalam dokumen ini menjelaskan, soal paradigma pembangunan yang menjamin pertumbuhan ekonomi tinggi sekaligus menjaga keseimbangan daya tampung dan daya dukung lingkungan.

”Intinya, (dokumen PRK) pembangunan yang menjamin keseimbangan antara aspek ekonomi, sosial dan lingkungan,” katanya.

PRK jadi proses mengidentifikasi kebijakan pembangunan yang mempertahankan pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan, dan membantu pencapaian target pembangunan di berbagai sektor.

Berdasarkan kajian itu, pembangunan rendah karbon dapat menghasilkan produk domestik bruto (PDB) rata-rata 6% per tahun hingga 2045, lebih tinggi dari pertumbuhan saat ini. Adapun, rata-rata pertumbuhan PDB Indonesia 2000-2018 sebesar 5,6% per tahun.

 

Taman Nasional Gunung Leuser yang telah berubah jadi kebun sawit di Kabupaten Aceh Tenggara. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Bahkan, melalui paradigma PRK ini mampu menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sampai 43% pada 2030, melebihi target penurunan emisi Indonesia yang tercantum dalam dokumen national intended contribution (NDC).

”Karena aspek lingkungan akan jadi dasar menjaga keberlangsungan pembangunan itu sendiri. Ini juga sudah inline dengan SDGs yang jadi komitmen global, terutama sampai 2030,” katanya.

Paradigma inisiatif ini penting karena penengah dari dua mazhab yang tak pernah akur dalam pembangunan, yakni mazhab ekonomi dan lingkungan.

Mazhab ekonomi, katanya, menekankan pengoptimalan penggunaan atau eksploitasi sumber daya alam karena Indonesia memerlukan pertumbuhan tinggi dalam mengurangi kemiskinan dan pengangguran, tanpa mempedulikan lingkungan.

Penyusunan dokumen PRK ini, katanya, mendapat arahan dan dukungan dari tokoh-tokoh sebagai komisioner LCDI, yakni H. Boediono, Wakil Presiden Indonesia kesebelas, Mari Elka Pangestu, mantan Menteri Perdagangan dan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia serta pakar ekonomi dan perubahan iklim dari London School of Economics and Political Science (LSE).

Boediono mengatakan, pada level Internasional, komitmen perubahan iklim seperti adu balap lari, siapa yang lebih dahulu. ”Di Indonesia, harusnya tidak hanya semata-mata hanya menyelamatkan dunia. Melalui LCDI ini, menjaga rumah kita dan menyediakan rumah yang baik bagi generasi mendatang. Jangan sampai mereka terpasung dalam investasi jangka panjang.”

Komitmen inipun, katanya, perlu terorganisir tak hanya oleh kepala negara, juga anggota legislatif di Senayan. Intinya, demi menyelamatkan Indonesia dan generasi mendatang.

Mari Elka Pangestu mengatakan, bencana alam, kerusakan alam dan perubahan iklim jadi malapetaka tak hanya dunia, namun Indonesia sendiri. ”Yang paling merasakan, masyarakat miskin.”

Bambang mengatakan, dampak pembangunan mengabaikan daya tampung dan daya dukung lingkungan akan menyebabkan bencana, terutama, bencana hidrometrologi dengan penyebab terbesar manusia.

Inisiatif ini melibatkan mitra pembangunan, institusi riset baik di tingkat nasional maupun internasional dan kementerian/ lembaga terkait antara lain, Pemerintah Norwegia, Denmark, UKAid, USAID, ICRAF, dan The Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ)– masyarakat Jerman untuk kerjasama internasional.

 

PLTU Celukan Bawang, Buleleng, Bali, sebenarnya tidak termasuk dalam RUPTL 2018-2027. Bali sendiri saat ini sudah kelebihan pasokan listrik. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Perumusan visi misi presiden terpilih

Implementasi pembangunan rendah karbon ini sendiri pun ‘nasibnya’ tergantung pada presiden terpilih. ”PRK ini akan jadi arus utama dalam perencanaan limatahun ke depan atau RPJMN 2020-2024 yang kerangka teknokratik yang sedang kami finalisasi,” kata Bambang.

Dia berharap, PRK jadi bagian dari RPJMN 2020-2024 tertuang dalam peraturan presiden. Bappenas pun sudah paparan, sebelum masa kampanye di Komisi Pemilihan Umum soal RPJMN ini. ”Kita tekankan siapapun yang menjalankan pemerintahan harus memperhatikan pembangunan rendah karbon. Kita sudah sampaikan ke KPU dan timses,” katanya.

Meskipun begitu, katanya, jadi tantangan bagaimana mengarusutamakan paradigma dan dokumen pembangunan rendah karbon ini.

Kajian ini, katanya, merupakan inisiatif PRK fase pertama, yakni, RPJMN 2020-2024. Fase selanjutnya, tahapan PRK untuk rancangan pembangunan hingga mencapai 2045, disebut Visi Indonesia 2045.

 

Lima kebijakan utama

Ada lima kebijakan utama dalam pembangunan rendah karbon, yakni, terkait energi terbarukan, perlindungan hutan dan restorasi gambut, pengelolaan sampah industri dan sampah rumah tangga, peningkatan produktivitas pertanian, serta perbaikan kelembagaan maupun tata kelola.

Soal energi terbarukan, katanya, masih memerlukan political will tinggi, pasalnya persentase pembangunan pembangkit listrik energi fosil lebih tinggi.

”Nampaknya (kebijakan energi terbarukan) belum jadi urgensi sementara bagi pelaku dan yang berwenang,” kata Bambang.

Dia mengatakan, perlu mempelajari skema terbaik dari energi terbarukan dan regulasi lain. Dengan begitu, implementasi pembangunan rendah karbon bisa segera selaras antar regulasi.

Kajian dokumen PRK ini, menjelaskan bagaimana seandainya Indonesia mengadopsi model pembangunan rendah karbon, yang akan memberikan dampak langsung dalam jangka panjang.

Sampai 2024, Indonesia akan mendapatkan pertumbuhan ekonomi sampai 5,6% dan akan tumbuh menjadi 6% hingga 2045. PRK juga dinilai bisa menciptakan serangkaian manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Lewat skenario ini, katanya, pada 2045, kemiskinan ekstrim dapat turun dari 9,8% dari total populasi pada 2018 jadi 4,2%. Lebih dari 15,3 juta pekerjaan tambahan lebih hijau tercipta dengan pendapatan lebih baik. Kualitas udara dan air yang membaik juga bisa mencegah 40.000 kematian setiap tahun.

PRK juga mencegah kehilangan 16 juta hektar hutan dan menutup kesenjangan kesempatan dari sisi gender dan wilayah. Ddengan PRK diperkirakan nilai tambah PDB mencapai US$US5,4 triliun, dan investasi lebih rendah dibandingkan bisnis cara biasa.

”Dengan model ekonomi cara biasa seperti saat ini, dari perhitungan pemodelan kami, pertumbuhan ekonomi akan berkurang dari 4,3%. “Harus ada langkah tanpa melewati batas daya dukung dan daya tampung lingkungan,” kata Arifin Rudiyanto, Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Bappenas.

 

Jaga mangrove, jaga pelepasan emisi. Penelusuran hutan mangrove Register 15 yang dikelola kelompok masyarakat Desa Purworejo. Foto: Eni Muslihah/Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan kajian PRK, terdapat empat skenario. Pertama, tak ada perubahan kebijakan tetapi memperhitungkan degradasi lingkungan. Kedua, PRK menegah termasuk di dalamnya kebijakan rendah karbon baru 2020-2045 dan mencapai nationally determined contribution (NDC) dengan kekuatan sendiri.

Pada skenario ini, katanya, perlu tambahan investasi US$14,8 miliar pada 2020-2024 dan US$40,9 miliar per tahun pada 2025-2045.

Ketiga, PRK tinggi dengan ambisi lebih tinggi dan pencapaian penurunan emisi karbon dengan bantuan negara luar, turun 41% dibandingkan kondisi tanpa intervensi . Terakhir, PRK tinggi, di antara lain perlu kebijakan pajak karbon.

Menurut Arifin, pada tingkat tapak, langkah awal Bappenas akan nota kesepahamaan koordinasi teknis dan modellng dalam skala nasional dan provinsi lebih detail.

Bappenas mengajak pemerintah provinsi mengintegrasikan kebijakan dengan rencana pemerintah pusat. Pada tahap awal, Bappenas fokus pada provinsi yang menyatakan keinginan. ”Biasa, kaluu provinsi sudah ada niat baik, akan lebih mudah dibandingkan kalau dengan perintah.”

Adapun yang sudah tandatangani nota kesepahaman, katanya, ada Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan. Papua Barat, Sumatera Selatan dan Bali, menyusul.

Even Sembiring, Manajer Kajian Kebijakan Walhi mengapresiasi PRK ini. ”Kita tak bisa melihat perencanaan itu cuma dari apa yang mereka paparkan, kita harus lihat apa yang sudah dilakukan pemerintah,” katanya.

Dalam bidang energi, pembangunan seperti apa untuk memenuhi target penurunan emisi. Apalagi, proyek 35.000 MW, sekitar 60% masih energi batubara. Sedangkan, efisiensi energi baru 1% dan bauran energi terbarukan 8%.

Pemerintah, katanya, tak konsisten dalam menjalankan kebijakan, misal, perizinan perhutanan dan perkebunan. “Pemerintah seharusnya tegas evaluasi perizinan baik kehutanan, perkebunan maupun proyek energi saat ini. Pemerintah harus cermat, jangan cuma janji-janji dan perencanaan.”

 

 Keterangan foto utama:    Bisnis tak berkelanjutan bisa menyebabkan kebakaran hutan dan lahan, yang menyebabkan pelepasan emisi karbon.  Foto: Suryanto/Juara 2 Pers DETaK 2018

 

Masyarakat adat, salah satu penjaga hutan terdepan. Hutan adat Marena, nan lebat tertutup kabut yang masuk Taman Nasional Lore Lindu. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version