Mongabay.co.id

Korupsi Membelenggu Pemenuhan Hak Lahan dan Capaian Target Emisi

 

 

 

 

Sudah lebih dari dua tahun, The Gecko Project dan Mongabay, menelusuri kisah suram yang penuh teka-teki di balik krisis sosial dan lingkungan yang mendera Indonesia.

Di negara kepulauan yang disebut-sebut memiliki hutan terluas ketiga di dunia ini, laju deforestasi mencapai angka yang tertinggi sejak pencatatan dimulai. Setiap tahun, kawasan gambut yang kaya karbon di Indonesia kian mengering. Hal itu diikuti rentetan peristiwa kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang menyebabkan gas rumah kaca terlepas ke atmosfer. Tak hanya dibayang-bayangi karhutla dan bencana asap, masyarakat ada ribuan desa di berbagai penjuru nusantara juga berhadapan dengan konflik-konflik antardesa tetangga, pemerintah, dan perusahaan-perusahaan terkait penguasaan tanah.

Baca juga: Menguak Aksi Kerajaan Kecil Sawit di Kalimantan

Benang merah dari semua itu, adalah pertumbuhan perkebunan berskala industri yang sangat cepat dalam menghasilkan minyak sawit maupun komoditas lain. Selama lebih satu dekade terakhir, perkebunan-perkebunan ini jadi penyebab utama deforestasi di Indonesia. Konflik-konflik tenurial kian bermunculan ketika banyak hutan adat dan lahan pertanian masyarakat perdesaan tergusur dan dialihkan oleh negara ke tangan korporasi pemegang konsesi.

Kondisi ini merupakan krisis global serius. Indonesia melepaskan begitu banyak gas rumah kaca dengan menghancurkan hutan seperti pernah dilakukan berbagai negara maju dengan membakar bahan bakar fosil. Pada pertengahan 2000-an, negara yang jadi salah satu paru-paru dunia ini masuk dalam daftar teratas negara penghasil emisi karbon tertinggi di dunia setelah Tiongkok dan Amerika Serikat.

 

Potret deforestasi untuk perkebunan sawit di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Foto: The Gecko Project dan Mongabay

 

Pengalihan tanah-tanah rakyat ke perusahaan-perusahaan yang dimiliki beberapa oligarki, adalah bentuk penindasan terhadap masyarakat perdesaan yang kian terpinggirkan. Masyarakat memiliki hak-hak legal lemah. Kondisi seperti ini tak hanya terjadi di negara ini, juga di banyak negara Selatan lain seperti Indonesia.

Peran Indonesia, dalam krisis iklim membuat kekhawatiran global sekaligus mendesak segera ada suatu solusi. Di panggung internasional, Pemerintah Indonesia, berulang kali berjanji mengurangi laju deforestasi untuk memenuhi target iklim.

Baca juga: Tangan-tangan Setan Bekerja: Kesepakatan Lahan di Balik Jatuhnya Akil Mochtar

Pemerintah Norwegia, bahkan berkomitmen mengucurkan insentif mencapai US$1 miliar untuk mengalihkan perkebunan-perkebunan baru agar jauh dari hutan. Tahun 2014, perusahaan-perusahaan besar yang mengendalikan produksi dan perdagangan minyak sawit pun berjanji turut menghentikan penebangan hutan untuk tanaman-tanaman baru serta mengakhiri eksploitasi terhadap masyarakat perdesaan.

Di antara semua persoalan itu, ada satu bagian narasi hilang, yakni, kurang fokus pada siapa sesungguhnya yang membuat keputusan hingga membawa kami ke titik ini dan apa motivasi mereka untuk melakukannya. Selama beberapa tahun terakhir, penelusuran rekan-rekan jurnalis yang terlibat dalam proses investigasi ini, memperkuat dugaan awal kami bahwa yang mendasari berbagai krisis itu adalah korupsi dengan berlapis-lapis intrik.

Lebih jauh lagi, korupsi tak bisa dipandang sebelah mata atau dilihat sebagai hal biasa. Itu menjadi hal mendasar. Para politisi mengambil “jalan pintas” memuluskan proyek-proyek agar berjalan. Faktor pendukung ini tak dapat diabaikan Pemerintah Indonesia, komunitas internasional, atau sektor swasta kalau hendak menuntaskan perkara sampai ke akar-akarnya.

 

Hamparan perkebunan sawit raksasa di Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah. Foto: The Gecko Project dan Mongabay

 

Tentu saja, bukan tanpa alasan menyatakan ini. Dugaan sementara ini beradarkan pada realitas, bahwa, Indonesia merupakan negara demokrasi yang sangat terdesentralisasi. Para kepala daerah, terutama bupati, memegang kendali atas perizinan untuk perkebunan sawit.

Mereka seperti sedang mengembangbiakkan kemunculan perkebunan-perkebunan besar yang memicu konflik-konflik atas tanah. Ironisnya, mereka juga dipilih oleh orang-orang yang paling terdampak dari berbagai konflik itu. Mengapa mereka tak mencegah pencaplokan tanah-tanah masyarakat oleh perkebunan, padahal justru masyarakat sendirilah yang memilih mereka? Lantas, ada hal apa yang sesungguhnya tersembunyi di balik tindakan mereka?

Baca juga: Pesta Demokrasi yang Korup Picu Gadaikan Sumber Daya Alam

Untuk mengetahuinya, kami mengatur serangkaian pertemuan dan wawancara dengan orang-orang terkait. Mereka adalah, para politisi, perantara maupun fixer yang berdiri di antara batas abu-abu antara bisnis dan politik, pengacara di Jakarta, yang mengurus transaksi-transaksi tanah, pekerja di perusahaan perkebunan besar, pelapor pelanggaran (whistleblower), aktivis, dan jaksa penuntut di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hasil-hasil peliputan investigasi kami dalam seri “Indonesia Dijual,” mengungkapkan, para bupati secara sistematis mengeksploitasi wewenang mereka terhadap lahan di tengah-tengah situasi di mana pengawasan dan kontrol terhadap izin-izin sangatlah kendor. Dari sanalah, bupati-bupati meraup uang hingga jutaan dolar melalui penjualan konsesi atau izin perkebunan kepada perusahaan-perusahaan besar. Selain mengisi pundi-pundi pribadi, juga untuk membiayai kampanye dalam pilkada. Itulah yang menciptakan suatu lingkaran setan dari korupsi di daerah-daerah.

Para kepala daerah dan kroni menyulap aset-aset tak terlihat melalui perusahaan cangkang (shell companies) dan memberikan perusahaan-perusahaan itu berbagai konsesi.

Semua itu, sesungguhnya hanya ada di atas kertas. Kemudian, izin-izin diperjualbelikan ke sejumlah korporasi internasional yang berbasis di Kuala Lumpur, Singapura dan Dubai. Di sanalah, akses modal hingga jutaan dolar terbuka lebar-lebar dari berbagai bank internasional. Sebagian dari mereka yang memanfaatkan trik ini tengah bersembunyi di balik tirai skema perusahaan.

 

Karhutla dan bencana asap di Kalimantan dan Sumatera pada September dan Oktober 2006. Foto: NASA.

 

Tanpa segan-segan, mereka pun menempatkan nama dan alamat palsu pada dokumen perusahaan. Lainnya, ada pula yang gunakan cara lebih canggih dan tak dapat lagi terlacak, yaitu, mendaftarkan perusahaan-perusahaan mereka ke perusahaan konsultan anonim di negara-negara yang memberlakukan suaka pajak (tax havens), seperti Uni Emirat Arab.

Kami menemukan fakta, perusahaan perkebunan besar cukup senang membeli aset dari keluarga atau kroni-kroni bupati. Dalam beberapa kasus, mereka bahkan menjalin bisnis bersama.

Baca juga: Kesepakatan Rahasia Hancurkan Hutan Papua, Berikut Foto dan Videonya

Perusahaan-perusahaan itu tak lain juga korporasi yang sama dan pernah berjanji mengakhiri deforestasi dan eksploitasi. Hasil investigasi kami menunjukkan, keuntungan yang dihasilkan para politisi daerah itu malah kian mendorong mereka mengeluarkan lebih banyak izin terhadap berbagai lahan potensial di wilayah kekuasaan mereka. Uang ini untuk memuluskan berbagai rintangan yang menghadang langkah-langkah perusahaan, termasuk protes dari masyarakat.

Kami juga menemukan ada hubungan erat antara korupsi transaksi lahan dan uang kotor yang digunakan dalam pilkada. Para politisi menggunakan berbagai izin dan kesepakatan lahan untuk membiayai kampanye mereka yang diwarnai politik uang. Persoalan jauh lebih rumit lagi ketika ada petahana yang hendak mencalonkan diri kembali sebagai raja kecil di daerah. Dia dapat bertarung sambil menunggangi perusahaan-perusahaan perkebunan sebagai kendaraannya.

Investigasi utama kami yang kedua, menyibak tirai lain di balik kasus suap Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, terkait penanganan perkara pilkada Kabupaten Gunung Mas di Kalimantan Tengah. Uang suap mengalir dari kesepakatan rahasia terkait izin-izin perkebunan.

 

Marianto Sumarto (kiri) melaporkan seorang bupati yang korup ke KPK. Foto: The Gecko Project/ Mongabay

 

Sumber kami di pemerintah dan perusahaan menegaskan, kami tidak melihat kasus-kasus yang sendiri-sendiri, melainkan suatu sistem. Investigasi kami memberikan gambaran terhadap kontur dan infrastruktur dari sistem terkait bagaimana kesepakatan berjalan, bagaimana aset-aset dibuat, bagaimana mereka berupaya bersembunyi, bagaimana uang mengalir ke proses politik elektoral, dan bagaimana sistem ini berfungsi menghadang solusi-solusi.

Temuan kami bahkan, menunjukkan, bagaimana perusahaan-perusahaan menempatkan diri mereka sebagai bagian dari solusi dan masuk ke dalam sistem.

Setelah kita memahami sistem itu, kita pun dapat melihat realita sangat umum terjadi di seluruh Indonesia. Polanya, serupa, yaitu, izin-izin untuk perusahaan biasa terbit menjelang atau selama musim pemilihan kepala daerah di mana saat sama pula para bupati berhadap-hadapan dengan masyarakat. Aturan-aturan hukum pun diterobos. Sistem seperti itu tidak diatur dalam buku Undang-undang, namun itulah kenyataan hingga kini. Kongkalikong terjadi di hotel-hotel mewah di Jakarta, dan tawaran-tawaran menggiurkan pun tersembunyi di belakangnya.

Pada sistem itu, praktik kekuasaan berlaga dengan cara-cara kotor dan terkadang begitu menjijikkan. Dalam suatu kasus, seorang politisi dapat menandatangani izin, padahal tengah di penjara atas kasus korupsi berbeda. Kami sempat mewawancarai tokoh itu. Dia mengangkat bahu saja dan dengan acuh tak acuh memberi tahu rekan kami di Majalah Tempo, bahwa, dia secara teknis masih menjabat saat itu.

Di tempat berbeda, para politisi yang haus harta menegosiasikan suap dengan pesan singkat yang menyebutkan istilah “ton emas.” Itu terjadi sebelum uang tunai untuk transaksi lahan diserahkan melalui sebuah tas ke hadapan seorang hakim.

Ahmad Ruswandi, seorang politisi dari Seruyan, Kalimantan Tengah, memberi tahu kami-dengan gaya necisnya terkesan agak angkuh- bahwa dia tidak akan pernah berbisnis di kabupatennya sendiri. Padahal, dia telah menimbun pundi-pundi dari hasil penjualan berbagai konsesi perkebunan yang dikeluarkan ayahnya sebagai bupati dua periode sebelumnya.

 

Mantan Bupati Boven Digoel, Papua — yang mengeluarkan konsesi perkebunan kepada perusahaan cangkang ketika ia berada di jeruji besi. Foto: The Gecko Project/ Mongabay

 

Izin-izin itu pun berlabuh ke perusahaan milik keluarga miliarder Teddy Rachmat. Ahmad Ruswandi juga menyinggung alasan atas pernyataan itu dengan mengatakan kalau peran dia diperlukan untuk bertindak selayaknya wasit antara perusahaan dan masyarakat.

Tentu saja, klaim tentang kepentingan bisnis itu tidaklah sepenuhnya jujur. Meski begitu, apa yang terlanjur diucapkan Ruswandi, ada benarnya. Dia dan politisi serupa lain memang bukan pembuat aturan dalam suatu pertandingan, namun sembunyi-sembunyi, mereka memiliki keberpihakan mengatur pertarungan yang penuh kecurangan.

Dugaan kami, ada keterkaitan korupsi dengan krisis, didukung bukti yang kami temukan. Ada pula sentimen yang sering kita dengar dari masyarakat yang paling terdampak oleh krisis serta para aktivis yang berjuang atas nama masyarakat untuk melawan sistem. Mereka berulang kali mencium ada gelagat tidak beres. Terutama, memang berhubungan dengan persoalan akuntabilitas. Orang-orang yang kami wawancarai memandang, kesalahan yang telah dilakukan terhadap masyarakat dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan, merupakan cerminan dari pemerintah yang bekerja melawan rakyatnya sendiri. Hal itu, karena ada kolusi dengan korporasi.

“(Korporasi) menghancurkan struktur pemerintahan, hingga mereka dengan mudah mendapatkan legalitas dalam proses pembebasan lahan (milik rakyat),” kata seorang tokoh masyarakat di Kampung Muara Tae, Kalimantan Timur.

“Kami menentang pemerintah kami sendiri karena mereka pun terlibat di dalamnya,” kata seorang perempuan dari Kepulauan Aru, kabupaten kepulauan yang berhadapan dengan 28 izin untuk perkebunan gula pada awal 2010-an. Izin-izin itu dikeluarkan seorang politisi yang dinyatakan melakukan tindak pidana korupsi oleh pengadilan setelah muncul gelombang protes yang dilayangkan para aktivis bersama masyarakat adat.

Masyarakat pun kemudian bertanya-tanya mengapa kebijakan justru tak memihak rakyat kecil dan lingkungan? Lantas, orang-orang umumnya berpendapat, hal itu terlampau sulit untuk menyeimbangkan aspek perlindungan lingkungan dengan tuntutan terhadap pertumbuhan ekonomi. Sesungguhnya, keduanya bisa berjalan beriringan.

Persoalan kemudian, berbagai bukti menunjukkan, kalau ketidakseimbangan antara pembangunan ekonomi dan perlindungan lingkungan itu karena ada korupsi. Gerombolan mafia itu terdiri dari komplotan politisi dan perusahaan yang bersekongkol memanipulasi kelemahan dalam struktur maupun sistem pemerintahan. Mereka memperkaya diri dengan jadikan masyarakat dan hutan sebagai tumbal. Karena tindakan korupsi itulah, yang menimbulkan kegagalan dalam melindungi masyarakat dan lingkungan.

 

Arus uang dan aset yang mengalirkan izin-izin perkebunan ke perusahan Malaysia serta suap yang menyeret Ketua Mahkamah Konstitusi.

 

Tentu saja, fenomena itu bukanlah satu-satunya di Indonesia. Di Brasil, ada banyak kisah sukses terhadap perlindungan hutan Amazon dan hak-hak masyarakat adat di dalamnya pada 2000-an. Saat sama, ekspor komoditas pertanian pun ikut meningkat. Tetapi, keberhasilan itu secara sistematis kian terkikis oleh pengaruh terkait pengajuan lobi agrobisnis.

Mengacu pada laporan investigasi terbaru oleh Reporter Brasil, terdapat seperempat anggota Dewan Perwakilan Rakyat Brasil, ternyata menerima sumbangan kampanye dari perusahaan agrobisnis. Mereka adalah pihak yang terbukti melakukan penebangan hutan secara ilegal dan perbudakan. Kawasan lindung dihancurkan oleh perusahaan peternakan.

Sementara itu, pemerintah mengubah kebijakan untuk melegalkan tindakan itu. Daging-daging yang berasal dari peternakan sapi itu bagian dari rantai pasok industri pengemasan daging yang dimiliki Brasil dan jadi perusahaan terbesar di dunia, yakni JBS. JBS, yang menyalurkan keuntungan melalui Kepulauan Cayman sebagai sebuah tax haven, kena denda mencapai US$3,2 miliar karena terlibat dalam skandal korupsi yang mengguncang negara itu.

Saat ini, Mahkamah Pidana Internasional di Den Haag, Belanda, mau memperluas prosesnya padar kasus-kasus dengan cakupan terhadap perampasan tanah dan pengrusakan lingkungan. Keputusan itu dipengaruhi skandal korupsi besar yang terjadi di Kamboja.

Masyarakat desa terusir dari tanah sendiri secara paksa dengan senjata. Di lahan-lahan rakyat itulah perkebunan gula dan komoditas komersil lain dibangun. Banyak pihak terkejut dengan ketidakmampuan pengadilan dalam menerapkan hukum yang berpihak pada rakyat. Perampok-perampok tanah tak hanya memiliki cengkeraman sangat kuat, melainkan pula tak tersentuh hukum.

Mereka tak lain adalah para kroni dari rezim yang berkuasa. Penyakit sama pun dapat melanda berbagai tempat di dunia, di mana korporasi global di sektor pertanian, melakukan serangkaian pendekatan dengan negara-negara kaya tanah, namun memiliki kecacatan atau tata kelola lemah.

Lantas, apa yang dapat mengubah situasi itu dalam konteks Indonesia? Pemerintah telah memandatkan peninjauan kembali seluruh konsesi sawit sebagai bagian dari kebijakan penghentian sementara terhadap perkebunan-perkebunan baru melalui Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2018 (Inpres Moratorium Sawit). Evaluasi perizinan berpeluang menyelidiki situasi saat izin-izin dikeluarkan. Itu bisa jadi bukti yang mengindikasikan, apakah perizinan telah dipercepat atau menerobos aturan hukum tertentu. Hal lain yang dapat dilihat, antara lain, pengecekan kepemilikan perusahaan cangkang yang rutin digunakan untuk memperdagangkan konsesi perkebunan serta waktu terkait kapan penerbitan izin.

 

Ahmad Ruswandi, memperdagangkan perusahaan-perusahaan cangkang yang memegang rentetan konsesi dari ayahnya sendiri ketika menjabat sebagai Bupati Seruyan. Foto: The Gecko project/ Mongabay

 

Penting sekali mengidentifikasi kapan konsesi perkebunan dijual untuk membandingkan dengan momentum politik elektoral di daerah, terutama pilkada. Investigasi kami menunjukkan, analisis peninjauan ulang itu mampu memberikan sekumpulan bukti awal bagi KPK untuk penelusuran dan penuntutan lebih lanjut.

Ada banyak alasan kuat mendukung pencabutan konsesi perkebunan yang hendak membabat jutaan hektar lahan maupun hutan. Peluang menciptakan model pembangunan lebih seimbang pun dapat diupayakan.

Moratorium sementara izin sawit di Indonesia, juga bisa mengecek kondisi masyarakat di desa-desa selama proses akuisisi lahan. Bukan hanya janji-janji maupun hal-hal lain yang disampaikan perusahaan kepada masyarakat, juga pengakuan terhadap hak atas tanah.

Dari sanalah, pengajuan proposal dapat didorong terkait restitusi atau ganti rugi lahan yang telah dicaplok secara ilegal atau dengan memanfaatkan kelemahan hukum. Melalui Inpres No. 13/2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, pemerintah dapat menyelidiki penerima manfaat yang sebenarnya. Penerima manfaat sebenarnya ini, baik dari perusahaan pemegang konsesi dan mengekspos transaksi rahasia terhadap aset-aset negara oleh para politisi, termasuk keluarga dan kroni-kroni mereka.

Pemerintah, dapat mengecek bukti penggelapan pajak dan-secara agresif-menelusuri pengalihan aset dan modal ke pihak-pihak asing di luar negeri dengan memanfaatkan berbagai perjanjian maupun forum internasional.

Tampaknya harapan ini masih jauh dari ideal. Malah, mungkin saja hal-hal yang diutarakan sebelumnya itu tak akan terjadi karena kemauan politik kurang.

Dalam dua tahun terakhir, ada banyak perubahan mulai terjadi. Berbagai investigasi sudah dilakukan. Ia akhirnya menyinggung pula kolusi dan kepentingan bisnis para elit politik di Indonesia. Kami berkolaborasi dengan Tempo mengulas kasus mengenai kesepakatan-kesepakatan tanah di Papua. Belum lama ini, Katadata juga menerbitkan seri investigasi tentang penambangan batubara ilegal, penggelapan pajak, serta kongkalikong antara para pengusaha dan pejabat. Hal terakhir yang disinggung ini, terpotret mendalam melalui sebuah film dokumenter berjudul Sexy Killers yang ditonton 10 juta kali pada tiga hari peluncuran pertama di YouTube.

Berbagai organisasi masyarakat sipil mulai memetakan kepentingan pribadi dari para politisi terkemuka melalui penggunaan perusahaan bayangan untuk menutupi struktur perusahaan dan penggelapan pajak. Pada tahun politik ini, puluhan aktivis masyarakat adat di seluruh Indonesia juga ikut bertarung merebut kursi parlemen dan melawan politik uang. Topik terkait konsentrasi lahan pun mendapat perhatian besar ketika Joko Widodo (Jokowi) sebagai petahana, melemparkan kritik dalam debat capres kepada Prabowo Subianto mengenai luasan lahan perkebunan yang dimilikinya.

 

Wardian bin Junaidi, dipenjara selama beberapa bulan setelah tanahnya dirampas perusahaan sawit. Foto: The Gecko Project/ Mongabay

 

Setelah KPK menilai pertambangan berujung pencabutan ratusan konsesi tambang di Indonesia, kini perhatian beralih ke sawit. Meskipun upaya KPK kerap dihalang-halangi– celah Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi–, seperti ditunjukkan dalam analisis kami, namun KPK sebetulnya sedang mendorong suatu reformasi hukum yang kelak dapat mengatasi kesenjangan.

Uji coba terhadap pendekatan baru kini dilakukan terkait bukti dalam penuntutan. Dalam kasus Nur Alam, mantan Gubernur Sulawesi Tenggara, misal, bukti yang diajukan bukan saja berupa kerugian finansial, melainkan kerugian perusakan lingkungan. Terkait itu, hakim didesak mempertimbangkan kerugian negara dan aspek kerusakan lingkungan secara bersama-sama sebagai faktor penting dalam kasus-kasus korupsi.

Jurnalis dan organisasi masyarakat sipil juga membangun tekanan pada sistem keuangan global terkait dengan penyembunyian aset dan uang di negara-negara suaka pajak. Investigasi dalam Panama Papers, Troika Laundromat, dan lain-lain oleh banyak jurnalis di seluruh dunia, turut menyebarkan pemahaman tentang bagaimana aspek-aspek sistem keuangan transnasional tereksploitasi oleh tikus-tikus berdasi.

Kisah-kisah ini tersebar luas. Kini, kian desakan agar yurisdiksi kerahasiaan perusahaan (secrecy jurisdiction) yang selama ini telah memfasilitasi berbagai manipulasi di Indonesia-segera dibuka dan ditelusuri lebih lanjut secara serius.

Selama beberapa tahun terakhir, laju deforestasi di Indonesia memang melambat, terutama terkait konsesi perkebunan. Moratorium sawit menahan sementara izin-izin baru. Begitu pula tekanan konsumen terhadap industri sawit tampaknya ikut memberikan pengaruh bagi aktivitas oleh perusahaan-perusahaan perkebunan sawit.

Seberapa nyata upaya ini memberikan efek? Apakah ada momentum cukup tepat? Sayangnya, kalau diibaratkan sebagai luka, moratorium sawit bukanlah obat penyembuh, sekadar sebuah plester sementara. Minyak sawit kini diperdagangkan dengan harga murah dan hanya bernilai separuhnya dibandingkan 2011. Seandainya, kelak harga komoditas itu merangkak naik lagi, bukan tak mungkin pembabatan hutan akan terulang kembali selama situasi politik masih sama.

 

Mayoritas kepemilikan proyek perkebunan raksasa di Papua dimiliki oleh empat perusahaan yang terdaftar di Uni Emirat Arab. Di kawasan yang memiliki yurisdiksi kerahasiaan itulah para pemilik manfaat yang sebenarnya tengah menyembunyikan wajahnya.

 

Tanpa pembaharuan fundamental, World Resources Institute sebuah lembaga penelitian yang berbasis di Washington, Amerika Serikat- memprediksi, Indonesia akan gagal mencapai target iklim secara signifikan.

Mengenai situasi yang berlangsung saat ini, tampaknya penyelesaian berbagai konflik lahan, kerap kali berhadapan pada jalan buntu. Konflik-konflik baru mungkin masih akan bermunculan.

Temuan kami menunjukkan, untuk menciptakan perubahan positif, sebaiknya politisi daerah tak boleh mengambil keputusan sepihak mengingat tak ada transparansi maupun pengawasan, terutama soal keputusan-keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak dan memiliki implikasi besar pada lingkungan. Tindak tanduk para politisi harus terus diawasi agar terjadi keseimbangan kekuasaan (check and balances), baik itu oleh lembaga negara maupun masyarakat sendiri yang memiliki akses terhadap informasi. Dengan begitu, perkebunan-perkebunan sepatutnya tumbuh dan berkembang dengan mempertimbangkan sumber penghidupan masyarakat, iklim, dan kelangsungan keragaman hayati. Tentu saja, transparansi terhadap kepemilikan perusahaan dan kepentingan pribadi politisi, perlu selalu terawasi agar mereka yang mendapatkan manfaat dari suatu keputusan, mudah terungkap.

Kita juga perlu mendesak pemerintah di negara-negara lain untuk ikut ambil bagian dalam mengatasi kasus-kasus yang ditelusuri itu hingga tuntas sampai ke akarnya. Sangat perlu tindakan nyata dari negara-negara pengguna minyak sawit. Hal sama juga berlaku untuk negara-negara para pengacara dan bankir ikut terlibat dalam memberikan dukungan kerahasiaan maupun finansial.

Tanpa perubahan mendasar dalam sistem politik, mereka yang berada di luar itu masih dapat mempengaruhi kondisi, bagaimana para politisi beroperasi. Dengan begitu, peran aktif masyarakat terdampak untuk ikut menyaksikan, mengajukan pertanyaan, dan mendorong keterbukaan informasi, dapat menutup peluang tindak pidana korupsi.

Dalam waktu bersamaan, ini juga berpeluang mendorong tercipta reformasi kelembagaan. Masyarakat punya kesempatan terlibat dalam menyelidiki dan mengekspos bagaimana keputusan-keputusan diambil. Lembaga swadaya masyarakat dan jurnalis pun dapat bekerja sama menelusuri pergerakan aset, uang, dan komoditas yang mengalir keluar negeri. Dengan begitu, kita dapat menemukan siapa yang sesungguhnya diuntungkan dari perdagangan komoditas yang dimulai dengan cara-cara korup.

“Indonesia Dijual” memang telah berakhir. Namun, The Gecko Project, Earthsight, dan Mongabay masih akan investigasi lain dan menyajikan kisah-kisah menarik dari Indonesia dan memperluas penelusuran mendalam hingga ke hutan Amazon di Brasil. Tim kami akan terjun langsung ke lapangan dalam beberapa bulan ke depan untuk kembali mengabarkan situasi-situasi terbaru kepada Anda.

 

 

***

The Gecko Project, didirikan oleh Earthsight tahun 2017, kini bertransformasi sebagai sebuah organisasi independen yang didedikasikan untuk menyajikan laporan-laporan investigatif terkait dengan ketersinggungan isu korupsi, hak atas tanah, dan lingkungan.

 

Keterangan foto utama: Ilustrasi oleh Corey Brickley

 

Potret hutan di Boven Digoel tahun 2018 lalu. Foto: Ulet Ifansasti untuk Greenpeace. Foto: The Gecko Project/ Mongabay

 

 

Exit mobile version