Mongabay.co.id

Mengenang Dedikasi Den Upa Rombelayuk untuk Perjuangan Masyarakat Adat

 

Kabar sedih itu datang dini hari, sekitar pukul 02.00, Minggu 2 Juni 2019. Sebuah pesan di grup whatsapp mengabarkan kepergian salah seorang perempuan pejuang masyarakat adat asal Toraja, Sulawesi Selatan, Den Upa Rombelayuk. Orang-orang yang dekat dengannya biasa memanggilnya Mamak Den atau Ibu Den.

Kepergian Den Upa memang sangat mengejutkan. Kabar yang menyebar cepat melalui grup WA dan Facebook ini sontak membuat aktivis dan pemerhati masyarakat adat dari seluruh pelosok Nusantara merasa sangat kehilangan.

Dedikasi Den Upa untuk perjuangan masyarakat adat memang tak diragukan lagi. Sebagian besar masa hidupnya, bersama suaminya Sombolinggi yang wafat 2012 lalu, ditujukan untuk perjuangan masyarakat adat. Perjuangan yang kini dilanjutkan kedua anaknya, yaitu Rukka Sombolinggi, kini menjabat sebagai Sekjen AMAN dan Romba’ Marannu Sombolinggi, Ketua PD AMAN Toraja.

“Saya kehilangan sebagai seorang yang sudah 21 tahun bersama Almarhumah dalam Gerakan Masyarakat Adat Nusantara. Sepak terjangnya selama ini dikenal sebagai sahabat yang baik, konsisten, penuh semangat dan selalu bersahaja. Bahkan hampir sebagian besar hidupnya dipergunakan untuk memperjuangkan hak-hak adat mulai dari kampung, nasional bahkan internasional,” ujar Mahir Takaka, aktivis masyarakat adat, yang pernah menjabat Sekretaris Pelaksana AMAN Sulawesi Selatan periode 2003-2007 dan Wakil Sekjen AMAN periode 2007-2012.

baca : Bertemu AMAN, Presiden Kuatkan Komitmen Termasuk Segerakan Satgas Masyarakat Adat

 

Den Upa Rombelayuk, salah satu tokoh pendiri Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) meninggal pada Minggu (2/6/2019) dini hari. Ia dikenal sebagai perempuan yang gigih memperjuangkan masyarakat adat sejak masa Orde Baru, di mana masyarakat adat banyak mendapat tekanan dari negara. Foto : Rukka Sombolinggi/ Mongabay Indonesia

 

Hal yang sama diakui Sardi Razak, Ketua AMAN Sulsel.

“Dalam perkembangan organisasi, beliau sangat telaten memberikan masukan arahan kepada pengurus, badan pengurus harian AMAN, beliau juga konsisten memperjuangkan mendorong kebijakan-kebijakan pada masyarakat adat,” katanya.

Dedikasi Den Upa terhadap masyarakat adat, khususnya AMAN, juga disampaikan Abdon Nababan, Sekjen AMAN Periode 2012 – 2017.

“Beliau merawat rasa memiliki AMAN di kalangan tetua,” katanya.

Menurut Abdon, peran Den Upa terhadap perjuangan masyarakat adat telah ada jauh sebelum lahirnya AMAN.

“Ibu Den bersama Pak Sombolinggi (suaminya) sudah terlibat dalam gerakan masyarakat adat jauh sebelum AMAN berdiri. Mereka berdua sejak berdirinya JaPHAMA tahun 1993 di Madandan berlanjut ikut menggagas dan menjadi fasilitator pada KMAN pertama tahun 1999,” tambahnya.

Setelah AMAN terbentuk Den Upa kemudian didaulat sebagai salah satu dari 3 Koordinator Dewan AMAN sebagai pimpinan kolektif tertinggi di AMAN. Abdon ketika itu menjabat sebagai Sekpel AMAN, yang menjalankan keputusan dan arahan ketiga koordinator tersebut.

“Peran Ibu Den sangat besar di masa awal AMAN yang ketika itu sangat sulit dan tidak punya apa-apa. Beliaulah yang menjaga semangat kami untuk tetap bekerja.”

Abdon juga mengakui kehebatan Den Upa berkomunikasi dalam berbagai situasi, mudah mencairkan suasana menjadi relaks setelah berdebat dengan tegangan yang tinggi. Selalu mengedepankan pendekatan personal dan kekeluargaan dalam menangani beragam persoalan organisasi yang pelik.

Di mata Abdon, Den Upa juga tidak pernah merasa lelah mengurusi masyarakat adat sampai masa tuanya. Perjalanan paling sulit pun selalu siap dihadapi tanpa ada rasa takut.

“Meski tak lagi dalam kepengurusan PB AMAN selama tahun-tahun terakhir tetapi Ibu Den terus menjaga konektivitas di antara para tetua AMAN layaknya Nokia, connecting people,” tambah Abdon.

baca juga : Kongres AMAN V: Menakar Pelaksanaan Nawacita Jokowi kepada Masyarakat Adat

 

Den Upa Rombelayuk (tengah) adalah salah satu aktivis perempuan di lingkar masyarakat adat yang sangat awal. Hal ini dianggap istimewa karena di era itu dunia aktivis didominasi oleh peran laki-laki. Foto : Rukka Sombolinggi/ Mongabay Indonesia

 

Sandra Moniaga, salah seorang penggiat masyarakat adat, yang kini menjabat sebagai komisoner KOMNAS HAM, turut merasa terpukul dengan kepergian Den Upa.

Menurutnya, Den Upa adalah salah satu aktivis perempuan di lingkar masyarakat adat yang sangat awal. Hal ini dianggap istimewa karena di era itu dunia aktivis didominasi oleh peran laki-laki.

“Ketika tahun 80-an, itu kan belum banyak aktivis perempuan, laki semua. Ternyata beliau itu sudah menjadi kepala desa di tahun 80-an. Jadi ketika kami mendorong atau memfasilitasi pertemuan para pembela masyarakat adat, yang paling berani adalah Ibu Den dan suaminya Pak Sombolinggi.”

Sandra mengakui keduanya sebagai pribadi yang tegas. Itu dibuktikan dengan kesiapannya menjadi tuan rumah pertemuan masyarakat adat, meski saat itu zaman Orde Baru yang sangat represif dan masa ketika perampasan tanah adat marak terjadi. Pembahasan tentang perjuangan masyarakat adat adalah hal yang sangat sensitif.

“Nah ibu Den dan Pak Sombolinggi almarhum sudah berjuang pada konteksnya, pada lokalitas mereka. Ketika dalam upaya merintis gerakan masyarakat adat, peran Den Upa sangat penting dan kental untuk mendorong kesetaraan, mendorong partisipasi para perempuan di masyarakat adat.”

Bagi Sandra, Den Upa adalah salah satu figur panutan, figur contoh dalam pada masa tersebut. Dalam tahap selanjutnya Den Upa kemudian menunjukkan satu kapasitas yang baik untuk memimpin pada tingkat nasional.

Momen yang berkesan bagi Sandra adalah ketika Den Upa tampil sebagai salah satu pembicara di sebuah konferensi pengelolaan sumber daya alam tahun 2001, bersama Presiden Abdurrahman Wahid.

“Ibu Den menjadi pembicara dan mampu duduk sejajar dengan Gus Dur. Jadi bagi saya ibu Den Upa adalah salah satu tokoh penting dalam gerakan masyarakat adat yang sejak awal sudah menempatkan perempuan setara. Karena dia memang memiliki kapasitas itu.”

Direktur Walhi Sulsel periode 2013-2018, Asmar Exwar, menilai Den Upa sebagai figur pejuang yang sesungguhnya, yang memiliki ketegasan dan kepedulian yang tinggi pada perjuangan masyarakat adat.

“Saya beberapa kali berada dalam satu forum dialog dengan beliau. Sangat terasa bagaimana beliau sangat tegas mengutarakan kondisi masyarakat yang terancam atau menjadi korban dari kebijakan yang tidak pro rakyat. Bagaimana keberpihakan beliau pada masyarakat adat dan juga lingkungan yang terus diperjuangkan secara konsisten harus menjadi teladan bagi generasi penerus,” katanya.

menarik dibaca : Inilah Nasib Si Belang, Kerbau Seharga Miliaran Rupiah Dalam Ritual Adat Toraja

 

Den Upa Rombelayuk (kanan) adalah salah satu aktivis perempuan di lingkar masyarakat adat yang sangat awal. Hal ini dianggap istimewa karena di era itu dunia aktivis didominasi oleh peran laki-laki. Foto : Rukka Sombolinggi/ Mongabay Indonesia

 

Kiprah di dunia aktivis

Den Upa lahir dan besar di sebuah desa komunitas desa di Tanah Toraja, Sulawesi Selatan, 74 tahun silam (19 April 1945). Sejak usia muda, dia telah tertarik pada kegiatan sosial, yang didukung oleh orang tuanya menjadi pemimpin dalam kelompok pemuda dan gereja.

Den Upa melanjutkan kegiatan ini bahkan setelah dia pergi ke universitas di Jawa Tengah. Dia dilatih untuk menjadi seorang guru, namun kekacauan terjadi setelah upaya kudeta dan penghapusan Partai Komunis di Jawa pada tahun 1966 memaksanya untuk kembali ke rumah.

“Di Toraja, Den Upa memperkenalkan kegiatan baru yang didominasi laki-laki, seperti agroforestri dan produksi tanaman pertanian, ke dalam organisasi perempuan yang dikenal untuk membantu perempuan mengembangkan keterampilan ekonomi dan sosial,” tulis penilai Ashoka.org, yang memberi Den Upa fellowship pada tahun 2004 lalu.

Dalam situs ini juga disebutkan bagaimana peran Den Upa dalam mendorong perempuan di desanya untuk aktif dalam diskusi publik.

“Den Upa merasa bahwa penemuan kembali mekanisme penyelesaian konflik tradisional yang dikenal sebagai Kombangan dapat membawa perempuan dapat terlibat dalam proses pengambilan keputusan.”

Den Upa kemudian melobi para tokoh masyarakat informal di keenam sub wilayah di desanya untuk mengadakan Kombangan Kuala, atau Kombangan besar, yang akan melibatkan perempuan. Ini adalah Kombangan pertama yang diadakan sejak pertengahan 70-an, dan yang pertama melibatkan perempuan.

Namun, penduduk desa yang laki-laki pada awalnya menolak keras untuk melibatkan perempuan dalam diskusi. Den Upa berpendapat untuk mengizinkan perempuan turut berpartisipasi dengan menunjuk pada kegiatan-kegiatan yang menghasilkan pendapatan dengan menunjukkan bahwa perempuan sekarang ini aktif di banyak daerah di luar lingkup rumah tangga dan oleh karenanya layak memberikan pendapat dalam kebijakan desa. Akhirnya, para lelaki desa tersebut menyetujui idenya.

Dalam perjalanan hidupnya, Den Upa pernah menjabat sebagai Kepala Desa Nanggala (1992). Ia berperan merintis jalan dengan memperkenalkan sejumlah inovasi dan kesempatan yang tidak biasa untuk melibatkan perempuan dalam pembangunan ekonomi dan pengambilan keputusan dalam masyarakat adat. Selain kiprahnya di AMAN, ia juga pernah menjadi salah satu anggota Badan Perwalian Anggota (BPA) Lembaga Ekolabel Indonesia.

 

Den Upa Rombelayuk, salah satu tokoh pendiri Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) meninggal pada Minggu (2/6/2019) dini hari. Foto : AMAN/ Mongabay Indonesia

 

Den Upa tercatat turut membidani lahirnya organisasi masyarakat adat terbesar di Indonesia, AMAN, di tahun 1999. Ia pernah menjadi Koordinator Dewan AMAN 1999-2003 dan Anggota DAMANNAS 2003-2012. Saat ini hingga di akhir hayatnya menjabat sebagai Ketua Dewan Wilayah AMAN Sulsel.

Pada situs Ashoka.org menuliskan keberhasilan Den Upa dalam membangun jejaring masyarakat adat secara nasional.

“Den Upa juga telah membangun jaringan nasional masyarakat adat yang dinamis di seluruh Indonesia. Anggota dari daerah lain secara teratur mengunjungi Den Upa di Toraja untuk mengamati aktivitasnya, dan belajar tentang bagaimana mengadaptasi Kombangan baru untuk komunitas mereka sendiri. Den Upa bekerja dengan kelompok-kelompok adat lain yang juga memiliki forum tradisional, meyakinkan mereka untuk memasukkan perempuan sebagai peserta yang setara.”

 

Exit mobile version