Mongabay.co.id

Bagi Masyarakat Iban Sungai Utik, Hutan Adalah Ibu

 

 

Terik di luar. Cuaca yang cocok bagi penghuni rumah betang Sungai Utik menjemur pakaian, padi, dan juga kratom. Kratom adalah sejenis cemara tropis di keluarga kopi yang merupakan tanaman asli Asia Tenggara. Dikenal pula dengan nama Mitragyna speciosa. Belakangan, tanaman ini banyak peminat dari luar negeri karena khasiatnya sebagai tanaman herbal.

Rumah betang merupakan bangunan komunal milik masyarakat Dayak Iban di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Tepatnya, di Dusun Sungai Utik, Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh. Kabupaten paling puncak di Kalimantan Barat ini merupakan kabupaten konservasi. Letaknya 846 kilometer dari Pontianak, Ibu Kota Kalimantan Barat. Menuju Sungai Utik, masih harus menempuh jarak 75 kilometer ke arah Lanjak.

Dayak Iban, bagian dari suku Ibanik grup yang tersebar di Malaysia. Mereka datang ke Kapuas Hulu yang mayoritas subsuku Dayak Tamambaloh. Keduanya membuat perjanjian damai dan hidup rukun.

Rumah betang atau rumah panjai [rumah panjang], luasnya 216 meter, dengan 28 bilik atau pintu. Tiap pintu dihuni satu keluarga dan turunannya. Rumah ini dibangun 1970an. Sebelumnya, beberapa generasi telah menetap di beberapa tempat, hingga menemukan dusun yang juga disebut sebagai tanah harapan ini.

Baca: Nilai Sakral Itu Bersemayam di Ladang Orang Iban Sungai Utik

 

Apay Janggut, kepala rumah panjang Sungai Utik, yang menjunjung tinggi amanah leluhur yaitu menjaga hutan adalah menjaga kehidupan. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Berdasarkan data monografi Dusun Sungai Utik 2015, terdapat 89 kepala keluarga yang menempati 28 bilik di sepanjang rumah betang. Di sekitar rumah betang, terdapat 40 rumah yang semuanya berkerabat.

Di rumah betang, beberapa penghuni lanjut usia bercengkerama di ruai bagian dalam. Ruai adalah serambi, ada ruai dalam dan luar. Bentuknya memanjang dengan lebar satu meter, fungsinya mengawasi jemuran, tempat alat-alat berladang, dan bersantai.

Ruai dalam merupakan ruang komunal. Tempat perayaan adat, musyawarah, atau makan bersama. Kali ini, komunitas Sungai Utik, membicarakan kabar yang dibawa teman Rangkong Indonesia. Mereka mendapatkan penghargaan internasional, lantaran komitmen menjaga hutan sebagai sumber penghidupan.

“Orang luar kasi penghargaan kita. Pemerintah sini yang belum peduli,” tukas Bandi anak Ragai, tuai rumah panjai [kepala rumah panjang] Sungai Utik. Usia Bandi 80-an tahun. Tapi sebenarnya, ia tak tahu pasti tahun kelahirannya.

Bandi dikenal dengan sebutan Apay Janggut [Pak Janggut]. Ada juga Apay Kudi, Inai Cici [Ibu Cici] Inai Lidia, serta beberapa lelaki lebih muda. Mereka duduk mengelilingi teko dan cangkir-cangkir kopi kecil. Siang hari, listrik tak hidup di dusun ini. Baru menyala sekira pukul lima petang.

Baca: Hutan Adat itu Supermarketnya Orang Iban Sungai Utik

 

Di depan biliknya nomor 16, Apay Janggut menunjukkan sejumlah foto dan penghargaan yang diterimanya. Foto: Aseanty Pahlevi/Mongabay Indonesia

 

Komunitas ini mendapatkan Equator Award 2019, bersama 22 komunitas lokal dan adat seluruh dunia dari UNDP [United Nations Development Programme]. Penilaian berdasarkan solusi inovatif berbasis alam, untuk mengatasi tantangan perubahan iklim, lingkungan, dan kemiskinan. “Kami tak pernah pikir ini besar. Ini kami lakukan sesuai yang dianjurkan leluhur. Jaga hutan, artinya menjaga kehidupan,” kata Bandi.

Pemenang lainnya berasal dari Benin, Brasil, Kamerun, Ekuador, India, Kenya, Mikronesia, Nigeria, Pakistan, Peru, Tanzania, dan Vanuatu. Pemenang akan menerima US$10.000 dan kesempatan bagi dua perwakilan komunitas bergabung dalam pertemuan puncak, seminggu di New York, selama Sidang Umum PBB ke-74. Penyerahan penghargaan dilakukan 24 September 2019, di Midtown Manhattan. Pemenang akan bergabung dengan jaringan yang terdiri dari 223 komunitas dari 78 negara yang telah menerima penghargaan sejak 2002.

“Barangnya belum ada, jadi kita anggap biasa saja. Yang kami harapkan komitmen pemerintah, kami ingin ada Surat Keputusan Menteri untuk pengakuan Hutan Adat Sungai Utik. Pengajuannya sudah lama,” tambah Bandi. Selaku tuai rumah, Bandi menggantikan ayahnya yang wafat 1982. Bersama komunitasnya, mereka menjaga kawasan hutan perawan seluas 9.453,5 hektar dari ancaman korporasi.

Baca: Tik…tik…tik… Inilah Pesona Sungai Utik

 

Rumah betang atau rumah panjai [rumah panjang], ini luasnya 216 meter, dengan 28 bilik atau pintu. Foto: Aseanty Pahlevi/Mongabay Indonesia

 

Besar harapan mereka atas pengakuan negara terhadap hutan adat. Selain mengemban amanat SK MK No 35 Tahun 2012 yang menyatakan hutan adat bukan hutan negara, Hutan Adat Sungai Utik adalah yang pertama memperoleh sertifikat ekolabel dari Lembaga Ekolabel Indonesia pada 2012. Saat MS Kaban menjabat Menteri kehutanan, desa ini juga didapuk sebagai pelestari hutan adat.

Wilayah hutan adat dibagi beberapa zona. Ada permukiman, hutan lindung adat, hutan produksi, dan hutan cadangan. Masyarakat mengandalkan alam untuk hidup. Mereka berburu, menangkap ikan, dan mencari sayur.

“Hutan ini ibu kita. Kalau tidak dijaga bisa marah. Kalau marah banyak bencana. Pemanasan global,” cetus Bandi, diamini yang lain. Bandi cukup banyak menguasai terminologi lingkungan hidup. Tak heran, pasalnya dia banyak menerima penghargaan karena menjaga hutan. Di depan biliknya nomor 16, terdapat beberapa foto dan penghargaan.

 

Papan petunjuk Hutan Adat Iban Sungai Utik. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

**

Kisah Bandi dan komunitas Sungai Utik melawan korporasi, sudah ditulis banyak artikel. Filosofi leluhur mereka menjaga hutan merupakan hal luar biasa masa kini. “Bagi kami ini biasa, dan sudah kewajiban,” tambah Apai Kudi.

Kudi bilang, mereka punya kewajiban menjaga warisan leluhur, yakni alam. Jika alam digunakan tanpa batasan bencana sudah pasti melanda, cepat atau lambat. Bisa disebabkan alam itu sendiri, atau penyakit yang diderita warga. Indikator alam mereka terjaga adalah apa yang mereka butuhkan tersedia. “Musim kering, air tetap mengalir. Jernih. Musim hujan air tak pasang,” tambahnya.

Baca juga: Foto: Merasakan Geliat Iban di Rumah Panjang Sungai Utik

 

Pintu gerbang Dusun Sungai Utik, Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Foto: Aseanty Pahlevi/Mongabay Indonesia

 

Sungai Utik berada di hulu Sungai Embaloh. Sungai ini satu dari empat sungai anak Sungai Kapuas. Lokasinya di zona penyangga Taman Nasional Betung Kerihun. Status sebagai Kabupaten Konservasi diperoleh melalui SK Bupati No 144 Tahun 2003.

Utik berarti putih, atau jernih dalam Bahasa Dayak Iban. Airnya yang sebening kaca, menampakkan batu-batu alam di dasarnya. Air hijau zamrud menandakan sungai yang dalam.

Sejak lama, aturan adat di Dusun Sungai Utik mensyaratkan penebangan terbatas di zona pemanfaatan. Setiap kepala keluarga tidak boleh menebang pohon lebih dari 30 batang per tahun. Sebentuk denda ditentukan jika terdapat pelanggaran. Termasuk jika dilakukan desa tetangga.

Percakapan ditutup ketika matahari terbenam. Lampu-lampu menyala. Masing-masing bilik menyiapkan makan malam. Ada ikan asap, hasil berburu kemarin. Ada umbut atau bagian tanaman palma muda, ada sayur daun singkong, sambal terasi, sayur ikan pindang, dan ikan goreng.

 

Sungai Utik berarti putih, atau jernih dalam Bahasa Dayak Iban. Foto: Aseanty Pahlevi/Mongabay Indonesia

 

**

Lidia Sumbun [44] adalah warga di bilik 12. Dia ibu tunggal. Salah satu keahliannya adalah mengambil angin. Teknik kerokan warga dusun Sungai Utik, menggunakan sebuah koin zaman Belanda, dan putih telur rebus. Ritual ini diyakini bisa menyembuhkan masuk angin, pegal-pegal atau kecapekan. “Kalau koinnya hitam, anginnya keluar,” katanya.

Lidia sehari-hari berladang dan ikut mencari sayur di sekitar hutan. Juga, menanam timun, terung, serta sedikit lada. Dia punya pohon karet untuk mengidupi seorang anaknya. Anak sulungnya sudah menikah.

Saat saya berkunjung ke Sungai Utik pada 10 Juni 2019 lalu, warga Sungai Utik tengah berduka. Salah satu tetua perempuan di rumah betang meninggal dunia. Dalam aturan adat, jika ada kedukaan, warga tidak boleh bepergian jauh, menerima tamu, menenun, serta membunyi-bunyikan tetabuhan atau musik.

 

Sungai Utik airny bening. Air hijau zamrud menandakan sungai yang dalam. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Dia berkisah, dia harus menjalani ritual adat, karena membuka lahan tertentu di kawasan pemanfaatan. “Ada roh yang tidak bolehkan kita pakai tanah itu. Jadi kita bikin adat [izin] di sana. Dalam berladang, kami tak sembarang membuka lahan,” jelasnya. Lidia adalah satu contoh perempuan yang ikut berperan besar merawat alam. Ilmu mengenai tanaman diwariskan kepada anak-anaknya secara lisan.

Untuk pengelolaan lahan dilakukan komunal. Lidia turun pagi-pagi bersama perempuan lainnya. Kali ini, lokasinya tepat di belakang rumah panjang. Mereka menggunakan sistem bergilir untuk berladang. Namun, tetap menggunakan aturan adat. “Tidak boleh di dalam hutan. Ada tempat-tempatnya. Berladang juga sebagai cara melestarikan adat,” katanya.

Teknik gilir merupakan cara alami mengembalikan unsur hara tanah. Berdasarkan pengetahuan dari leluhur, Lidia menyatakan ada lebih 40 jenis padi lokal yang kerap mereka tanam. Padi tahunan jenis yang cocok dengan lingkungan setempat, tahan hama dan sesuai cita rasa warga.

 

Sungai Utik dengan pepohonan hijau mengapitnya begitu dijaga oleh masyarakat Dayak Iban. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Membuka lahan pun tak begitu saja. Lahan yang sudah dipakai digunakan kembali minimal tiga tahun setelah dibiarkan. Proses pembakaran lahan dilakukan untuk mengurangi keasaman tanah, abunya sebagai pupuk. Sistem pengairannya tadah hujan. Beberapa jenis padi pun harus ditanam sebagai keperluan ritual, sebut saja padi ketan, padi merah, padi hitam, dan padi sangking.

Hasil tani ini digunakan setahun penuh. Bahkan berlebih. Dalam melaksanakan kegiatan pertanian, masyarakat punya banyak tahapan dan aturan adat. Agustus adalah jadwal bakar lahan, yang didahului penebasan pada Juni dan penebangan masuk Juli.

 

Hutan adalah ibu, bagi masyarakat Dayak Iban. Wasiat leluhur yang harus dijunjung tinggi. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Sebelum membakar, warga membuat sekat api, selokan kecil dibasahi air. Tujuannya agar api tidak merembet kemana-mana. Api dinyalakan dari pinggir ke tengah. Tidak boleh mengikuti mata angin. Jika api membesar, warga mengantisipasi. Dari sisi sungai, warga akan menyemprotkan air dengan bambu. Ada juga yang bertugas menjaga lahan yang terbakar. Jika lalai, mereka mendapat hukuman adat.

Sebelumnya, mereka melakukan ritual doa. Di upacara, akan terjawab lahan mana yang dapat digunakan, kapan waktu yang tepat, arah mata angin, dan jenis tanaman padi.

 

Menjaga hutan adalah menjaga kehidupan. Hutan adat seluas 9.453,5 hektar selalu dijaga kelestariannya oleh Masyarakat Dayak Iban di Dusun Sungai Utik, Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat

 

Lidia menutup kisahnya, dengan memasang kelambu pada paku-paku di tiang kayu di sudut rumahnya. Cara alami menghindari nyamuk. Biasanya, mereka juga melakukan pengasapan. Jika musim penghujan, daun tertentu bisa digunakan untuk menghindari gigitan nyamuk. Daunnya diremas, dibalurkan ke bagian tubuh terbuka.

Mata Lidia sudah berat. Esok pagi, dia harus ke ladang, dengan kondisi prima. Tidak ada masalah besar yang harus dipikirkan, selama bisa menjaga keseimbangan dengan alam. Hidup setentram ini, hanya bisa dirasakan warga Sungai Utik.

 

 

Exit mobile version