Mongabay.co.id

Industri Batubara Rawan Korupsi? Ini Kajiannya

Lubang bekas tambang batubara di Sawahlunto di Sumatera barat. Foto Walhi Sumbar.

 

 

Pemerintah tampak berat lepas dari batubara. Salah satu terlihat dari sekitar 54% pernyediaan listrik dalam rencana umum penyediaan tenaga listrik (RUPTL) sampai 2027, masih bergantung batubara. Energi terbarukan hanya 22%. Padahal, batubara dan pembangkit batubara tak hanya berdampak buruk pada masyarakat di sekitar rantai industri batubara juga pendapatan negara. Bahkan, Kajian Transparency International Indonesia menemukan, industri batubara rawan korupsi.

Dalam kajian TII pada 2017 menyebutkan, setidaknya ada 35 risiko korupsi dalam penentuan wilayah usaha pertambangan, lelang wilayah izin usaha pertambangan (WIUP), dan pemberian izin eksplorasi atau operasi.

Selang dua tahun, TII kembali mendalami risiko korupsi dalam pemberian izin pertambangan. Hasilnya, masih menemukan risiko-risiko korupsi terutama dalam keterbukaan data dan informasi kadaster (informasi pertanahan) terkait pertambangan dan pemegang izin usaha, penentuan wilayah tambang, lelang dan kepatuhan IUP, dan tolak ukur kualitas dan kuantitas keterlibatan masyarakat dalam pemberian izin.

Apa aksi pemerintah mengatasi risiko-risiko korupsi ini? “Ada deregulasi perizinan di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral jadi tiga substansi utama terkait pertambangan dan minerba,” kata Ermy Ardhyanti, peneliti TII April lalu.

Deregulasi, prinsipnya hanya merangkum keseluruhan aturan dari peraturan menteri sebelumnya dengan beberapa perubahan antara lain tentang harga kompensasi data informasi untuk optimasi pendapatan negara dan beberapa izin dicabut. Juga mencabut beberapa ketentuan seperti izin prinsip pengolahan dan pemurnian, rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) IUP jasa pertambangan, persetujuan studi kelayakan untuk IUP operasi produksi khusus pengolahan dan atau pemurnian, sertifikasi alat hingga persetujuan laporan eksplorasi.

“Integrasi perizinan dalam RKAB perusahaan belum memberi peluang keterbukaan pada publik. Yang sebelumnya tertutup masih tetap tertutup,” kata Ermy.

Mengenai keterbukaan data kadaster, katanya, dijawab dengan inisiatif portal ESDM One Map– dulu MOMI- dan kebijakan satu peta. Namun, katanya, situs ESDM One Map masih perlu perbaikan akurasi dan pengembangan data.

Sedangkan kebijakan satu peta masih belum bisa terakses publik karena hambatan regulasi. Keppres Nomor 20/2018 tentang kewenangan akses untuk berbagi data dan informasi geospasial melalui Jaringan Informasi Geospasial Nasional (JIGN) dalam percepatan kebijakan satu peta, hanya bisa teraksis beberapa orang. Yakni, presiden, wakil presiden, menko perekonomian, kepala Bappenas, kepala Badan Restorasi Gambut, menteri pimpinan lembaga, gubernur dan walikota.

“Kebijakan satu peta belum memberi akses pada masyarakat umum. Dalam JIGN juga belum ada peta wilayah adat dan peta pertambangan belum lengkap.”

KESDM juga meluncurkan Minerba One Data Indonesia (MODI). Pada portal itu juga belum lengkap informasi dan tak diperbarui.

Soal sertifikat clean and clear (CnC), KESDM belum pembaruan data yang dipublikasikan terkait perusahaan yang telah atau tak patuh.

 

Aksi warga Winong menuntut perusahaan dan pemerintah kabuoaten tanggung jawab atas limbah dan polusi PLTU di kampung mereka. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

***

Inisiatif mengenali beneficial owners (pemilik manfaat) diatur dalam Perpres No 13/2018. Ia mengatur mekanisme mengenali pemilik manfaat dari perusahaan hingga bisa jelas informasi penerima manfaat, terkini dan tersedia bagi umum.

Sejauh ini, katanya, mekanise untuk mengetahui, saat penyusunan RKAB dan pergantian direksi di KESDM, pendaftaran badan hukum di Dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU) dan melalui laporan Extractive Industry Tranparency Initiative (EITI).

Mekanisme ini, masih punya catatan kekurangan karena belum disusun atau belum transparansi secara sektoral, belum mengaitkan dan terintegrasi dengan lembaga lain dan belum ada perangkat due dilligence untuk verifikasi data tercantum.

TII juga menyoroti pemberian izin melalui mekanisme lelang. Meski sudah dimandatkan dalam UU No 4/2009 namun pelaksanaan baru pada 2018 di 16 wilayah pertambangan. Lelang tahap pertama yang ditawarkan kepada BUMN atau BUMD merupakan hasil penciutan lahan dari PT Vale untuk komoditas nikel. Dua Blok Matarape di Konawe Utara dan Blok Bahodopi Utara di Morowali, dimenangkan PT Antam.

“Terkait regulasi ada celah karena tak ada mekanisme partisipasi dan keterbukaan pada publik dan masyarakat lokal, serta penanganan komplain atau sanggah,” kata Ermy.

Dalam pelaksanaan, ada keberatan dari Pemda Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, terhadap lelang prioritas yang akhirnya dimenangkan Antam. Kasus ini dilaporkan ke Ombudsman RI karena muncul beberapa masalah soal status wilayah pertambangan, administrasi lelang, keadilan dan transparansi hingga dianggap proses lelang prematur dan perlu pengkajian bersama DPR dan multi pihak.

 

Enam rumah warga hancur akibat longsor dampak operasi tambang batubara di Sanga-sanga. Foto: dokumen Jatam Kaltim-Istimewa

 

 

Minim partisipasi publik

Masalah partisipasi masyarakat minim juga disoroti karena belum ada perbaikan lebih lanjut dari penelitian TII 2017. “Hambatannya, ada pada regulasi, pada dua hal tentang data kadaster dan proses lelang.”

Pada proses lelang klausul pemberitahuan pada masyarakat dihilangkan dan penyusunan kebijakan satu peta tak diatur pemetaan yang melibatkan masyarakat adat.

Sisi lain partisipasi masyarakat yang lemah, katanya, ditopang pemerintah yang tak mengatur bagaimana mekanisme keterlibatan sejak proyek didesain hingga penerima manfaat.

“Dalam UU Minerba ada, dalam deregulasi KESDM semua tentang partispasi publik dan sosialisasi dihapus.”

Ermy mencontohkan, penolakan tambang di Pulau Wawonii di Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara, sejak 2007 hingga ditutup sementara pada 2019 menunjukkan posisi masyarakat dalam memperjuangkan hak kuat di tengah ketiadaan mekanisme.

Keberdayaan masyarakat dan memegang kuat prinsip adat jadi faktor penentu posisi tawar mereka kuat.

Tata kelola di daerah juga mempengaruhi potensi korupsi di sektor tambang. Di Sumatera Selatan, dengan komoditas batubara, pemerintah daerah punya inisiatif buat tranparansi data dan penutupan izin bermasalah.

Sumsel, sudah punya website resmi Dinas ESDM yang menyajikan data perizinan, produksi dan web GIS. Ada juga Sumsel One Map di bawah koordinasi Bappeda. Hasil korsup KPK, Sumsel sudah menutup 238 IUP.

Namun, di Sulawesi Tenggara, sebagai lokasi lelang untuk nikel terjadi korupsi besar di sektor izin. Dinas ESDM tak punya website. Data perizinan ada di Dinas Penanaman Modal dan PTSP. Itupun hanya koordinat izin yang sudah dikeluarkan tanpa informasi dasar.

Di Sultra, baru 22 izin dinyatakan ditutup sementara. Ada yang sudah berkekuatan hukum tetap, namun hampir lima tahun belum eksekusi, yakni instruksi pencabutan IUP 13 perusahaan tambang di Konawe Utara, menyusul putusan hukum tetap dari Mahkamah Agung.

Dalam putusan MA memerintahkan, Pemkab Konawe Utara mengembalikan IUP milik Antam yang pernah dicabut, dan mencabut IUP perusahaan lain di lahan Antam.

Meski ada peran Ombudsman dan Komisi Informasi yang menjembatani masyarakat, pemerintah dan perusahaan, namun belum maksimal. Di sektor pertambangan, pengaduan yang diterima Ombudsman terbanyak dari pengusaha. Pengaduan di Sultra, belum bisa diproses komisi informasi daerah karena tak punya kantor dan dana. Dana dari APBD provinsi perlu proses politik untuk mendapatkannya.

“Ombudsman provinsi cukup menjadi contoh baik independensi dan imparsialitas pemerintah karena dana dari Ombudsman RI.”

TII meminta, pemerintah membuka data dan informasi kadaster dan proses perizinan. UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP), katanya, jelas menyatakan, surat perjanjian dengan pihak ketiga beserta dokumen pendukung adalah informasi terbuka. Izin tambang, merupakan dokumen yang tersedia setiap saat. Pada dasarnya, informasi terbuka.

KESDM, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Kementerian Hukum dan HAM dan Kementerian Keuangan diminta menyusun aturan pelaksanaan Perpres No 13/2018 tentang beneficial owners.

Mengenai proses lelang wilayah izin usaha pertambangan khusus DPR dan pemerintah diminta mengkaji kembali status penentuan wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) terutama terkait penciutan sebelum lelang.

“Pemerintah perlu mengkaji ulang pemenang lelang prioritas yaitu BUMN dan BUMD. Setidaknya, ada tolak ukur atau indikator akuntabel BUMN, BUMD supaya layak diprioritaskan sebagai pemenang,” katanya.

Selain itu, katanya, pemerintah perlu memperbaiki mekanisme lelang, seperti, mengumumkan kepada publik tentang pra lelang dan keputusan pemenang di media yang dapat diakses publik. Kalau perlu dibikin pengawas lelang multipihak terdiri dari pemerintah, pengusaha, masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat.

Terpenting lagi, pemerintah perlu memasukkan partisipasi masyarakat dan mengafirmasi kelompok rentan seperti perempuan, karena mereka paling terdampak dari kegiatan tambang, sejak penetapan wilayah, rencana lelang dan lain-lain.

Mekanisme tanggapan publik terhadap peserta lelang serta mekanisme komplain, katanya, harus ada terutama untuk masyarakat sekitar WIUP.

“DPR dan pemerintah harus menyusun aturan menjamin ketersediaan ruang hidup aman dan bebas dari kemungkinan bencana akibat tambang, pembagian manfaat finansial dan penggantian adil dan transparan kepada masyarakat lokal di luar skema dana bagi hasil.”

Laode Muhammad Syarif, Wakil Ketua KPK mengatakan, KPK selalu tertarik dengan isu tambang karena pendapatan negara besar dari sektor sumber daya alam. Sayangnya, kontribusi pendapatan negara dari sumber daya alam untuk APBN tak maksimal. “Bahkan sangat rendah,” kata Laode.

Kondisi ini, katanya, karena banyak penyelewengan pada sektor sumber daya alam. Sayangnya, tak semua wewenang menangani ini ada pada KPK. KPK mengusulkan, pemerintah daerah mencabut IUP habis masa waktu dan non CnC.

“Ada yang ikut, ada yang tidak. Bupati yang baik mengikuti anjuran ini dilawan di PTUN dan kalah.”

Soal dana reklamasi, katanya, triliunan dana perusahaan belum bayar, KESDM belum berhasil menagih. Data per Maret 2018, 53% pemegang konsesi tak menempatkan dana jaminan reklamasi.

Bicara mengenai isu korupsi, Laode sepakat sektor sumber daya alam itu paling korup.”Kita sudah kaya kalau sektor ini kita kelola dengan baik.”

KPK juga menghadapi masalah keterbukaan informasi dari berbagai lembaga pemerintah. Selain rekomendasi KPK yang tak seutuhnya diikuti, Laode juga menyoroti misal data HGU tak sepenuhnya terbuka untuk publik, pembuatan satu peta tanpa info lengkap.

“KPK minta tapi tak semua dikasih.”

Angggota Ombudsman Laode Ida membenarkan, Ombudsman menemukan maladminitrasi dalam lelang penciutan WIUPK Vale. Masalahnya, saat itu belum penetapan WUPK sebagai wadah WIUPK. Tak ada keterlibatan pemda dalam penetapan WIUPK dan terjadi penurunan status dari WIUPK operasi produksi jadi WIUPK eksplorasi.

Juga ditemukan, BUMD digugurkan dalam penawaran prioritas meskipun lelang hanya diikuti satu BUMD. “Ada kebijakan diskriminatif terhadap BUMD.”

 

Lokasi penimbunan batubara yang tak jauh dari pemukiman. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Dalam PP No 77/2014 Pasal 112 A, katanya, wilayah kontrak karya atau PKP2B yang tak mendapat persetujuan penyesuaian menteri dapat ditetapkan jadi WIUPK-OP atau diusulkan menjadi wilayah pencadangan negara (WPN). Pada 2015, KESDM menetapkan eks wialyah kontrak karya jadi WIUPK-OP namun penurunan status pada 2018 menjadi WIUPK eksplorasi.

“Dalam semua peraturan perundang-undangan tentang pertambangan tak ada aturan mengenai penurunan status,” kata Ida.

Aryanto Nugroho, Manajer Advokasi dan Jaringan Publish What You Pay (PWYP) Indonesia menekankan, pentingnya aturan turunan Perpres Beneficial Ownership. Merujuk pada Panama Papers yang mengungkapkan kekayaan tersembunyi pemimpin dan politisi dunia termasuk 1.038 wajib pajak Indonesia, menunjukkan, korporasi rentan untuk pencucian uang.

Data BPS dan Bank Indonesia 2014, sekitar Rp1.387 triliun uang beredar di sektor migas dan minerba. Ribuan pengusaha menikmati hasil dari mengeruk kekayaan pertambangan. Mengutip data Dirjen Pajak tahun sama hanya Rp96,9 triliun dapat ditarik pajaknya.

“Jadi tax ratio sektor ini hanya 9,4%.”

Ada 38 perusahaan minerba tak melapor. Anehnya, ada tiga perusahaan yang tak diketahui alamat dan wilayah pertambangan namun tercatat membayar PNBP yakni PT Andhika Raya Semesta Rp32,9 miliar, PT Putra Parahyangan Mandiri tercatat di Kalimantan Selatan bayar PNBP Rp75,4 miliar. Juga PT Central Mining Resources, tercatat di Kalimantan Timur membayar PNBP Rp86,6 miliar.

Survey EY’s 14th Global Fraud Survey 2016 juga mengungkapkan , 91% pemimpin bisnis menganggap penting mengetahui penerima manfaat akhir atas entitas yang berbisnis dengan mereka.

 

Keterangan foto utama: Lubang bekas tambang batubara di Sawahlunto di Sumatera barat. Foto Walhi Sumbar.

 

Pelabuhan Ikan Desa Menganti yang berdekatan dengan lokasi PLTU Cilacap. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version