Mongabay.co.id

Rumpon Milik Nelayan Asing Masih Banyak di Perairan Indonesia

 

 

Rumpon tak berizin yang dipasang di perairan laut Indonesia, ditertibkan Pemerintah dalam sebulan terakhir di wilayah perairan Laut Sulawesi yang berbatasan langsung dengan Filipina. Dalam dua kali operasi yang dilaksanakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), sebanyak 20 rumpon (fish aggregating device/FAD) ditertibkan pada 10 April dan 9 rumpon pada 13-14 Maret 2019.

Seluruh rumpon yang berhasil ditertibkan itu, diduga kuat dipasang dan dimiliki oleh warga negara Filipina yang biasa menangkap ikan di wilayah perairan laut perbatasan negara. Adapun, operasi penertiban rumpon tersebut dikendalikan langsung oleh Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) dengan melibatkan kapal pengawas perikanan (KP).

Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan mengatakan, langkah yang dilakukan oleh KKP merupakan langkah yang tepat. Mengingat, keberadaan rumpon ilegal memang dinilai sudah mengganggu ekologi ikan di laut. Gangguan itu muncul, karena rumpon menghalangi jalan masuk ikan ke wilayah laut yang bisa diakses oleh nelayan tradisional.

baca : Benarkah Keberadaan Rumpon Ganggu Ekologi Kelautan di Indonesia?

 

Pemerintah Indonesia menertibkan rumpon tak berizin di perairan ZEEI Laut Sulawesi perbatasan Filipina pada April 2019. Selama operasi, sudah 29 rumpon yang ditertibkan, dan semuanya diduga milik WN Filipina. Foto : PSDKP KKP/Mongabay Indonesia

 

Untuk itu, Abdi Suhufan mendorong KKP untuk bisa konsisten dalam melaksanakan operasi penertiban rumpon yang ilegal di seluruh wilayah perairan laut Indonesia. Selain di wilayah perbatasan antar negara, dia menyebut kalau rumpon ilegal juga bisa ditemukan di wilayah perairan lain dan itu dinilai juga mengganggu alur pelayaran kapal-kapal pedagangan ataupun perikanan.

“Apalagi, dari segi pendapatan negara, keberadaan rumpon tersebut tidak juga menambah kas negara. Untuk itu, patroli perbatasan perlu diintensifkan untuk menertibkan semua rumpon yang ilegal. Walau sebenarnya, bukan rumpon milik nelayan asing saja yang banyak, milik nelayan dalam negeri juga jumlahnya mencapai lebih dari 100 ribu rumpon,” jelasnya kepada Mongabay, Kamis (25/4/2019).

Sementara, Direktur Eksekutif Pusat Studi Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim menentang pernyataan yang dikeluarkan KKP. Menurut dia, tidak semua rumpon yang ada di perairan Indonesia bisa merusak ekologi laut. Hal itu, tergantung dengan lokasi perairan yang menjadi tempat dipasang rumpon. Untuk kasus di ZEEI perbatasan dengan Filipina, bisa dipastikan bahwa tidak semua rumpon berbahaya.

“Pemasangan rumpon tidak mengganggu sepanjang ditata dan dikelola dengan baik dan berkelanjutan. Umumnya, nelayan tradisional yang memiliki dan mengoperasikannya. Artinya, dari kesan penggunaan alat bantu penangkapan ikan yang merusak,” jelas dia saat dikonfirmasi, Kamis.

baca juga : Ganggu Ekologi Laut, Rumpon Ikan di Seluruh Indonesia Akan Dimusnahkan

 

Salah satu rumpon yang diamankan oleh KKP di perairan ZEEI Laut Sulawesi perbatasan Filipina pada April 2019. Selama operasi, sudah 29 rumpon yang ditertibkan, dan semuanya diduga milik WN Filipina. Foto : PSDKP KKP/Mongabay Indonesia

 

Sumber Daya Ikan

Untuk kawasan ZEEI di Sulawesi Utara, menurut Halim, sejauh ini masih rendah pemanfaatan sumber daya ikan di sekitar Laut Sulu. Oleh itu, pemasangan rumpon akan selalu menjadi opsi mata pencaharian yang dilakukan masyarakat setempat di Talaut dan sekitarnya. Opsi tersebut akan menjadi prioritas, jika musim ombak atau cuaca ekstrem sedang melanda kawasan perairan di sekitar tempat tinggal mereka.

Di luar kondisi cuaca dan pemanfaatan SDI, Halim menyebutkan, maraknya pemasangan rumpon yang dilakukan WN Filipina, disinyalir juga dilakukan oleh WN Indonesia. Hal itu, karena di kawasan pulau-pulau di sekitar Sulawesi Utara, khususnya sekitar ZEEI, sudah menjadi umum banyak warga lokal yang menikah dengan WN Filipina dan kemudian beranak pinak.

“Jadi, praktik kawin-mawin antara WNI dan WNA Filipina di perbatasan Indonesia (Kabupaten Kepulauan Talaud di Sulawesi Utara) dan Filipina (Provinsi General Santos atau Davao) sudah biasa terjadi,” tuturnya.

Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal PSDKP KKP Agus Suherman menjelaskan, penertiban rumpon yang menjadi alat bantu penangkapan ikan, menjadi bagian operasi rutin yang dilakukan kapal pengawasan perikanan. Saat penertiban dilakukan, rumpon-rumpon tersebut ditemukan sekitar 1 mil laut masuk ke wilayah perairan zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI) dan tidak berizin dari Pemerintah Indonesia.

“Diduga kuat itu semua milik nelayan Filipina,” ujar dia, pekan lalu.

 

Beberapa rumpon yang diamankan oleh KKP di perairan ZEEI Laut Sulawesi perbatasan Filipina pada April 2019. Selama operasi, sudah 29 rumpon yang ditertibkan, dan semuanya diduga milik WN Filipina. Foto : PSDKP KKP/Mongabay Indonesia

 

Agus mengungkapkan, rumpon-rumpon tersebut dinyatakan ilegal, karena memang pemasangannya dilakukan tanpa mendapatkan izin dari Pemerintah Indonesia dan juga rumpon tersebut diduga kuat dimiliki oleh warga negara asing (WNA). Seluruh rumpon yang ditertibkan, oleh kapal pengawas perikanan seperti KP Orca 04 dan KP Hiu 15 kemudian dibawa ke Pangkalan PSDKP Bitung, Sulawesi Utara.

Tentang operasi penertiban tersebut, Agus menerangkan bahwa itu adalah hasil dari integrasi pengawasan dengan operasi udara (air surveillance). Di mana, data-data yang dihasilkan oleh operasi udara, berikutnya dijadikan sumber informasi bagi kapal pengawas perikanan untuk melakukan operasi penertiban.

“Sejak Januari hingga April 2019, sudah 29 rumpon yang berhasil ditertibkan. Itu semua adalah rumpon yang diduga kuat milik warga negara Filipina,” tegasny.

Menurut Agus, penertiban rumpon ilegal, harus dilakukan karena melanggaran Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.26/Permen-KP/2014 tentang Rumpon. Dalam peraturan tersebut, setiap orang yang melakukan pemasangan rumpon di wilayah pengelolaan perikanan (WPP-RI), wajib memiliki surat izin pemasangan rumpon (SIPR).

Sebagai informasi, rumpon merupakan alat bantu penangkapan ikan yang dipasang di laut dan berguna untuk membuat ikan-ikan berkumpul di sekitar rumpon sehingga mudah ditangkap oleh kapal penangkap ikan.

Pemasangan rumpon oleh oknum warga Filipina di perairan Indonesia disinyalir dilakukan untuk meningkatkan hasil tangkapan mereka. Hal ini tentu akan sangat merugikan nelayan Indonesia karena ikan-ikan akan berkumpul di area rumpon dan tidak masuk ke perairan Indonesia.

baca juga : Tangkapan Ikan Nelayan Flores Timur Terus Menurun, Apa Penyebabnya?

 

Salah satu rumpon yang diamankan oleh KKP di perairan ZEEI Laut Sulawesi perbatasan Filipina pada April 2019. Selama operasi, sudah 29 rumpon yang ditertibkan, dan semuanya diduga milik WN Filipina. Foto : PSDKP KKP/Mongabay Indonesia

 

Rumah Ikan

Dilansir berbagai sumber literasi, rumpon adalah jenis alat bantu penangkapan ikan yang biasanya dipasang di bawah laut, baik perairan dangkal maupun dalam. Tujuan pemasangan rumpon, adalah untuk menarik sekumpulan ikan yang ada dan berdiam di sekitar rumpon. Setelah terkumpul, ikan-ikan tersebut biasanya akan ditangkap.

Rumpon yang dikenal dewasa ini, tidak lain adalah karang buatan yang sengaja dibuat oleh nelayan atau pengusaha perikanan. Agar ikan bisa datang lebih banyak, biasanya rumpon juga terdiri dari berbagai jenis barang lain seperti ban, dahan dan ranting pohon.

Agar barang-barang tersebut bisa tetap berada di bawah air, biasanya akan disertai dengan alat pemberat berupa beton, bebatuan, dan alat pemberat lain. Supaya posisi rumpon bisa aman di tempat semula, biasanya alat pemberat akan ditambah lagi jika memang diperlukan.

Meski rumpon adalah karang buatan yang berfungsi sebagai rumah ikan yang baru, namun pembuatannya biasanya dilakukan sealami mungkin mendekati rupa asli dari karang alami. Rumpon yang sudah ditanam tersebut, kemudian akan diberi tanda oleh pemiliknya, sehingga memudahkan mengidentifikasi jika sedang berada di atasnya.

Pada medio 2016 di Institut Pertanian Bogor (IPB), Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti memberikan kuliah umum dan di dalamnya dijelaskan tentang larangan rumpon di perairan Indonesia. Tetapi, pernyataan tersebut mendapat penolakan argumen dari pengajar Fakultas Ilmu Perikanan dan Kelautan IPB, Roza Yusiandayani.

Menurut Roza, kebijakan pelarangan rumpon di tengah laut yang diterapkan KKP harusnya bisa dipertimbangkan kembali. Hal itu, karena penanaman rumpon banyak memberi manfaat ekonomi bagi nelayan tradisional.

“Saya sudah 25 tahun melakukan penelitian, selain itu saya juga baca di berbagai jurnal ilmiah. Jadi, saya tidak sepakat jika rumpon harus dimusnahkan,” ujarnya.

 

Rumpon yang diamankan oleh KKP di perairan ZEEI Laut Sulawesi perbatasan Filipina pada April 2019. Selama operasi, sudah 29 rumpon yang ditertibkan, dan semuanya diduga milik WN Filipina. Foto : PSDKP KKP/Mongabay Indonesia

 

Seusai diskusi, Roza menjelaskan, rumpon yang ada saat ini sudah meningkatkan pendapatan tangkapan ikan bagi nelayan. Tak tanggung-tanggung, dia menyebut peningkatannya bisa mencapai 40 persen lebih. Jika dirupiahkan, per kapal bisa mendapatkan penghasilan rerata Rp10-60 juta dan itu bisa membantu perekonomian nelayan.

Berkaitan dengan pernyataan Susi yang menyebut rumpon itu dilarang, Roza memaparkan fakta bahwa rumpon sudah diatur dalam SK Mentan nomor 51/KPTS/Ik.250/1/97. Dalam SK tersebut, rumpon diakui sebagai alat bantu penangkapan ikan yang dipasang di dasar laut.

 

Exit mobile version