Mongabay.co.id

Raungan dan Gugatan Orangutan di Bali

 

Sosok kepala raksasa individu Orangutan terpasang di tembok. Dirangkai dari ruas bambu, menyisakan lekukan mata, hidung, mulut, dan telinga yang teduh, seolah sedang meditasi. Ironisnya dalam diam, sosok ini sedang berteriak minta tolong. Ada tulisan bercat merah “HELP!”

Ini adalah salah satu karya dari I Wayan Sudana Putra, seniman yang mengeksplorasi material alam untuk instalasi seni di Art for Orangutan (AFO) Bali pada 21- 28 April 2019. Sebanyak 29 judul karya dari 29 seniman, 4 di antaranya seniman dari Bali ini dibagi di dua tempat dan dipamerkan dalam waktu bersamaan, yaitu Kulidan Kitchen Space dan Rumah Sanur Creative Hub.

AFO merupakan program kolaborasi antara Centre for Orangutan Protection (COP) dan Komunitas Seni Giginyala (GILA) dan untuk kali pertama dihelat di luar Jogjakarta. Pameran yang merespon kehidupan Orangutan ini juga menampilkan beberapa karya seni dari AFO 3 pada 14-17 Pebruari 2019 lalu di Jogja National Museum.

baca : Mengenal Orangutan Lewat Karya Seni

 

Seni instalasi dari seniman Bali yang terlibat dalam Art for Orangutan ke-4. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia.

 

Di sudut lain ada kisah Kra dan Nila tentang pemberontakannya melawan majikan yang menyiksa. Karya duet Tiburtinusarga x Shadow Box Lighting dengan judul karya “Senja Kra-Nila” ini segera menarik mata karena mewujud dalam kotak-kotak bercahaya. Bahkan Kra dan Nila dibentuk dari potongan kertas, sebuah seni paper-cut yang atraktif.

Alkisah Kra berlari sekencang-kencangnya setelah menyadari bahwa Karman mabuk berat dan sudah tertidur lelap tanpa memperhatikan pintu kandang Kra yang belum tertutup rapat. Lehernya masih sakit gara-gara rantai berkarat yang mengikatnya terlalu erat. Punggungnya masih memar, tampaknya Karman terlalu sering menghajarnya menggunakan batang bambu kecil diiringi makian yang keluar dari mulut kotor berbau ciu itu.

Kra melompat naik ke atas pohon rambutan, terbang ke ranting selanjutnya, terjun turun ke pinggir sungai, meminumnya, “Ah, kenapa aku baru ingat ternyata air sungai ini rasanya segar sekali,” kata Kra yang sudah terbiasa minum air keran pemberian Karman.

Kra melihat ke atas, dilihatnya langit yang warnanya sudah berubah hampir menyerupai warna jeruk manis seperti yang terakhir diberikan oleh Nila sebelum akhirnya Karman berhasil menangkapnya. Sebelum burung-burung mulai keluar dari sarang untuk berburu makanan, Kra kembali sadar kini hidupnya telah bebas, larinya tidak lagi terbatas, lehernya sudah lega bernapas. Tanpa ragu-ragu dia kembali melompat memanjat pohon, dan terbang ke ranting-ranting yang lebih jauh. Dia tahu ke arah mana dia berlari, satu bukit lagi dan dia akan bertemu Nila kembali.

Saat senja datang, Kra yang sudah terengah-engah langsung terlihat sumringah. Nila ternyata setia, tetap menunggunya di atas batu besar tempat kesukaan mereka saat memandangi indahnya senja. Nila merasa tak percaya dengan apa yang dilihatnya, kekasihnya ini kembali dan masih mengingatnya. Bisa jadi kali ini mereka berdua adalah makhluk yang paling bahagia menyambut senja, setelah 4 tahun mereka menangisinya.

Demikian tulis Eska Haris menarasikan Senja Kra-Nila, duo macaca dan Orangutan. Kisah ini dibubuhi tambahan, jika Macaca fascicularis adalah species yang adaptatif dan bisa mengikuti perkembangan peradaban manusia. Sayangnya kemampuan ini tidak dimiliki oleh saudaranya Pongo abelii di Sumatra, dan Pongo pygmaeus di Kalimantan. Mereka bahkan tidak bisa berbuat apa-apa saat rumahnya dirusak dan ditanami dengan pohon yang disebut kelapa sawit oleh manusia.

baca juga : Keji! Ditembaki Senapan Angin, 74 Peluru Bersarang di Induk Orangutan ini, Bayinya Mati Kekurangan Gizi

 

Kisah Senja Kra-Nila yang memberontak dan membebaskan diri. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Dari Bali ada Ni Nengah Mega Risna Dewi, panggilannya Megaris dengan Judul karya “Tri Hita Karana”. Seorang perempuan menggendong dan memeluk individu anak Orangutan. Inilah yang menurutnya bagian dari tiga penyebab kebahagiaan di semesta. Ketika manusia dan alam saling selaras.

Ragam eksplorasi seniman ini memberi semangat sekaligus refleksi, masa depan apa yang ingin kita hadirkan bagi anak cucu karena manusia, alam, dan Orangutan saling terkoneksi. Punah atau hancur salah satunya, berdampak pada yang lain. Pada jumlah dan kualitas oksigen yang dihirup, air bersih, dan keragaman hayatinya.

Anam Ahmed membuat sebuah pulau tanpa Orangutan, “No Orangutan is an Island”. Bayu Widodo merespon alih fungsi lahan hijau dengan bangkitnya kekuatan alam melalui belitan akar menjadi tangan raksasa yang siap meremukkan beton-beton bertingkat, lewat karya bertajuk “More Park Less Hotel”.

Gede Robi, vokalis band Navicula dan Meganur, pengamat seni dari Yogyakarta memberi catatan pengantar untuk pameran AFO Bali ini. Robi mengingatkan merusak hutan ibarat memecah celengan porselen antik. Menghancurkannya demi beberapa keping receh. Celengan tak bisa dipakai lagi, sementara receh yang didapatkan tak sepadan dengan harga celelengan itu.

“Apabila laju deforestasi secepat 15 tahun ini terakhir ini, saya yakin putri saya Rimba tak tahu wujud asli dari arti namanya nanti,” Robi berefleksi.

perlu dibaca : Pemerintah Perlu Segera Susun Rencana Aksi Konservasi Orangutan Tapanuli

 

Tiga karya tentang orangutan yang dipamerkan di Kulidan Kitchen, Guwang, Gianyar. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia.

 

Ramadhani, staf COP di Jogja menyebut, dalam AFO yang ke-4 di Bali ini terjadi proses pembelajaran dan penyadaran yang digemakan seniman. Awalnya karya seni terlihat brutal atau galak karena menghadirkan ingatan soal peristiwa memilukan pada Orangutan. Menghadirkan trauma seperti pemenggalan kepala, penembakan, dan lainnya.

AFO berikutnya berproses ke topik menolak punah dan a good life for Orangutan. Menghubungkan pelestarian lingkungan dengan keberadaan Orangutan. Isu-isu pembabatan habitat yang dilakukan oleh perusahaan kelapa sawit terus muncul dalam AFO.

Dari perhelatan di Bali, selain pameran juga diskusi buku dari penulis muda Alfa Gasani. Buku novel fiksi pertamanya berjudul “Satyabhumi” menceritakan 12 negeri, dan Orangutan merupakan salah satu penghuninya. Selain itu ada diskusi tentang “animal, art, and activism” dan kuliah umum di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana. Ramadhani membagi pengalaman rehabilitasi dan penyelamatan Orangutan.

Centre for Orangutan Protection (COP) merupakan sebuah lembaga non-profit yang bergerak dalam konservasi orangutan dan habitatnya sejak awal 2007. COP menjalankan beberapa tim kecil di Kalimantan untuk penyelamatan orangutan seperti rescue, rehab dan release. COP juga melakukan investigasi pembabatan habitat orangutan, dan pada akhir 2011 mendapat penghargaan setingkat Asia dari konferensi Asia for Animals (AFA) di Cina sebagai organisasi anak muda terdepan dalam penyelamatan satwa liar. Pada Oktober 2018 mendapat penghargaan sebagai organisasi lingkungan terbaik 2018 dari Kementerian Dalam Negeri Indonesia.

Sementara Giginyala adalah komunitas berbasis di Yogyakarta, terbentuk pada 2012. Pada mulanya Giginyala memberikan wadah untuk para perupa muda dengan mengadakan program pameran seni rupa kolektif.

baca juga : Sophia Latjuba Ingin Lagi, Sherina Penasaran Ikut Pelepasliaran Orangutan

 

Salah satu artwork dan suvenir dari komunitas Giginyala, kolektif seniman Jogja yang membuat Art for Orangutan bersama COP. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Penyelundupan Orangutan

Menindaklanjuti kasus penyelundupan anak Orangutan oleh warga Rusia yang ditangkap petugas keamanan bandara internasional Ngurah Rai pada Jumat (22/3/2019), Ramadhani berharap segera dilepasliarkan ke habitatnya.

Orangutan ini diberi obat tidur selama dalam keranjangnya, lalu dimasukkan dalam koper sebelum dipindai X-Ray. Menurut Ramadhani, proses pengadilan tetap bisa berjalan setelah ada surat dari saksi ahli kedokteran bahwa yang diselundupan memang benar Orangutan. Barang bukti lainnya bisa dengan sampel rambut dan foto.

Ia menyebut COP sudah mengirim surat ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan menyatakan kesiapan membantu pengembalian ke habitatnya di Sumatera atau Kalimantan. Untuk membedakan jenisnya, menurutnya mudah dari fisik seperti Orangutan Sumatera bulunya lebih merah.

Hal-hal yang kerap menghambat, berdasar pengalamannya adalah biaya transportasi udara dan darat. Karena itu COP ingin terlibat membantu pengembalian ke rumah Orangutan muda itu. “Respon surat itu belum ada,” ujar Ramadhani.

Terkait indikasi eksploitasi Orangutan, yang sudah terlihat seperti menjual paket makan bersama atau menjadikannya model. “Dari sisi animal welfare mungkin memenuhi, namun ini tak sesuai perilaku alaminya,” jelas Ramadhani. Ia setuju ada kode etik perilaku mengamati atau memelihara Orangutan di lembaga konservasi seperti kebun binatang.

Barang bukti seekor orangutan yang akan lewat bandara Ngurah Rai, Bali pada Jumat (22/3/2019). Foto : BKSDA Bali/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version