Mongabay.co.id

Jangan Harap, Perusahaan Tambang Emas Masuk Beutong

 

 

“Piyoh [singgah],” teriak seorang perempuan kepada Mongabay Indonesia bersama tim Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh [HAkA], untuk singgah ke warungnya. Letaknya, di pintu masuk permukiman penduduk di Kecamatan Beutong Ateuh Banggalang, Kabupaten Nagan Raya, Aceh.

Warung Dek Na, nama wanita ini, posisinya lebih tinggi dari perkampungan penduduk, sehingga bisa melihat langsung jalan yang menghubungkan Kabupaten Nagan Raya dengan Kabupaten Aceh Tengah. Hamparan sawah dan rumah-rumah masyarakat juga tampak jelas di kecamatan hasil pemekaran Kecamatan Beutong pada 2011 ini.

Hutan Beutong adalah satu-satunya penghubung Kawasan Ekosistem Leuser [KEL] yang terletak di selatan, timur, tengah dan tenggara Provinsi Aceh dengan kawasan hutan Ulu Masen yang berada di beberapa kabupaten: Pidie, Aceh Besar, Aceh Jaya, dan Aceh Barat.

Masyarakat Beutong Ateuh Banggalang yang tersebar di empat desa, umumnya menggantungkan hidup dari pertanian, perkebunan, dan sebagai pencari ikan sungai. “Kami hidup alami. Hutan adalah segalanya, kalau rusak, kami akan menderita,” ujar Dek Na, Rabu [24/4/2019].

Baca: Janji Plt Gubernur Aceh pada Masyarakat: Akan Gugat Izin Tambang PT. EMM

 

Hutan Beutong, Nagan Raya, Aceh, yang alami. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Dia mengatakan, Beutong Ateuh Banggalang merupakan daerah subur dengan air berlimpah. Sayuran yang ditanam di kebun dekat rumah, tumbuh subur tanpa harus bersentuhan dengan zat kimia.

“Kami tidak pernah kebanjiran, tidak pernah juga kekeringan. Kami hidup berkecukupan karena alam memberi yang terbaik,” ujarnya.

Namun, sejak mengetahui ada PT. Emas Mineral Murni [PT.EMM] yang bakal beroperasi di hutan Kecamatan Beutong Ateuh Banggalang hingga sebagian daerah di Kabupaten Aceh Tengah untuk mengeruk emas, Dek Na khawatir. “Kami masyarakat Beutong tidak terima, kami tidak tahu apa-apa. Kami selalu menolak perusahaan yang datang,” ujarnya.

Baca juga: KLHK: PT. EMM, Perusahaan Tambang Emas di Beutong, Tidak Memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan

 

Hutan merupakan urat nadi kehidupan masyarakat Beutong Ateuh Banggalang, Kabupaten Nagan Raya, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Teungku Malikun, tokoh pemuda Kecamatan Beutong Ateuh Banggalang, mengungkapkan hal senada. “Ketika hutan rusak dan sungai tercemar zat kimia, yang menderita bukan pemilik perusahaan dan pejabat pemberi izin. Kami yang merasakan langsung,” sebutnya.

Teungku Malikun yang merupakan anak almarhum ulama Aceh, Teungku Bantaqiah yang wafat saat konflik bersenjata di Aceh, mengaku akan terus menolak hadirnya perusahaan tambang emas. “Kami tidak akan sejahtera karena pertambangan emas. Kami ingin kampung kami tetap alami.”

Zakaria, masyarakat Beutong Ateuh Banggalang yang juga Ketua Generasi Beutong Ateuh Banggalang [GBAB], mengaku bingung dengan kebijakan pemerintah pemerintah daerah maupun pusat yang tidak memperhatikan kehidupan masyarakat. Lebih mendukung pengusaha ketimbang rakyat.

“Hutan Leuser itu paru-paru dunia sekaligus kawasan strategis nasional [KSN] yang harus dilindungi. “Untuk apa program sadar wisata dan lainnya diadakan di Beutong Ateuh Banggalang, kalau ujung-ujungnya dihancurkan oleh tambang emas,” ujarnya.

Zakaria mengatakan, masyarakat Beutong Ateuh Banggalang telah meminta PT. EMM keluar dari wilayah mereka. “Izin mereka di Kecamatan Beutong, tapi mendirikan camp dan bangunan serta melakukan pengeboran di Kecamatan Beutong Ateuh Banggalang. Itu tidak sesuai, makanya kami usir,” ujarnya.

 

Alam memberikan kehidupan alami bagi masyarakat. Merusak hutan sama saja menghancurkan kehidupan masyarakat. Foto: Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Cabut rekomendasi

Plt. Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, pada 22 April 2019 menuturkan Pemerintah Aceh secara resmi telah mencabut rekomendasi Izin Usaha Pertambangan [IUP] PT. EMM di Kabupaten Aceh Tengah dan Nagan Raya, Provinsi Aceh.

“Pencabutan izin perusahaan tambang itu bedasarkan rekomendasi Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Nomor: 545/12161 yang dikeluarkan 8 Juni 2006, terkait Izin usaha pertambangan PT. EMM di Kabupaten Aceh Tengah dan Nagan Raya. Pencabutan rekomendasi itu disampaikan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral [ESDM] melalui surat Nomor: 545/6320 tertanggal 18 April 2019,” jelas Nova saat menggelar konferensi pers di Bappeda Aceh.

Pemerintah Aceh juga telah bersurat ke Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia [BKPM-RI] untuk meminta lembaga tersebut meninjau kembali keputusan Kepala BKPM RI Nomor 66/1/IUP/PMA/2017, tanggal 19 Desember 2017, terkait pemberian IUP ke PT. EMM.

Saat ini, pertambangan belum menjadi prioritas pembangunan Pemerintah Aceh dan tidak sesuai dengan visi-misi pemerintahan Irwandi-Nova, yaitu Aceh Green.

“Terkait eksploitasi pertambangan sumber daya mineral, khususnya pertambangan emas, Pemerintah Aceh memiliki pandangan yang sama dengan seluruh komponen masyarakat Aceh, menyelamatkan dan memelihara lingkungan hidup. Pemerintah Aceh tengah fokus membangkitkan usaha mikro, kecil, dan menengah. Sektor ini, mampu membuka lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan rakyat Aceh,” ungkap Nova.

Terkait IUP yang diterbitkan masa lalu, Pemerintah Aceh menghormati proses hukum yang berlangsung dan mendukung langkah-langkah lebih lanjut sesuai peraturan yang berlaku.

Plt. Gubernur Aceh juga mengatakan, telah bertemu Menteri ESDM, Ignatius Jonan untuk menyampaikan usulan pembatalan IUP PT. EMM.

“Menteri ESDM mendukung upaya pembatalan izin tersebut. Pemerintah Aceh sesungguhnya menyesalkan terbitnya izin tersebut karena tidak sesuai dengan aturan kekhususan Aceh sebagaimana ditegaskan Pasal 156 Undang-undang Pemerintah Aceh [UUPA],” terang Nova.

 

Sungai jernih bebas polusi terjaga baik di wilayah Beutong. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Aceh mengatakan, langkah Plt. Gubernur Aceh mencabut rekomendasi merupakan hal tepat dan telah lama ditunggu masyarakat.

“Ini yang ditunggu. Meski secara fisik PT. EMM sudah angkat kaki dari Beutong Ateuh Banggalang, tetapi legitimasi izinnyanya masih “hidup” sehingga masih ada peluang melanjutkam rencananya itu,” sebut Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nur.

Muhammad Nur mengatakan, Walhi bersama masyarakat akan terus menempuh jalur hukum agar izin PT. EMM dicabut. Surat pembatalan rekomendasi izin PT. EMM yang diterbitkan Plt Gubernur Aceh sebagai bukti tambahan.

“Upaya hukum yang dapat dilakukan Pemerintah Aceh adalah melakukan sengketa kewenangan antara Pemerintah Aceh dengan pemerintah Pusat terkait kewenangan pengelolaan sumber daya alam. Harus diingat, tidak ada pertambangan yang dapat memakmurkan rakyat. Tidak ada pula tambang yang tidak merusak lingkungan, terlebih lagi pemiliknya orang asing,” tegasnya.

 

Hutan Beutong yang alami ini akan hancur bila perusahaan tambang emas masuk. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Sebagai informasi, pemerintah melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal [BKPM] telah mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi melalui Surat Keterangan Nomor: 66/1/IUP/PMA/2017 pada 19 Desember 2017 untuk PT. Emas Mineral Murni [EMM]. Lahan yang digarap mencapai 10 ribu hektar, sekitar 6.000 hektar berada di hutan lindung, termasuk Kawasan Ekosistem Leuser yang merupakan Kawasan Strategis Nasional.

Perusahaan penanaman modal asing [PMA] ini akan menambang emas di Kecamatan Beutong Ateuh Banggalang, Kabupaten Nagan Raya, dan Kecamatan Pegasing, Kabupaten Aceh Tengah.

 

 

Exit mobile version