Mongabay.co.id

Keinginan Gunata, Bebaskan Pesisir Timur Sumsel dari Sampah Plastik

 

 

Persoalan sampah di Indonesia bukan hanya urusan masyarakat kota. Yang paling terancam justru wilayah pedesaan. Jika tidak segera diatasi, banyak desa di Indonesia nantinya menjadi “desa sampah”.

“Jika kita menyaksikan permukiman di pesisir timur Sumatera Selatan hal tersebut sangat terasa. Sampah, khususnya plastik, sudah masuk ke wilayah hidup masyarakat. Kolong rumah, jalan, halaman, hampir semuanya dipenuhi tumpukan sampah, seperti desa nelayan Sungsang IV ini,” kata Gunata Kusuma [26] pegiat lingkungan, khususnya sampah, dari Kahuripan Ceria Indonesia, di sela acara Gerakan Seribu Karung Sampah di Desa Sungsang IV, Kabupaten Banyuasin,Provinsi Sumatera Selatan, akhir April 2019.

Berapa sampah per hari yang dihasilkan di wilayah pesisir timur Sumatera Selatan? “Belum ada penelitian. Sebagai gambaran, di Desa Sungsang IV ini saja menghasilkan sekitar seratus kilogram sampah per hari, umumnya non-organik. Sampah-sampah plastik jika tidak segera ditangani jelas akan memenuhi lautan, khususnya laut Selat Bangka,” jelasnya.

Baca: Direstorasi, Gambut di Muara Medak Tidak Bakal Merana Lagi

 

Anak-anak di Dusun Sungai Sembilang dalam Landskap Sembilang ini hidup di tengah lautan sampah. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

“Harapan saya, jangan jadikan masa depan Bumi kita sebagai lautan sampah, hutan sampah, gunung sampah, kota sampah, desa sampah, hingga meja makan kita sebagai tempat sampah,” ujar alumni Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya.

Dijelaskan Gunata, Indonesia sebagai salah satu negara terbesar penghasil sampah di dunia, khususnya sampah lautan, sudah seharusnya pemerintah menjadikan sampah sebagai ancaman yang lebih besar atau setara dengan narkoba.

“Oleh karena itu, bukan hanya tanggung jawab masyarakat, tetapi juga pemerintah dan perusahaan-perusahaan yang setiap hari menghasilkan produk yang akhirnya menjadi sampah,” kata lelaki yang sudah empat tahun melakukan gerakan mengatasi sampah dengan melibatkan anak-anak jalanan, kaum miskin kota, hingga petani dan nelayan.

 

Seorang anak melihat ke arah tumpukan sampah di Desa Sungai Sembilang yang masuk dalam Lanskap Sembilang Dangku. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Hasil penelitian Jenna Jambeck dari Universitas Georgia, Amerika Serikat [2015], menyatakan Indonesia sebagai negara kedua penghasil sampah plastik terbanyak di dunia, setelah Tiongkok. Disebutkan, dari estimasi total 275 juta metrik ton [MT] sampah plastik yang diproduksi dari 192 negara di seluruh dunia pada 2010, diperkirakan sekitar 4,8-12,7 juta MT masuk ke lautan lepas.

Pemerintah Indonesia sudah membuat rencana aksi nasional (RAN) pengelolaan sampah laut yang sudah dijalankan 2017. Dana sebesar Rp13,4 triliun digelontorkan pemerintah untuk memerangi sampah plastik di laut yang diharapkan pada 2025 sampah plastik berkurang hingga 70 persen.

Baca: Generasi Hijau di Bentang Alam Sendang, Siapa Mereka?

 

Terlihat seorang anak bermain di tengah tumpukan sampah yang menjadi permasalahan utama di Desa Sungai Sembilang. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Kelola sampah

Gagasan untuk memulai gerakan pengolahan sampah muncul saat Gunata melihat betapa kompleksnya permasalahan sampah yang dialami masyarakat. “Ini sangat terasa ketika saya menetap setahun di Jakarta,” tuturnya.

Dia membaca berbagai informasi mengenai persoalan sampah di Indonesia, termasuk global, salah satunya informasi yang didapat dari situs berita Mongabay Indonesia.

Awal 2015, Gunata mengajukan gagasan pengelolaan sampah kepada sejumlah perusahaan di Indonesia. Sambil menunggu hasil, dia bekerja tanpa gaji di salah satu tempat pengelolaan sampah di Tanggerang, satu bulan. “Saat itu terpikir, saya harus bisa memilah berbagai jenis sampah, agar kelak saat memulai gerakan, saya paham termasuk mendaur ulang.”

Sebuah perusahaan mendukung kegiatannya, namun beberapa pekan kemudian dibatalkan, padahal semua persiapan sudah berjalan 70 persen. Gunata pun memutuskan pulang ke Palembang, memulai usaha dengan modal sendiri.

“Peristiwa itu tidak membuat saya frustasi, malah lebih terpacu memulai meski dengan usaha sendiri,” paparnya.

Baca: Bentang Alam Rusak karena Cara Pandang Kita yang Keliru?

 

Potret sampah di permukiman penduduk Desa Sungsang IV yang menjadi salah satu titik fokus pengelolaan sampah. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Desember 2015, bermodal mesin pencacah sampah [bekas] dia memulai gerakan pengolahan sampah di Indralaya, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan. “Saat itu modal saya hanya 16 juta Rupiah. Mesin, hingga perlengkapan lain saya cari yang murah. Bahkan, untuk pagar lokasi pencacahan sampah, saya minta dari limbah yang dihasilkan sebuah depot kayu.”

Gunata memutuskan menjadi pengepul. Dia mengajak dua pelajar SMA dari keluarga miskin, juga beberapa anak jalanan. “Mereka tidak bekerja dengan saya, tapi kami bekerja bersama.”

“Saya lihat mereka butuh biaya tambahan sekolah. Setiap bulan, kami berhasil mengumpulkan sampah sekitar 80 ton. Hingga pertengahan 2016, mesin pencacah sampah baru, terbeli,” ujarnya.

 

Lokasi pengolahan sampah miliki Gunata [26] di Indralaya, Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Sejak 2015, Gunata fokus ke gerakan pengolahan sampah. Foto: Dok. Gunata

 

Seiring waktu, Gunata melihat potensi sampah yang begitu besar dihasilkan sejumlah perusahaan. “Selama menjadi pengepul sampah, sekitar 70% sampah yang saya dapat berasal dari sejumlah perusahaan besar di Sumatera Selatan.”

Dia pun menggagas “Bank Sampah Perusahaan” yang pertama di Indonesia. Hingga kini, setidaknya ada sekitar delapan perusahaan besar di Sumatera Selatan yang menjadi mitra.

“Perusahaan harus mengurangi produksi sampah sekali pakai yang tidak bisa didaur ulang, sebut saja kemasan makanan ringan. Ini dikarenakan mengandung zat logam yang telah bercampur dengan zat plastik lain,” jelasnya.

Baca juga: Benarkah Produksi Sampah Plastik Indonesia Terbanyak Kedua di Dunia?

 

Gunata yang ingin membebaskan desa-desa di pesisir timur Sumatera Selatan dari sampah plastik. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Bank Sampah Desa

Saat ini ada ratusan kader sampah yang dibina Gunata bersama organisasinya Kahuripan Ceria Indonesia. Mulai dari anak jalanan, anak keluarga miskin kota, hingga pemuda desa.

Khusus pemuda desa, dari keluarga buruh tani atau nelayan kecil, Gunata mengajak mereka melahirkan bank sampah di setiap desa. Selain berbinis, mereka pun diberi tugas memberikan pemaham kepada warga desa terkait pengelolaan sampah bertanggung jawab.

“Bertanggung jawab adalah seseorang sejak awal paham mengenai sampah yang dihasilkan, dari produk yang mereka konsumsi, sehingga tahu bagaimana memperlakukan sampah tersebut. Kalau sampah organik mungkin dapat dijadikan pupuk atau cukup ditimbun ke lubang, tapi sampah plastik, besi, kaca, dan lainnya, butuh perlakukan khusus,” katanya.

Gagasan dan upaya pembuatan bank sampah di desa ini sejalan dengan agenda proyek KELOLA Sendang – ZSL Indonesia. Gunata mendapat dukungan dari kegiatan ini.

Target utama di Sendang [Sembilang-Dangku] yakni menyelesaikan permasalahan sampah pada 21 desa. Selain melakukan pembinaan, kampanye, juga mendorong adanya Bank Sampah, sehingga memberikan dampak ekonomi. “Hidup sehat dan bersih itu ternyata menghasilkan uang. Itu kira-kira yang ingin saya sampaikan ke masyarakat desa,” tandasnya.

 

*Nopri IsmiMahasiswa UIN Raden Fatah Palembang, Sumatera Selatan, mengikuti pelatihan jurnalistik Mongabay Indonesia di Palembang pada 2017 dan 2018

 

Exit mobile version