Mongabay.co.id

Karena Krakatau Ingin Membentuk Tubuhnya Sendiri

 

 

Lelaki itu melangkah sigap di tanah hangus. Tapak sepatunya menjejak di sela material vulkanologi. Di hamparan yang seragam, dia berdiri menghadap kaldera, bekas letusan Gunung Anak Krakatau.

“Tinggi gunung ini telah berkurang,” kata Tukirin Partomihardjo [66], peneliti Krakatau yang merupakan pensiunan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia [LIPI], ketika mengunjungi Anak Krakatau belum lama ini.

Dia melihat sekeliling. Tiap-tiap sudut rinci diamati. Tangannya tak mau diam. Tukirin seperti merasakan kerinduan besar pada Krakatau yang kokoh di Selat Sunda itu. Sesekali diam tertegun melihat sesuatu yang dirasa berubah.

“Banyak sekali perubahan, pasca-letusan kemarin,” ujar dia singkat. Tukirin bilang Gunung Anak Krakatau kondisinya sudah jauh lebih rendah ketimbang tiga tahun lalu.

Baca: Tsunami Selat Sunda: Mitigasi dan Kesiapan Hadapi Bencana Harus Ada

 

Tukirin Partomihardjo, sosok luar biasa yang paham perkembangan Krakatau sejak 1981. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Tahun 2016, Tukirin memang melawat ke sana. Ketika itu Mongabay-Indonesia berkesempatan mengikutinya, menelisik Gunung Anak Krakatau.

Sebagai peneliti yang fokus pada suksesi atau perkembangan vegetasi, Tukirin mafhum kondisi Krakatau. Suksesi, menurut Tukirin, memberi banyak informasi penting. Terutama, bagaimana beragam jenis tumbuhan berkembang dan menghijaukan pulau itu.

Tukirin mencontohkan, ficus yang tumbuh di Anak Krakatau kehadirannya disebarkan oleh binatang. Ketapang [Terminalia catappa] yang berkembang di pantai dipastikan dibawa air laut, sementara ketapang yang tumbuh di bagian dalam pulau diterbangkan kelelawar.

“Pasca-letusan memberikan pengetahuan luar biasa bagi penelitian. Jadi, alam membuat percobaan awal bagaimana suksesi terbentuk,” terangnya.

 

Penampakan Gunung Anak Krakatau lebih dekat. Gunung api ini tengah membangun tubuhnya. Foto: Ridzki R. Sigit/Mongabay Indonesia

 

Setelah erupsi besar 26-27 Agustus 1883, suksesi di kawasan Krakatau berkembang hingga menciptakan ekosistem baru. Disamping itu, tubuh Gunung Krakatau juga kembali terbentuk. Sejak awal kemunculan dari permukaan laut, daratan di pulau itu bertambah luas dan meninggi. Ditandai muntahan material vulkanik di bawah permukaan laut di barat daya ”Kaldera 1883”, sebutan lubang Krakatau yang meletus itu.

Selang 135 tahun, tepatnya pada 22 Desember 2018, erupsi kembali terjadi. Mengakibatkan puncaknya hilang, terjadi longsoran juga seluas 64 hektar. Ketinggian Gunung Anak Krakatau yang semula 338 meter dari permukaan laut menjadi 110.

Baca: Fase Konstruksi, Gunung Anak Krakatau Berproses Membangun Tubuhnya

 

Erupsi Gunung Anak Krakatau pada 1992. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Badan Geologi serta Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika [BMKG] menduga longsoran dari erupsi Gunung Anak Krakatau menjadi pemicu tsunami. Karena itu, tsunami yang ditimbulkan terbilang unik lantaran tak didahului gempa bawah laut. Tsunami ini menewaskan hampir setengah juta jiwa.

Kepala Bidang Mitigasi Gunung Api Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi [PVMBG], Hendra Gunawan mengatakan, belum ada penelitian geologi di Gunung Api Anak Krakatau. Sejauh ini, riset PVMBG sebatas seismik dan deformasi.

Untuk memantau aktivitas Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda, hanya satu seismometer terpasang di Pulau Sertung. Direncanakan ditambah dua unit lagi di Anak Krakatau.

Hendra belum berani menyimpulkan ikhwal tsunami yang ditimbul pasca-erupsi. Kekurangan data penelitian adalah salah satu hambatan yang dihadapi. Di sisi lain, alat untuk memantau aktivitas vulkanologi berulangkali dicuri.

“Ketika erupsi Anak Krakatau, terjadi juga gempa tektonik. Selain itu, di Selat Sunda terdapat patahan yang secara periodesasi bergerak. Apalagi, latar belakang geologi di Krakatau begitu kompleks,” paparnya.

Baca: Tsunami Hantam Pantai Selat Sunda, Bagaimana Nasib Badak Jawa?

 

Pemandangan mengesankan di sekeliling Anak Krakatau. Foto: Ridzki R. Sigit/Mongabay Indonesia

 

Dikutip Tempo edisi 28 Desember 2018, bencana di Krakatau ternyata sudah diprediksi jauh hari. Melalui penelitian geofisika dan geodinamika yang dilakukan pertama kali di dasar Selat Sunda pada 1985. Para peneliti menyimpulkan bahwa Krakatau masih rapuh. Mereka bahkan menduga akan terjadi lebih besar dari tahun 1883.

Masih dikutip dari Tempo, bawah laut Selat Sunda merupakan kawasan penting. Bahkan, “Salah satu daerah yang khas di planet kita,” kata Profesor Jacques Dubois kepada Tempo kala itu. Dubois adalah geofisikawan dari Universitas Paris Selatan, Prancis, yang ikut penelitian. Mereka menggunakan kapal riset Jean Charcot yang khusus dibangun untuk penelitian Selat Sunda, sebuah penelitian gabungan ahli dari Prancis dan Indonesia.

Selama sepuluh hari pada Januari 1985, Jean Charcot meneliti geodinamika di Selat Sunda dan kawasan tenggara di tepian Palung Jawa. Menurut teori tektonik lempeng jagat, Lempeng Samudra Hindia menukik ke bawah Lempeng Eurasia. Ia juga memiliki beberapa ciri khas. Misalnya, lokasi perubahan arah penukikan dari frontal di selatan Pulau Jawa menjadi miring di barat Pulau Sumatera. Di situ juga terdapat Anak Krakatau, pulau vulkanis yang sangat aktif.

Baca juga: Tukirin “King of Krakatoa” Partomihardjo yang Membanggakan Indonesia

 

Biji tanaman yang ditemukan di sekitar pantai Krakatau. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Jelang siang, di tepi pantai Tukirin melanjutkan langkah. Dia bilang, tsunami lalu telah mengubah bentang alam di sepanjang pantai Pulau Rakata, Sertung, dan Panjang.

Krakatau merupakan gugusan pulau penuh makna, membentang kokoh di Selat Sunda. Ada Rakata, Sertung, Panjang, dan Anak Krakatau. Statusnya, cagar alam seluas 13.605 hektar.

Peristiwa alam ini cukup menarik, katanya, menandakan susksesi kembali bermula dari titik nol. Selama 40 tahun meneliti Krakatau, Tukirin berani membuat prediksi bila proses suksesi setidaknya waktu 30 tahun.

“Peristiwa ini sudah terjadi di tahun 1953. Ketika 1981, saya datang dan di sekitar Krakatau sudah ditutupi hutan muda,” katanya.

Namun, Tukirin menuturkan, hal itu tergantung aktivitas vulkanik Krakatau. Jika masih terjadi letusan, maka proses suksesi alam kemungkinan besar bisa lebih panjang.

Yang menarik, kata dia, suksesi di Krakatau bisa jadi lebih cepat sebab diuntungkan adanya danau hasil erupsi. “Pengamatan saya, di sana ada sumber air. Walaupun airnya asin dapat menjaga kelembaban daerah pantai serta kesempatan berkecambahnya biji yang dipencarkan laut, nantinya,” jelas Tukirin.

Letusan memberikan pengetahuan luar biasa untuk penelitian. Peristiwa ini jarang terjadi, alam melakukan percobaan terbentuknya alam itu sendiri.

 

Pagi nan indah di Krakatau. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Demi memperkaya pengetahuan, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam BBKSDA Bengkulu, melalui Kepala Seksi Konservasi Wilayah Lampung, Teguh Ismail, saat mendampingi Tukirin akan mendorong penelitian dan pengamatan lanjutan. Terutama pembentukan kehidupan baru.

“Sebelumnya, kami sudah pernah melakukan kajian untuk taman wisata alam. Tapi saat ini, tidak memungkinkan dilakukan rencana itu. Kami akan fokus penelitian, termasuk penyimpanan karbon dan plasma nutfah.

Tukirin berjalan lagi, semangatnya tak pernah redup karena faktor usia. Dia teguh, ingin merekam tiap-tiap fenomena Krakatau melalui karya ilmiahnya.

Dia berharap, jejak penelitian Krakatau diikuti para peneliti muda. “Krakatau ini ibarat miniatur, sumber informasi tentang bagaimana sukses alam terbentuk,” tandas lelaki bergelar “King of Krakataoa” di mata dunia.

 

 

Exit mobile version