Mongabay.co.id

Ini Kendala yang Dihadapi Nelayan NTT. Apa yang Harus  Dilakukan Pemerintah?

 

Jumlah produksi perikanan tangkap di provinsi Nusa Tenggara Timur selama tahun 2016 (Data BPS NTT) sebesar 173.296 ton. Kabupaten Alor menempati peringkat pertama dengan jumlah tangkapan sebanyak 37.998 ton disusul Flores Timur 22.626 ton dan Sikka 19.955 ton.

Perikanan budidaya di NTT untuk tahun 2016 sebesar 1.841.934 ton. Kabupaten Kupang memiliki produksi terbanyak sebesar 1.342.654 ton disusul Alor 161.364 ton dan Rote Ndao 128.607 ton.

Minimnya produksi ikan baik tangkap dan budidaya di NTT karena terkendala banyak hal yang dihadapi nelayan. Untuk itu pemerintah kabupaten dan provinsi NTT perlu melakukan berbagai langkah perbaikan agar hasil produksi bisa meningkat.

baca : Nelayan NTT Masih Miskin, Apa Penyebabnya?

 

Kapal penangkap ikan tradisional milik nelayan Wuring kelurahan Wolomarang kecamatan Alok Barat kabupaten Sikka. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Pice da Santo, kapten kapal Pole and Line (Huhate) di Larantuka kepada Mongabay Indonesia mengakui nelayan hanya mendapatkan bantuan kapal ikan.Sesudahnya nelayan harus menyicilnya setiap bulan kepada Dinas Perikanan kabupaten Flores Timur.

Sementara untuk menangkap ikan dan pengurusan berbagai izin, nelayan harus mengurusnya sendiri. Meskipun menghadapi kendala dan selalu mengeluarkan dana, nelayan tetap mematuhi sebab berbagai kelengkapan seperti Surat Persetujuan Berlayar (SPB) harus dikantongi.

“Selain masalah BBM dan rumpon, proses perizinan menjadi salah satu hambatan bagi nelayan dalam melaut. Para nelayan seakan dibiarkan berjuang sendiri mengatasi permasalahannya,” sebut Pice, Jumat (17/5/2019).

  

Beberapa Langkah Perbaikan

Dr. Ir. Angelinus Vincentius, M.Si, pakar kelautan dan perikanan dari Universitas Nusa Nipa (Unipa) Maumere kepada Mongabay Indonesia, Jumat (17/5/2019) menyebutkan, ada berbagai langkah mendesak yang harus diambil pemerintah.

Seperti perlunya tambahan bantuan kapal-kapal berukuran diatas 10 GT dari pemerintah pusat bagi nelayan NTT agar dapat mengakses perairan lebih dari 12 mil laut. Lakukan penyederhanaan perizinan kapal-kapal baik SIUP, SIPI dan SIKPI.

“Porsi perizinan yang menjadi kewenangan pusat dapat didelegasikan kepada provinsi. Kondisi wilayah di NTT yang tidak semua pantai tempat bongkar buat hasil perikanan memiliki syahbandar, maka perlu adanya penyederhanaan prosedur,” sarannya.

baca juga : Tumpang Tindih Perizinan Sulitkan Nelayan Kecil Melaut, Apa Solusinya?

 

Kapal Pole and Line (Huhate) milik nelayan desa Pemana kecamatan Alok Timur kabupaten Sikka yang berbobot 30 GT ke atas. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Pemerintah daerah kata rektor Unipa Maumere ini, perlu meningkatkan penyediaan sarana prasarana supply BBM bagi kapal-kapal, dan dukungan pasca panen seperti supply bahan pendingin atau pengawet ikan (es batu).

Kursus-kursus ketrampilan nelayan NTT perlu ditingkatkan, baik dalam hal pembuatan perahu/kapal, perawatan mesin dan ketrampilan menggunakan jenis-jenis alat tangkap ikan yang lebih produktif namun bersifat ramah lingkungan, maupun skill pasca panen.

Angelinus juga menyarankan perlu menjaga keseimbangan ekosistem perairan laut, yang ditopang oleh ekosistem mangrove, ekosistem padang lamun dan ekosistem terumbu karang, melalui perlindungan secara ketat daerah-daerah konservasi laut.

“Dengan demikian dapat memberikan ruang dan waktu pemulihan stok sumberdaya, mengingat adanya konektivitas ekologis antara ekosistem-ekosistem terkait. Baik sebagai spawning ground (tempat ikan memijahkan telur dan sperma), feeding ground (tempat ikan mencari makanan), maupun nursery ground (daerah asuhan anakan ikan/juvenil),” ungkapnya.

Bentuk aktifitasnya sebut Angelinus, bisa berupa pengawasan dan penegakan hukum, maupun penyadaran masyarakat, dengan melibatkan berbagai stakeholder. Peran pemerintah daerah maupun dukungan kelembagaan ditingkatkan untuk memperbaiki (mengawasi) tata niaga hasil perikanan.

Pengawasannya melibatkan produsen (nelayan), pedagang perantara sebagai pengumpul wholesaler (grosir), pedagang eceran dan konsumen (industri pengolahan dan konsumen akhir).

“Tujuannya untuk menjaga kualitas ikan, menghindari penurunan harga ikan, menjamin kelancaran jalur pemasaran (tepat waktu), dan menghindari ‘kebocoran’ karena salah urus,” ungkapnya.

perlu dibaca : Tangkapan Ikan Nelayan Flores Timur Terus Menurun, Apa Penyebabnya?

 

Kapal Pole and Line (Huhate) milik nelayan desa Pemana kecamatan Alok Timur kabupaten Sikka yang berbobot 30 GT ke atas. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Ruang Kedaulatan Menyempit

Dengan garis pantai kurang lebih 5.700 Km dan luas wilayah laut 200 ribu kilometer persegi, secara umum provinsi NTT memiliki potensi perikanan besar. Disamping itu, potensi-potensi lainnya yang mendukung sektor perikanan di NTT yakni hutan mangrove seluas 51.854.83 Ha (11 speesies), terumbu karang sebanyak 160 jenis dari 17 famili. .

Direktur WALHI NTT Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi mengatakan, persoalan nelayan di NTT salah satunya penerapan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K). Dalam Perda No.04/2007 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, menutup ruang kedaulatan nelayan.

Peta pariwisata dan konservasi kata Umbu Wulang,menutup ruang aktivitas nelayan, sehingga nelayan harus menghabiskan biaya dan energi untuk mencari lokasi penangkapan baru yang jauh. Hal ini tidak menutup kemungkinan adanya kasus-kasus nelayan NTT ditangkap di perairan negara lain. Ini menjadi salah satu persoalan nelayan di NTT.

“Ruang lingkup Perda itu lebih menguntungkan atau membuka ruang bagi investasi modal ketimbang ruang publik atau wilayah kelola rakyat. Setiap pasalnya juga minim mengatur soal perlindungan nelayan,”tegasnya.

baca juga : Nelayan Kecil di Sikka Masih Urus Surat Laik Operasi. Kok Bisa?

 

Para perempuan buruh nelayan sedang menjual ikan hasil tangkapan di kapal purse seine atau lampara kepada pembeli di TPI Alok Maumere, kabupaten Sikka, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Persoalan lain yang terjadi pada nelayan NTT kata Umbu Wulang, adalah hilangnya ruang atau akses masyarakat nelayan untuk mencari ikan. Hal ini seiring dengan masifnya industri pariwisata yang berkembang kepada adanya praktek-praktek privatisasi pesisir pantai dan pulau-pulau kecil di NTT.

Disamping itu persoalan penghancuran terumbu karang menggunakan bom ikan, pencurian ikan, dan masalah sampah di NTT menambah deretan panjang tata kelola wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di NTT.

Cita-cita poros maritim yang dikumandangkan oleh pemerintahan Jokowi, belum terlihat di NTT, khususnya pada perlindungan nelayan tradisional. Pemerintah provinsi belum punya political will untuk melindungi nelayan tradisionaldi NTT dan ekositem kelautan

“Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di NTT belum terlindungi secara memadai.Politik pembangunan kita masih bias pengelolaan daratan,” sesalnya.

Tingkat keterancaman ekosistem dan ruaang hidup di pesisir ungkap Umbu Wulang, makin meningkat dan berpotensi menghilangkan wilayah kelola nelayan dengan hadirnya industri pariwisata dan tambak garam yang tidak ramah lingkungan dan wilayah kelola rakyat

Pemerintah daerah juga belum mampu memastikan keselamatan kerja para nelayan kita dan belum mampu menghentikan tindakan tindakan pengeboman ikan yang kerap terjadi di laut NTT.

 

Ikan hasil tangkapan nelayan kapal purse seine atau Lampara yang dijual pedagang di TPI Alok Maumere, Sikka, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Kebijakan Pro Nelayan

Menghadapi permasalahan nelayan, WALHI NTT meminta agar pemerintah dan DPRD di NTT harus meninjau ulang dan revisi Perda RZWP3K. Mencegah terjadinya privatisasi pesisir dan pulau-pulau kecil di NTT.

Pemerintah juga diminta untuk tidak mengeluarkan kebijakan yang mengabaikan masyarakat nelayan tradisional di NTT. Menghentikan pembangunan-pembangunan yang mengancam ekosistem pesisir dan laut. Serta membuka semua kawasan pesisir yang telah diprivatisasi sebagai kawasan publik dan kawasan konservasi

Pemerintah,  pinta Umbu Wulang, harus mendorong usaha usaha maritim yang berbasis kerakyatan dan melindungi keselamatan nelayan-nelayan tradisional berbasis teknologi dan pelatihan keselamatan kerja. Menghentikan dan menindak perusahan maupun usaha usaha lain yang membuang limbah dan sampah di laut.

“Kami meminta pemerintah mendorong perluasan mata pencarian warga berbasis kemaritiman yang ramah lingkungan  dan berkeadilan.Meminta masyarakat NTT untuk mengontrol dan mendorong pemerintah daerah dalam menciptakan kebijakan yang pro terhadap perlindungan ekosistem laut dan nelayan tradisional,” pungkasnya.

 

Exit mobile version