Mongabay.co.id

Perusahaan-perusahaan di Jakarta Ini Pasang Listrik Surya Atap

Gedung perkantoran yang pasang listrik surya atap di Jakarta. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Guna mendukung target bauran energi terbarukan 23% pada 2025, belasan perusahaan di Jakarta memasang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atau listrik surya atap. Mereka antara lain, Bika Living, PT Bukit Jaya Semesta, Ciputra World II Jakarta, Dermaster, Grand Hyatt, PT Himawan Putra, Indonesia Utama Mineral, PT Mandala Multinvest Capital, PT Mega Manunggal Property Tbk, PT Monde Mahkota Biskuit, PT Mulia Bosco Sejahtera, Plaza Indonesia Realty Tbk, Tokopedia dan Wisma 77.

Nuraini Razak, VP of Corporate Communications Tokopedia di Jakarta, Kamis (20/6/19) mengatakan, sebagai perusahaan teknologi Indonesia ikut serta memasang solar panel di gedung kantor yang berada di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Mereka lakukan itu, sebagai tanggungjawab perusahaan menjaga lingkungan dari dampak perubahan iklim.

“Kami sangat senang ikut berpartisipasi sesuatu untuk lingkungan. Kami berharap dengan mendukung inisiatif ini, langkah maju mendorong perkembangan dan implementasi energi terbarukan di Indonesia, sekaligus mendukung upaya pemerintah. Kami sangat merasakan manfaat efisiensi energi,” katanya.

Baca juga: Menanti Aturan Listrik Surya Atap

Sugwanto Tanto, Direktur PT Ciputra Property Tbk mengatakan, sebagai pengembang yang menerapkan konsep bangunan hijau, mereka mendukung pemasangan PLTS atap yang keefisiensian sudah teruji dalam konservasi energi.

“Pemasangan solar panel di Tokopedia–Ciputra World II Jakarta berlangsung dengan baik dan tanpa gangguan dalam sistem operasional. Modul PLTS atap yang dipasang 13,4 kWp atau setara daya listrik bagi 342 rumah di Indonesia,” katanya.

Dia sudah cukup lama menerapkan ini di proyek properti yang dimiliki. Pertimbangan memasang surya atap maupun halaman parker gedung dengan mempertimbangkan keandalan dan efisiensi.

“Kita sudah berjalan setahun, selama ini tak ada masalah. Semua lancer. Berjalan baik. Kita juga menjajaki menerapkan hal serupa di beberapa mal kita. Harapan kita, developer lain juga bisa ikut berpartisipasi mendukung pemerintah untuk mengurangi emisi karbon ke udara,” katanya.

Belasan perusahaan yang memasang PLTS atap di gedung perkantoran itu, difasilitasi oleh Xurya. Ia sebuah perusahaan startup lokal yang berdiri 2018 dan bergerak di bidang pemanfaatan energi surya. Perusahaan ini fokus pada pengadaan, operasional serta pemeliharaan instalasi sistem PLTS atap di Indonesia.

Baca juga: Dorong Pengembangan Listrik Surya Atap, Berikut Masukan kepada Pemerintah

Eka Himawan, Founder Xurya mengatakan, energi surya memiliki potensi paling besar dibandingkan energi terbarukan lain. Tepatnya, lebih dari 200.000 MW4 dan kapasitas terpasang per tahun 2018 baru 90 MWp5.

“Akan mubazir kalau kita tidak maksimal memanfaatkan energi yang berpotensi ini. Agar energi surya dapat dimanfaatkan maksimal, kami memperkenalkan Xurya Lease, skema di mana calon pengguna sistem PLTS atap mendapatkan opsi untuk dibebaskan dari kewajiban pembayaran upfront cost yang biasa menjadi momok,” kata Eka.

Dia mengajak, para pelaku industri dan komersial lain mulai pakai PLTS atap. Kalau dihitung dan dioperasikan dengan seksama, penghematan bagi bisnis dan industri bisa sampai 30%.

Andhika Prastwa, Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) sekaligus penggagas Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap (GNSSA) mengatakan, perlu galakkan pemasangan PLTS atap. Indonesia, katanya, memiliki sumber daya surya melimpah tetapi belum termanfaatkan maksimal.

“Indonesia khawatir krisis energi 30 tahun ke depan.”

 

Pasokan fosil menipis

Energi Outlook Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, katanya, menunjukkan, Indonesia menjadi net importir minyak bumi sejak 2004, terancam jadi net importir gas bumi di 2028. Lalu, net importir energi pada 2032 dan net importir batubara pada 2038. Ancaman ini, katanya, dapat jadi kenyataan apabila cadangan energi fosil terus tereksploitasi dan tak ada eksplorasi energi terbarukan yang jadi andalan.

Penggunaan sistem PLTS atap di kalangan dunia usaha berpotensi menurunkan emisi gas buang CO2. Menurut data inventory emisi gas rumah kaca sektor energi yang dirilis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral ESDM pada 2016, emisi sektor industri dan komersial 36%.

“Salah satu bentuk eksplorasi energi alternatif guna menghindari krisis energi dan mengurangi CO2 adalah mendorong dan mempercepat pembangunan PLTS atap di perumahan, fasilitas umum, gedung perkantoran dan pemerintahan, bangunan komersial dan kompleks industri,” katanya.

Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada Sensus Ekonomi 2016, di Indonesia terdapat 26,7 juta usaha atau perusahaan bergerak di sektor non pertanian termasuk usaha mikro dan kecil (UMK) dan usaha menengah besar (UMB). Kalau semua memasang PLTS atap dengan kapasitas 5 MWp, akan menyumbang reduksi CO2 sebesar 5.000 ton per tahun.

“Kita mempunyai permasalahan lingkungan. Makin lama makin banyak polusi dan emisi gas rumah kaca akibat ketergantungan terhadap energi fosil. Dengan memanfaatkan energi surya ini, bisa membantu mereduksi gas rumah kaca.”

Selain itu, keuntungan ekonomi bisa didapat dengan menggunakan PLTS. Ketersediaan listrik juga jauh lebih terjamin sekaligus kurangi konsumsi listrik batubara. Untuk daerah yang belum masuk PLN tetapi masih menggantungkan sumber listrik pada genset, katanya, akan menghemat solar.

 

Panel surya atap. Foto: Luh De Suryani/ Mongabay Indonesia

 

Masih minim

Berdasarkan data Institute for Essential Service Reform (IESR) tahun 2018, pemakaian PLTS di Indonesia sangat minim. Kapasitas baru terpasang 90 Megawatt Peak (MWp). Padahal, kalau melihat potensi Indonesia, mencapai 560 Gigawatt peak (GWp). Pemerintah sendiri menargetkan 6,5 GWp pada 2025.

Capaian ini, jauh jika dibandingkan negara tetangga. Singapura, misal, capaian sudah 130 MWp dan Malaysia 375 MWp. Bahkan, dibandingkan Thailand, capaian sudah 2.700 MWp dari target 6 GWp pada 2030.

Kalau merujuk Peraturan Presiden Nomor 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), bangunan pemerintah wajib memasang panel surya minimal 30% dari total luas atap. Untuk bangunan rumah mewah, apartemen dan komplek perumahan wajib memasang panel surya minimal 25% dari luas atap. Hingga kini, capaian masih jauh dari target.

“Potensi energi surya di Indonesia rata-rata 1.350 kWh per kW PLTS pertahun, potensi di daratan Eropa hanya 900 kWh per kW PLTS per tahun. Potensi Indonesia jauh lebih besar dari Eropa, tetapi pemanfaatan di Indonesia jauh tertinggal bahkan oleh negara-negara tetangga,” kata Andhika.

Dia berharap, makin banyak pelaku usaha berkomitmen dan aksi nyata mengadopsi PLTS atap untuk masa depan Indonesia lebih baik.

Sejak menggagas GNSSA pada 2017 sampai kini, dia mencatat ada 600 rumah di Jabodetabek memasang PLTS atap. Angka ini, katanya, memang ada peningkatan dibandingkan awal gerakan, hanya 400 rumah. Namun, masih terbilang minim.

 

Gerakan satu juta panel surya atap. Gerakan ini sebenarnya mendapatkan respon positif dari masyarakat, sayangnya, belum ada regulasi mendukung dari pemerintah. Bahkan, ada aturan yang malah menyulitkan. Foto: dari buletin Kementerian ESDM

 

“Kita terus sosialsiasi hingga diharapkan makin banyak. Kita tak hanya menyasar residensial, juga gedung, mal dan perkantoran. Kami akan terus pameran, talkshow dan sosialisasi,” katanya.

Dia juga mendorong PLN membuka bisnis solar panel hingga lebih banyak lagi yang tertarik memasang solar panel di atap rumah.

“Mengapa kami mendorong ini? Harapan kami, akan banyak perusahaan solar panel tumbuh. Selain mendukung target energi terbarukan, juga akan menciptakan lapangan kerja dan bisnis baru. Akan ada perputaran ekonomi dari industri energi surya ini. Jika ini terjadi hargapun akan jadi relatif lebih murah.”

Dia juga berharap, pemerintah menyempurnakan peraturan agar lebih mendukung lagi program surya atap ini agar pengguna lebih masif.

“Supaya sektor industri lebih semarak berpartisipasi, biaya paralel harus ditinjau kembali. Sektor industri ketika memasang, harus bayar dulu. Itu harus ditinjau kembali. Besarannya disesuaikan.”

Untuk mendorong pengguna sektor rumah tangga, katanya, aturan mengenai nilai tukar energi juga bisa diubah. Selama ini, nilai tukar energi yang dihasilkan, hanya kembali 65%. Harapannya, bisa kembali ke rumah tangga 100%.

Kalau satu rumah memasang panel surya menghasilkan 1 KWH dan listrik disambungkan ke PLN, hanya dianggap menghasilkan 0,65 KWH. Hal ini, katanya, membuat nilai keekonomian turun, dan ketertarikan masyarakat mendukung program ini jadi kurang.

“Perlu ada penyederhanaan atau perbaikan cara perizinan. Untuk rumah tangga, misal, biarkan pasang dulu, baru lapor PLN, baru disertifikasi dan boleh dioperasikan. Lain dengan industri yang 500 KWH, memang harus suplai dulu desain ke PLN, dampaknya seperti apa, baru diizinkan dibangun.”

 

Keterangan foto utama:    Gedung perkantoran yang pasang listrik surya atap di Jakarta. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version