Mongabay.co.id

Walhi Desak Anies Cabut IMB di Pulau Reklamasi Jakarta

Bangunan di Pulau D, dan C, kala masih bergabung, sudah disegel sejak 2016. Penyegelan berlanjut 2018. Pada, 2019, IMB ratusan bangunan di Pulau D keluar. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Walhi mendesak Gubernur Jakarta, Anies Baswedan mencabut 932 izin mendirikan bangunan (IMB) di lahan reklamasi Pantai Utara Jakarta. Organisasi lingkungan hidup ini beranggapan, penerbitan IMB bertentangan dengan komitmen Pemerintah Jakarta, untuk menghentikan reklamasi.

Pemerintah Jakarta, telah menerbitkan IMB bagi 932 bangunan, terdiri 409 rumah tinggal, 212 rumah kantor, dan 311 bangunan lain di Pulau D.

 

Baca juga: Komitmen Gubernur Setop Reklamasi Jakarta Dipertanyakan

Tubagus Soleh Ahmadi, Direktur Eksekutif Walhi Jakarta, mendesak pencabutan ratusan IMB di Pulau D itu. Walhi juga mendesak Pemerintah Jakarta menghentikan reklamasi berikut pembangunan di atas pulau yang sudah ada.

“Untuk pulau eksisting, aktivitas juga harus dihentikan. Dibuat kajian untuk membongkarnya,” katanya.

Baca juga : Gubernur DKI Jakarta Langgar Aturan di Teluk Jakarta?

Reklamasi teluk Jakarta, katanya, merupakan proyek ambisius yang merusak lingkungan, dan merugikan masyarakat sekitar.

“Gubernur Jakarta saat ini tak ada bedanya dengan sebelumnya yang memaksakan reklamasi berjalan. Statemen gubernur beberapa waktu lalu seolah menunjukkan bahwa reklamasi dengan pembangunan di atasnya dua hal berbeda. Padahal reklamasi dan pembangunan di atasnya itu tak bisa dipisahkan,” katanya di Jakarta, Senin (17/6/19)

Tubagus bilang, reklamasi, sejatinya bukan program pemerintah. Ia inisiatif bisnis yang difasilitasi pemerintah.“Seolah-olah ini agenda pemerintah. Padahal berangkat dari agenda bisnis yang merusak pantai utara Jakarta. Reklamasi hadir di tengah situasi pantai utara Jakarta sedang dan terus memburuk.”

Tubagus menyebut, sejarah dan fase kebijakan reklamasi hingga IMB keluar cenderung dipaksakan. Sejak terbit Kepres 52/1995, terlihat muatan ekonomi lebih dominan dalam proyek itu.

Soal lingkungan baru disebut setelah banyak protes muncul. Reklamasi, katanya, dianggap solusi merevitalisasi teluk Jakarta. Padahal, dampak yang timbul justru merugikan masyarakat.

Dalam analisis dampak lingkungan (andal) Badan Pelaksana Reklamasi September 2000, latar belakang menyebutkan rencana reklamasi untuk menjawab dan membuka investasi.

 

Bangunan sudah berdiri di pulau reklamasi Jakarta. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia

 

Cabut pergub

Gubernur Jakarta, katanya, menerbitkan IMB di Pulau D dengan dasar tak jelas.  Penerbitan IMB berangkat dari argumentasi kebijakan yang dipaksakan.

“Pertanyaan utama, apakah Gubernur DKI dapat tak memberikan IMB? Tentu sangat bisa. Gubernur bisa saja tak memberikan IMB, namun lebih memilih diterbitkan dengan alasan keterlanjuran.”

Tubagus bilang, penerbitan IMB ini dengan menggunakan dasar kebijakan Pergub 206/2016 soal panduan rancang kota Pulau C, Pulau D dan Pulau E hasil reklamasi kawasan strategis Pantai Utara Jakarta. Aturan ini, katanya, juga dibuat untuk menutupi keterlanjuran-keterlanjuran.

Pergub 206/2016 mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 36/2005 tentang Peraturan Pelaksana UU 28/2002 tentang Bangunan Gedung.

Pergub itu, katanya, juga tidak tepat. Pesoalan dasar terletak pada reklamasi dibangun di atas ruang yang belum jelas peraturannya.

“Artinya, Pergub 206/2016 keluar untuk memfasilitasi pendirian bangunan di atas lahan reklamasi.”

Dia bilang, Pasal 18 ayat (3) PP 36/2005 dikatakan, dalam memberikan persetujuan mendirikan bangunan gedung, bupati, walikota, atau gubernur Jakarta, harus meminta pertimbangan dari tim ahli bangunan gedung.

“Apakah sebelum diterbitkannya IMB, Gubernur Jakarta telah meminta pertimbangan dari tim ahli atau belum?”

Pada 2018, Anies menyegel bangunan di atas lahan itu. Tak lama, penyegelan dicabut dengan alasan pengembang sudah memenuhi kewajiban.

“Gubernur seharusnya dapat membatalkan atau mencabut pergub (Pergub 206/2016-red), bukan hanya menarik draf Raperda Kawasan Strategis Pantura Jakarta, padahal kedua peraturan ini saling berhubungan?”

Baca juga : Berikut Putusan Pemerintah Soal Pulau-pulau Reklamasi Teluk Jakarta

Pergub 206/2016 ditetapkan pada 25 Oktober 2016. Aktivitas pembangunan dan bangunan ada sebelum peraturan muncul. Tubagus menganggap, itu sudah menyalahi aturan.

“Gubernur Jakarta memberikan IMB dengan alasan ketaatan dan good governance itu mengada-ada. Mereka sendiri yang sedang mencontohkan dan memperlihatkan perilaku tata kelola buruk.”

Kalau kesalahan dan keterlanjuran terus berjalan, katanya, sesungguhnya Gubernur Jakarta sedang membawa lingkungan Jakarta ke arah makin tak jelas.

 

Gambar desain pulau buatan reklamasi dan tanggul raksasa di Teluk Jakarta. Foto : dutchwatersector com

 

Sejak awal Walhi menolak proyek reklamasi Teluk Jakarta. Wahyu Perdana, Pengkampanye Ekosistem Esensial Walhi Nasional mengatakan, menolak reklamasi Teluk Jakarta termasuklah penerbitan IMB di pulau buatan itu. Penerbitan IMB, katanya, sama sekali tak mempertimbangkan lingkungan hidup. Padahal, katanya, bicara lingkungan hidup, juga akan berdampak pada sosial dan ekonomi masyarakat.

Reklamasi teluk Jakarta, katanya, justru meningkatkan kekeruhan, berdampak pada semua alur ikan, dan menghambat pertumbuhan karang. Dalam konteks ekonomi, laporan Kementerian Kelautan dan Perikanan, dua tahun lalu menyebut, reklamasi membuat pendapatan nelayan di Teluk Jakarta, turun drastis.

Dalam konteks kebencanaan, penutupan jalan keluar 13 kanal (sungai) dari Jakarta itu meningkatkan risiko banjir. Menurut Wahyu, reklamasi hanya menunjukkan ketidakpedulian pemerintah. Dari rezim ke rezim tak ada perubahan, pendekatan sangat normatif dan prosedural.

“Padahal, kalau bicara hukum, jauh sebelum prosedural, harus memenuhi rasa keadilan di masyarakat.”

Senada Edo Rakhman, Koordinator Kampanye Walhi Nasional. Dia mengatakan, kebijakan Gubernur Jakarta menerbitkan IMB sebuah kesalahan besar .

“Gubernur Jakarta menyatakan mencabut 13 izin reklamasi. Pertanyaannya? Sisanya, itu dicabut atau tidak? Kita tahu kan di sana akan ada 17 pulau akan dibangun. Apakah kemudian izin reklamasi yang sudah jadi daratan itu sudah dicabut atau belum?”

Edo juga mempertanyakan status izin reklamasi. “Harusnya diumumkan dong bagaimana status izin reklamasi terhadap reklamasi yang belum jalan,” katanya.

Dia menilai aneh, kala gubernur berupaya menggiring opini dengan memisahkan antara reklamasi dengan IMB pulau reklamasi.

“Pernyataan yang tak masuk akal dengan memisahkan antara reklamasi dengan IMB. Amdal IMB ini mana? Amdal mana yang dipakai hingga IMB ini bisa keluar?”

Edo bilang, salah satu syarat IMB keluar itu kajian lingkungan. “Apakah dia menggunakna kajian lingkungan reklamasi? Yang kemudian, jika itu benar dianulir dan dicabut, ya seharusnya kan tidak boleh terbit IMB.”

 

Keterangan foto utama:    Bangunan di Pulau D, dan C, kala masih bergabung, sudah disegel sejak 2016. Penyegelan berlanjut 2018. Pada, 2019, IMB ratusan bangunan di Pulau D keluar. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version