Tak ada bantahan keras dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) seputar informasi yang beredar dalam sehari terakhir dan menyebutkan bahwa izin lokasi untuk proses perizinan reklamasi Teluk Benoa di Provinsi Bali. Bahkan, KKP mengakui kalau izin lokasi memang sudah diterbitkan pada 29 November 2018 dan menjadi acuan hukum untuk mengajukan izin melaksanakan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) untuk proyek tersebut.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti pada Kamis (20/12/2018) menjelaskan, pemberian izin lokasi diterbitkan KKP, karena izin tersebut bukan untuk melaksanakan pembangunan reklamasi. Melainkan, izin tersebut untuk proses pengajuan AMDAL yang akan diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Dengan pertimbangan seperti itu, menurut Susi, KKP tidak memiliki alasan untuk menolak kepada perseorangan ataupun perusahaan yang ingin mengajukan permohonan mendapatkan izin lokasi. Hal itu, karena jika izin tersebut diterbitkan, prosesnya juga akan masih panjang dan tidak berarti proyek yang diajukan untuk dibangun akan bisa berjalan.
“Yang diterbitkan adalah izin lokasi yang diperlukan kalau seseorang atau perusahaan mau bikin AMDAL. Izin lokasi tidak sama dengan izin pelaksanaan reklamasi. Izin Lokasi di KKP itu dibuat berdasar tata ruang yang ada. Izin lokasi diperlukan sebagai dasar permohonan pembuatan Amdal di KLH. Kalau AMDAL-nya oke, maka perusahaan akan minta Ijin Pelaksanaan Reklamasinya ke KKP lagi,” tegasnya.
baca : Izin Reklamasi Berakhir, ForBali Minta Presiden Kembalikan Status Konservasi Teluk Benoa

Sementara, Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP Brahmantya Satyamurti Poerwadi saat dikonfirmasi terpisah menyatakan, proyek reklamasi Teluk Benoa masuk dalam kawasan strategis nasional (KSN) dan karenanya itu harus mendapatkan izin analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) dari KLHK.
Ketentuan tersebut, menurut Brahmantya sudah diatur dalam Peraturan Presiden No.45/2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan), Perpres No.12/2012 Rencana tentang Tata Ruang Pulau Jawa-Bali, dan Perpres No.51/2014 tentang Perubahan Atas Perpres No.45/2011.
“Di dalam Perpres, disebutkan bahwa untuk bisa melaksanakan reklamasi, harus ada beberapa tahapan perizinan, salah satunya adalah izin lokasi. Izin tersebut bukan untuk pelaksanaan reklamasi, tapi untuk mengajukan izin pembuatan AMDAL ke KLHK,” jelasnya.
Zona Pemanfaatan
Untuk kawasan tersebut, Brahmantya menyebutkan, pihaknya memberikan perpanjangan izin lokasi, karena memang kawasan tersebut sudah diatur dalam Perpres dan termasuk dalam kawasan zona ruang pemanfaatan. Jika memang kawasan tersebut adalah masuk dalam zona konservasi, maka pihaknya dipastikan akan menolak perpanjangan.
“Kita nggak mungkin keluarkan kalau ini zona konservasi. Tapi di Perpres Sarbagita ini masih di area zona penggunaan umum.”
Brahmantya menegaskan, karena sudah diatur dengan jelas dan tegas untuk tahapannya, maka reklamasi Teluk Benoa hingga saat ini masih dalam tahapan pengajuan izin. Kalaupun ada tahapan sampai ke proses pembangunan secara fisik seperti menguruk tanah, maka dipastikan itu adalah pelaksanaan yang ilegal.
“Selama izin pelaksanaan reklamasi belum ada, maka reklamasi tidak akan pernah terjadi,” pungkasnya.
baca : Menanti Ketegasan Pemerintah Setop Reklamasi Teluk Benoa

Terpisah, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati mempertanyakan sikap Menteri KP Susi Pudjiastuti yang sudah menerbitkan izin lokasi untuk pembuatan AMDAL. Menurutnya, keputusan tersebut menegaskan bahwa tidak ada keberpihakan Susi kepada nelayan dan perempuan nelayan.
“Susi beralasan, penerbitan izin itu merujuk pada tata ruang Provinsi Bali,” ungkapnya, Kamis.
Apa yang sudah dilakukan Susi tersebut, kata Susan, telah mencederai dan mengkhianati keinginan kolektif masyarakat Bali yang dengan tegas menolak proyek reklamasi Teluk Benoa. Dengan demikian, penerbitan surat izin lokasi tersebut, menegaskan bahwa Susi Pudjiastuti tidak berpihak kepada masyarakat Bali.
“Izin tersebut melukai 39 desa adat di Bali dan membuat ratusan ribu masyarakat pesisir terancam kehilangan ruang hidupnya, terutama nelayan dan perempuan nelayan,” tutur dia.
Tentang klaim Susi yang menyebut landasan penerbitan izin lokasi pada tata ruang Provinsi Bali, menurut Susan itu juga tidak masuk akal. Mengingat, sudah jelas ada amanat dalam Undang-Undang No.1/2014 tentang Perubahan Atas UU No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Di dalam UU tersebut, kata Susan, diterangkan tentang rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) yang seharusnya bisa landasan bagi KKP sebelum mengeluarkan keputusan untuk izin lokasi. Rujukan tersebut, pada kenyataannya tidak bisa dipakai, karena memang Provinsi Bali belum memiliki peraturan daerah (Perda) tentang RZWP3K.
“Artinya, izin yang dikeluarkan bertentangan dengan hukum. Dalam pada itu, hingga hari ini masyarakat sipil terus mengawasi Ranperda RZWP3K yang sedang dalam proses perbaikan dokumen awal,” sebutnya.
baca juga : Kenapa Reklamasi Teluk Benoa Semata Putusan Politik?

Nasib Nelayan
Mengingat surat izin lokasi sudah diterbitkan, Susan menyarankan agar Susi Pudjiastuti bisa mempelajari kembali mengapa masyarakat Bali menolak dengan tegas proyek reklamasi Teluk Benoa. Penolakan tersebut, bahkan sudah dilakukan dengan perlawanan selama lima tahun terakhir dan melibatkan 39 desa adat dari seluruh Bali.
“Susi juga harus melihat dampak reklamasi Teluk Benoa bagi daerah lainnya,” tegas dia.
Tak hanya memperhatikan masyarakat adat, Susan menyebut bahwa Susi dan KKP harus juga memperhatikan nasib nelayan dan perempuan nelayan yang akan terdampak karena proyek reklamasi. Persoalan itu, sudah terjadi di Lombok Timur, di mana kawasan Selat menjadi kawasan penambangan pasir untuk reklamasi Teluk Benoa dan mengakibatkan nelayan kehilangan lokasi penangkapan ikan.
Dengan kata lain, Susan menegaskan, proyek reklamasi Teluk Benoa tak hanya merusak kawasan Bali saja, melainkan juga merusak kawasan-kawasan lain, khususnya kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang menjadi tempat pengambilan pasir laut untuk dijadikan material pasir reklamasi.
“Tak ada kompromi untuk hal ini. Susi harus cabut izin tersebut demi keberlanjutan masyarakat pesisir Bali yang berdaulat dan sejahtera,” pungkas Susan.
ForBali Kecewa
Kabar terbitnya Izin lokasi baru untuk rencana reklamasi Teluk Benoa pada tanggal 29 November 2018 untuk investor membuat sejumlah simpatisan Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBALI) gusar dan kaget. Karena per tanggal 25 Agustus 2018 tidak ada lagi kegiatan penilaian Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) akibat masa berlaku izin lokasi reklamasi Teluk Benoa milik PT. TWBI sudah habis.
Koordinator ForBALI, I Wayan ‘Gendo’ Suardana menyebut ini puncak kekhawatirannya karena Peraturan Presiden yang mengubah Teluk Benoa dari kawasan konservasi jadi pemanfaatan oleh mantan Presiden SBY belum dicabut. “Izin lokasi yang dulu kan sudah lewat waktu. Nah sekarang investor ajukan lagi permohonan izin lokasi dan dikabulkan. Jadi bukan perpanjangan tapi izin lokasinya baru,” gusar Gendo.
baca juga : Sedihnya Duta Earth Hour Lihat Mangrove Benoa Bali Tersisa 1%. Kok Bisa?

Ia kecewa dengan pernyataan Susi Pudjiastuti yang mengelak menyatakan izin lokasi bukan pelaksanaan. Gendo berkali-kali mengedukasi warga peserta aksi penolakan reklamasi selama 5 tahun ini sehingga mekanisme pemberian izin pelaksanaan reklamasi sudah diketahui mulai dari izin lokasi untuk memulai Amdal, kemudian keluar izin lingkungan, dan izin pelaksanaan. Jika disetujui, maka reklamasi bisa dilaksanakan. “Sudah 5 tahun warga berjuang dan menolak, kenapa tidak didengarkan?” herannya.
I Wayan Swarsa, mantan Bendesa Adat Kuta yang pernah memimpin Pasubayan Desa Adat Tolak Reklamasi Teluk Benoa juga menyebut pemerintah dalam hal ini Kementrian KKP tidak mendengar aspirasi penolak reklamasi dan masyarakat adat Bali. “Sudah dipaparkan dasar penolakan selama 5 tahun ini, seharusnya pemerintah peka, karena sudah 2 kali gagal izin lokasi dengan peruntukkan sama, alasan penolakan sama,” urainya pada Mongabay Indonesia.
Ia menambahkan, sekalipun sudah dikeluarkan izin baru tak akan menyurutkan perjuangan malah mengorbankan lagi semangat rakyat Bali dalam Pasubayan dan komunitas-komunitas di bawah koordinar ForBALI. Swarsa juga mengingatkan pernyataan Gubernur Koster saat terpilih walau Perpres No.51/2014 tak perlu dicabut namun akan menolak reklamasi apapun alasannya. “Apakah satya wacana, apakah mampu jadi manggala, pemimpin memberikan tuah, keberuntungan akan perjuangan masyarakatnya,” tanyanya soal janji gubernur baru Bali ini.
Tahun politik ini menurutnya momentum bagus agar masyarakat mampu memilih calon legislatif, di tingkat provinsi atau pusat tak terjebak wakil rakyat yang hanya mendompleng penolakan reklamasi untuk mendapat suara. “Harus didengungkan di level legislatif mengawasi kinerja eksekutif menyerap dan memperjuangkan aspirasi penolakan reklamasi,” tambah Swarsa.
Masyarakat Bali, kata Swarsa, sudah belajar dari janji-janji penguasa, menunjukkan tak berdayanya wakil rayat di legislatif memperjuangkan aspirasi masyarakat adat dalam Pasubayan. Momentum hari raya Sugihan Bali dan Jawa pekan ini menurutnya jadi momentum bagaimana warga akan terus berjuang untuk keharmonisan alam.
baca : Ketika Tolak Reklamasi Teluk Benoa Jadi Komoditas Pilkada Bali

Ketika izin lokasi sebelumnya sudah berakhir, ForBALI meminta Presiden Republik Indonesia c.q Menteri Lingkungah Hidup dan Kehutanan mengumumkan secara terbuka dan tertulis bahwa status AMDAL reklamasi Teluk Benoa PT. TWBI tidak layak.
Selanjutnya Presiden diminta melakukan upaya hukum dan politik untuk mengembalikan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi dengan membatalkan Perpres No.51/2014 yang direvisi Susilo Bambang Yudhoyono.
ForBALI juga minta Gubernur dan Wakil Gubernur Bali terpilih untuk menghentikan manuver politik yang meresahkan rakyat Bali dan bekerja sungguh-sungguh untuk memastikan Teluk Benoa benar-benar aman dari ancaman reklamasi yang merusak fungsi-fungsi konservasinya.
“Patut disayangkan izin lokasi reklamasi Teluk Benoa yang baru dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Selama ini jelas-jelas rakyat Bali konsisten selama lima tahun lebih menolak rencana reklamasi Teluk Benoa. Terlebih lagi izin lokasi reklamasi Teluk Benoa yang baru ini diterbitkan secara diam-diam,” sebut Direktur WALHI Bali, Made Juli Untung Pratama.
Hal tersebut diketahuinya dalam Konsultasi Teknis Dokumen Antara RZWP3K Provinsi Bali yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut di Gedung Mina Bahari III, Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, Jakarta, Rabu, 19 Desember 2018.
Keterangan dari pegawai bagian Jasa Kelautan, Kementerian Kelautan dan Perikanan membuat WALHI Bali termasuk Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan sekaligus Ketua Pokja penyusunan Ranperda RZWP3K Provinsi Bali, geleng kepala.
Dokumen RZWP3K ini, sebutnya, harus tetap mengkomodir kawasan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi maritim sebagaimana yang sudah ada di dalam dokumen saat ini. Tidak boleh ada upaya untuk menggugurkan inisiatif Bali untuk menetapkan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi.