Mongabay.co.id

Mudahnya Ecoprint, Warna Warni Flora di Baju dan Buku

 

Gerakan ketelusuran produk dan fashion yang bertanggungjawab mendorong warga mengamati proses pembuatan pakaian yang dibeli. Bahkan sampai membuat sendiri. Mencoba ecoprint bisa jadi kegiatan mengisi liburan yang seru bersama keluarga.

Cinta Bumi Artisan adalah salah satu gerakan yang mengampanyekan fashion dengan cetak atau motif berbahan natural. Warga bisa mengekspresikan diri dengan membuat motif dan warna pilihannya di kain yang akan menghias tubuh atau dijahit jadi baju.

Workshop Ecoprint pada Jumat (14/6/2019) di Rumah Sanur, Denpasar terasa istimewa karena diperuntukkan bagi warga penyandang disabilitas atau difabel di Bali. Dipandu Novieta Tourisia, pendiri Cinta Bumi Artisan. Mereka menghasilkan karya dengan ciri khas masing-masing.

baca : Merawat Bumi dengan Pakaian Ramah Lingkungan

 

Pendiri Cinta Bumi Artisan, Novieta, membimbing peserta dari penyandang disabilitas saat praktik di Rumah Sanur, Denpasar. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Ecoprint yang dipraktikkan adalah cetak alami pada kertas kapas (cotton-rag) yang menggunakan sejumlah bagian tanaman sebagai warna dan motif. Disediakan kelopak mawar, pakis, bunga waru, mitir, jambu, daun jati, dan lainnya. Berikutnya membuat Awolo, sebuah kalung dari material sekitar kita yakni berbahan kulit kayu, karton bekas, sisa kain, dan benang kapas berpewarna alam.

Mengaplikasikan cetak alami terlihat mudah. Persiapannya menyiapkan aneka flora yang disukai dan bahan dasar untuk aplikasi cetak seperti kain atau kertas jika ingin buat buku.

Kain atau kertas direndam dalam susu kedelai sebentar, kemudian dikeringkan. Fungsinya untuk membuat aplikasi warna flora lebih dalam dan tahan lama. Contoh aplikasinya pada kertas, misalnya untuk membuat kartu ucapan, note book, dan diary.

baca juga : Mereka yang Setia Berkarya dengan Serat dan Warna Alami

 

Siapkan aneka flora yang ingin dicetak pada kain atau kertas. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Tata flora di permukaan sesuai keinginan dan kombiansi warna. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Kertas disemprotkan air sedikit agar lembab. Kemudian aneka flora ditata di atas permukaan kertas dengan gaya bebas. Misalnya kombinasi daun dan bunga, pilihan warna senada, atau warna warni. Ada daun yang berpola lebar, kelopak bunga kecil, atau daun ramping seperti pakis.

Permukaan kertas juga tak harus penuh, bahkan bisa satu atau dua jenis aplikasi flora saja. Setelah itu, kertas dengan flora di atasnya itu digulung dengan bantuan kayu bulat seperti tabung. Mirip roll penipis adonan kue. Disesuaikan dengan lebar permukaan kertas. Gulung dengan rapat, kemudian lilitkan tali sampai penuh, agar dedaunan dan bunga tak mudah terlepas.

Panaskan panci berisi air, kertas yang sudah digulung dikukus dalam panci selama sekitar 1-1,5 jam. Karena ini workshop, agar mudah dikenali, tiap gulungan diisi kertas bertuliskan nama pemiliknya.

menarik dibaca : Ayo, Kini Saatnya Berbatik Ramah Lingkungan…!

 

Gulung dengan bantuan rol kayu dengan rapat. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Ikat menyeluruh agar pola tak bergerak. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Selama menunggu pematangan ecoprint, Novieta mengajak membuat kalung Awolo. Cara pembuatannya bisa juga untuk gelang, pembatas buku, dompet, dan lainnya. Bahan utamanya adalah kulit kayu, bahan kerajinan dari zaman megalitikum, salah satunya dilestarikan di Lembah Bada. Awolo juga bisa dibuat dengan pola dan desain bebas, memadukan sisa kulit kayu, kain tenun, dan kardus atau kertas karton.

Wayan Abdi Arya, anak muda 21 tahun datang bersama bapak dan adiknya. Ia membuat motif ecoprint dengan percaya diri, juga kalung Awolo yang didesain dengan cukup rumit memadukan potongan kulit kayu, kain endek, dan lainnya berbentuk pola segi lima. Di salah satu sisinya, ia menuliskan huruf Y, dari inisial nama panggilannya. Ia menggunting, mengelem, dan menyimpul tali kalung dengan tangkas.

Setelah kalung selesai dibuat, waktunya mengangkat kukusan berisi aneka gulungan kertas ecoprint. Gulungan ini diangin-anginkan sebentar sebelum dibuka. Hasilnya adalah motif-motif flora yang aneka ragam. Daun yang tercetak dengan warna ungu tajam adalah daun jati. Padahal warna daunnya hijau. Kemudian bunga gumitir yang berwarna kuning atau oranye, dan kelopak mawar dari merah marun jadi kehijauan.

perlu dibaca : Batik Mangrove, Cara Baru Eksploitasi Hutan Bakau

 

Kukus dalam panci mendidih sekitar 1,5 jam. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Buka gulungan, dan sebelum dijemur, angin-anginkan sesaat. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

Novieta mengatakan kulit kayu tak mudah dicari. Jenis yang dipakainya adalah kulit kayu saeh atau daluang, tumbuhannya seperti rumpun bambu. Kemudian kulit kayu nunu yang pohonnya seperti beringin. Pengolahan kuit kayu dilakukan secara tradisional di Sulawesi Tengah. Di Bali, ia hanya menemukan satu orang yang mengolah untuk keperluan upacara agama. Sebagai bahan aksesoris, kulit kayu yang dipakai adalah sisa pengerjaan produk lain seperti tas dan dompet. Jadi tak ada yang terbuang.

Novieta adalah salah satu peserta Pakaroso, sebuah forum yang dibuat Institut Mosintuwu, Sulawesi Tengah. Mereka membuat sejumlah program pemberdayaan warga terutama hak ekonomi sebagai penguatan pasca konflik melalui perempuan dan anak.

baca juga : Batik Jambi Gambarkan Ragam Hayati dari Sentral Sumatera

 

Jenis kulit kayu yang digunakan pakaian secara tradisional di masa lalu. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Dalam website Mosintuwu, disebutkan kulit kayu disebut juga kain Fuya. Meski sudah tidak lagi menjadi pakaian sehari-hari, kain Fuya masih menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat Poso khususnya saat pelaksanaan upacara adat atau pernikahan. Fungsinya semakin tergeser oleh kain berbahan benang. Ini membuat generasi muda mulai melupakannya karena dianggap ketinggalan zaman meski teknologi untuk membuatnya sudah canggih dimasa ribuan tahun lalu. Ada benda penting untuk membuat kain ini, yaitu Ike -batu bergaris berbentuk segi empat berukuran sekitar 10 cm–, yang dijepit dengan rotan sehingga menjadi alat pemukul.

Untuk menghasilkan kain Fuya dibutuhkan kulit kayu yang tidak sembarangan. Hanya ada jenis pohon tertentu yang bisa diambil, yakni pohon Nunu dan pohon Ivo. Agus Tohama, salah seorang pegiat Fuya di lembah Bada menjelaskan, kulit kayu diambil dari batang pohon berukuran panjang sekitar 130 centimeter, lalu dikupas dan dikeluarkan seratnya, setelah itu direbus selama beberapa jam. Setelah direbus, kulit kayu kemudian di pukul-pukul menggunakan Ike. Total waktu untuk mengubah kulit kayu hingga menjadi kain sekitar 5 jam. Setelah berbentuk lebar, kulit kayu kemudian dijemur hingga kering. Adapun untuk pewarnaan menggunakan bahan-bahan alami seperti kulit kayu, bunga hingga dilumuri tanah.

Untuk mempertahankan Fuya dari kepunahan, beberapa upaya pelestarian dilakukan, salah satunya oleh Cinta Bumi Artisan.

 

Exit mobile version