Mongabay.co.id

ForBALI Menyentil Rencana Reklamasi Bandara Ngurah Rai. Apa yang Terjadi?

Seorang peserta aksi melihat replika gembok besar yang dipasang di gerbang DPRD Bali saat aksi ForBALI, pada Selasa (30/4/2019). Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Untuk kali pertama, aksi Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa (ForBALI) menyambangi kantor Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Bali pada longmarch di jam kerja, Selasa (30/4) lalu, di Denpasar, Bali. Peserta aksi menyuarakan penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KLHS RZWP3K) yang transparan dan tidak hanya mengakomodir pesanan proyek.

Ribuan peserta aksi memulai parade dari lokasi parkir timur Lapangan Perjuangan Rakyat Bali Bajra Sandhi menuju kantor DLH. Biasanya langsung menuju kantor DPRD Bali kemudian kantor Gubernur Bali sehingga mengelilingi jalan raya lapangan. Spanduk raksasa ForBALI kembali diusung oleh ribuan peserta aksi, termasuk peserta dengan kursi roda dan sepeda gayung.

baca : Empat Rencana Proyek Besar Mengancam Pesisir Bali Selatan

 

Sejumlah penyandang disabiliats mengikuti aksi longmarch ForBALI menolak reklamasi Teluk Benoa pada Selasa (30/4/2019) lalu, di Denpasar, Bali. Mereke setia ikut aksi selama hampir enam tahun ini. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Sampai di depan kantor BLH, orasi mengenai pentingnya KLHS RZWP3K disuarakan. I Made Juli Untung Pratama, Direktur WALHI Bali yang mengikuti rapat pembahasan KLHS menyampaikan bahwa saat rapat ada upaya memaksakan perluasan bandara seluas 83 hektar, ada yang termasuk kawasan konservasi. Ini diminta diakomodir dalam KLHS. “KLHS bukan disusun untuk mengakomodir proyek reklamasi Bandara Ngurah Rai jika merampas area konservasi,” katanya.

Ia menyatakan walk-out dari rapat pada 30 Oktober 2019 itu. “Kita di sana keberatan, harusnya KLHS dulu diselesaikan baru proyek tersebut menyesuaikan KLHS. Bukan sebaliknya,” sebut Juli yang akrab dipanggil Topan ini.

I Wayan Suardana, Koordinator Umum ForBALI dalam orasinya juga menyebut KLHS seharusnya menjadi acuan dalam penyusunan tata ruang dan pengalokasian ruang ketika membuat proyek-proyek di pesisir. Ia minta DLH tidak diintervensi oleh pihak mana pun dan meminta melibatkan desa adat dalam proses-proses penyusunan KLHS dan RZWP3K.

Usai orasi di depan kantor DLH, longmarch bergerak menuju kantor DPRD Bali. Pintu gerbang dikunci dan ForBALI menghadiahi benda menyerupai gembok besar sebagai simbol protes karena DPRD tidak pernah mau menerima massa aksi termasuk saat aksi pada hari kerja.

Hanya petugas keamanan yang berada di belakang pintu gerbang yang terkunci. Simbol gembok besar dengan tulisan ForBALI dibiarkan terpasang. Pada sejumlah media, ketua DPRD Bali dan Gubernur Bali yang berasal dari PDI Perjuangan menyatakan menolak reklamasi Teluk Benoa dan dibuktikan dengan pengiriman surat ke Presiden.

baca juga : Aktivis Khawatirkan Hilangnya Kawasan Konservasi Pesisir Bali

 

Untuk pertama kali, aksi ForBALI menolak reklamasi di depan kantor Dinas Lingkungan Hidup Bali, Selasa (30/4/2019) terkait penyusunan KLHS RZWP3K kawasan pesisir. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Parade warga berlanjut ke kantor Gubernur Bali. Ada sejumlah perwakilan massa yang berorasi menyatakan akan terus menyuarakan penolakan walau aksi sudah dilakukan hampir enam tahun ini di tempat yang sama.

Band rock asal Bali Scared Of Bums menyemangati aksi dengan sejumlah lagu, salah satunya berjudul Kepalkan Tangan Kiri yang diciptakan mendukung gerakan rakyat Bali menolak reklamasi Teluk Benoa. “Kepalkan tangan kiri, suarakan penuh arti. Melangkahlah dengan keteguhan hati. Angkat kepalan kiri, suarakan isi hati. Perlawanan ini tak akan pernah mati…”

Melalui siaran pers, Walhi Bali memaparkan kronologis sampai walk-out dari rapat pembahasan KLHS RZWP3K Propinsi Bali. Sesaat sebelum longmarch aksi tiba di depan kantor DLH, lokasi rapat.

Pertemuan tersebut merupakan pertemuan lanjutan untuk menindaklanjuti pembahasan hasil rekomendasi KLHS pada 11 April 2019 di DLH Propinsi Bali. Pada pertemuan itu WALHI Bali tidak diundang.

Pada pertemuan 30 April 2019, bertempat di DLH, rapat dipimpin Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Bali serta Kepala DLH propinsi Bali dan dihadiri oleh pihak Angkasa Pura I Bandar Udara Internasional Ngurah Rai, PPLH Universitas Udayana, perwakilan Conservation International, I Made Arca Eriawan selaku kelompok ahli pembangunan Propinsi Bali, dan beberapa staf dari dinas di lingkungan Pemprov Bali.

Agenda utama adalah pembahasan rekomendasi rencana reklamasi baru di Bandara Ngurah Rai Bali agar dimasukkan ke KLHS RZWP3K Bali. Reklamasi guna memperluas wilayah bandara seluas total 83,15 hektar, dan 13 hektar di antaranya ingin mereklamasi wilayah konservasi. Pihak angkasa pura I beralasan saat ini Bandara Ngurah Rai sudah mulai mengalami over capacity sehingga diperlukan perluasan bandara dengan cara reklamasi.

perlu dibaca : Reklamasi Teluk Benoa: Susi Bertahan, Bali Melawan

 

Perluasan Bandara Ngurah Rai Bali yang dilakukan karena belum adanya RZWP3K. Foto Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Walhi memaparkan, terdapat 2 alternatif rekomendasi rencana reklamasi baru di bandara Ngurah Rai. Pertama, ditundanya pelaksanaan pengembangan Bandara I Gusti Ngurah rai dengan mempertimbangkan bahwa rencana perpanjangan landasan pacu ke arah laut tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Pelaksanaan pengembangan Bandara I Gusti Ngurah rai agar direncanakan ulang setelah selesainya pembangunan bandara Bali Utara di Kabupaten Buleleng.

Kedua, pengembangan bandara disertai dengan mitigasi dampak terhadap erosi pantai melalui pengamanan Pantai Kuta sepanjang 5.100 meter dari sisi paling utara perairan yang akan direklamasi. Pengaman pantai dapat menggunakan beberapa metode untuk mengurangi refleksi gelombang dan arus menyusur pantai di kawasan Kuta.

Perwakilan Angkasa Pura I Bandara Ngurah Rai keberatan dan menyatakan telah melakukan penelitian sendiri dengan hasil yang berbeda dari rekomendasi tersebut dan tetap meminta rencana reklamasi yang baru disetujui.

Dalam pertemuan itu, Walhi Bali menyatakan keberatan dengan agenda rapat karena Bali belum memiliki KLHS sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang. Pembahasan proyek-proyek di harus mengikuti KLHS.

Pimpinan rapat mencatat namun tetap melanjutkan rapat demikian juga permintaan Angkasa Pura I minta melanjutkan pembahasan rekomendasi, sehingga Walhi Bali menyatakan walk-out dari pertemuan sekitar jam 15.30. “Kami tidak bertanggungjawab atas rekomendasi yang dihasilkan dari rapat tersebut,” seru Juli.

Walhi Bali mendesak agar KLHS tidak mengakomodir seluruh proyek-proyek RZWP3K. Merujuk Pasal 17 ayat (2) huruf f Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Perencanaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menentukan bahwa dalam menyusun RZWP3K, Pemerintah Daerah wajib memperhatikan KLHS.

baca juga : Menggugat Keterbukaan Informasi Pelindo III soal Reklamasi Teluk Benoa

 

Hutan bakau di Teluk Benoa akan berubah fungsi dari konservasi ke kawasan pemanfaatan. Foto Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Bali I Made Teja yang dikonfirmasi mengatakan wilayah konservasi berada di ujung barat bandara karena masih ada kawasan terumbu karang. “Sementara tak merekomendasikan di area konservasi, ditunda dulu penambahan reklamasinya,” ujarnya.

Namun nanti ada alternatif lain, jika ada kerusakan karena reklamasi harus direhabilitasi. Menurutnya proses penambahan lahan reklamasi di area konservasi ini masih panjang. Pihak bandara harus dapat izin lingkungan dari kementerian, dan lainnya. “Kami memediasi. Kalau Walhi Bali walk-out tidak apa itu haknya,” lanjut Teja.

Mongabay Indonesia diundang Konsultasi Publik membahas RZWP3K di Kantor Gubernur Bali, Denpasar dipimpin Sekretaris Daerah Provinsi Bali pada Kamis (9/5/2019) diagendakan. Warga juga diminta memberi masukan secara tertulis selama waktu pertemuan lewat email dkp.bali07@gmail.com.

***

Keterangan foto utama :  Seorang peserta aksi melihat replika gembok besar yang dipasang di gerbang DPRD Bali saat aksi ForBALI, pada Selasa (30/4/2019). Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version