Mongabay.co.id

Berada di Hutan Lindung, Kawasan Wisata Pantai Ratu Ditutup

 

 

Desa Tenilo, awalnya desa pesisir sepi. Lokasinya di Kecamatan Tilamuta, Kabupaten Boalemo, tepat menghadap Teluk Tomini. Dari Kota Gorontalo, sekitar 3 jam perjalanan. Memasuki pertengahan 2019, Tenilo tiba-tiba ramai. Ratusan hingga ribuan orang berkunjung ke pantai di pesisir desa: wisata baru bernama Pantai Ratu.

Akhir Juni 2019, Pantai Ratu kembali jadi pusat perhatian. Ini dikarenakan laporan Japesda, sebuah organisasi non-pemerintah di Gorontalo, menyatakan bahwa kawasan wisata tersebut berada di kawasan hutan lindung. Terlebih, ada penebangan pohon mangrove. Pantai Ratu, yang baru tumbuh itu kian ramai diperbincangkan.

Japesda melaporkan temuan mereka ke Gubernur Gorontalo serta Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Senin, 17 Juni 2019. Saatu poin dalam laporan itu menyebutkan, pengembangan Pantai Ratu di Desa Tenilo bertentangan dengan Peraturan Daerah [Perda] Nomor 7 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Ekosistem Mangrove.

Baca: Polemik Cagar Alam Tanjung Panjang: Tambak hingga TORA [Bagian 1]

 

Menjaga keseimbangan alam berarti menjaga seluruh kehidupan makhluk hidup di muka Bumi. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Satu hari sebelum laporan Japesda, Minggu [16 Juni 2019], Bupati Kabupaten Boalemo, Darwis Moridu, pada acara penanaman pohon bersama yang dihadiri Bupati Kabupaten Gorontalo di Pantai Ratu, membantah tudingan sejumlah pihak dengan menyebut tak ada satu pun pohon mangrove yang ditebang dalam pembangunan wisata Pantai Ratu. Bantahan tersebut ia pertegas kembali seusai laporan Japesda yang ramai diberitakan pada Rabu, 19 Juni 2019.

Jalipati Tuheteru, staf Japesda Bidang Riset dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan, yang melakukan investigas lapangan mengatakan, selain Bupati, sejumlah warga yang mereka temui juga mengatakan tak ada penebangan mangrove. Namun, kenyataan di lapangan terlihat banyak akar mangrove yang ditimbun dengan tanah dari gunung untuk dibuat akses jalan menuju wisata.

“Itu jelas mangrove yang berada di sekitar wisata sudah ditimbun. Jenis-jenisnya yang kami identifikasi antara lain Sonneratia sp, Avicennia sp, Rhizophora sp, Ceriops tagal, dan Bruguiera sp,” ungkap Jalipati.

Polemik wisata Pantai Ratu makin riuh. Di Tilamuta, Ibu Kota Kabupaten Boalemo, 21 Juni 2019, sebuah kelompok yang menamakan Aliansi Perjuangan Rakyat berunjuk rasa di depan kantor bupati dan kantor DPRD. Mereka menuntut aktivitas pembangunan wisata dihentikan hingga proses perizinannya benar-benar sah.

Massa juga menuntut agar DPRD setempat membentuk Panitia Khusus [Pansus] guna menyelidiki pembabatan hutang mangrove dalam kawasan lindung. Selain itu, para pendemo juga menuntut transparansi anggaran pembangunan wisata. Mereka menyebut sumber keuangan berasal dari Bumdes [Badan Usaha Milik Desa], dana pribadi bupati yang dipinjamkan, dan dana CSR [Corporate Social Responsibility] Bank Sulut-Gorontalo.

“Itu berarti Bupati ikut melegalkan pembabatan mangrove dan turut memfasilitasi penuh. Apalagi kami lihat ada bangunan villa pribadi bupati yang sebelumnya ditumbuhi mangrove,” kata Nanda Poha, koordinator aksi.

Baca: Polemik Cagar Alam Tanjung Panjang: Tambak hingga TORA [Bagian 2]

 

Mangrove tidak hanya mencegah abrasi tetapi juga memberi kehidupan untuk makhluk hidup, tak terkecuali manusia. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Inisiasi pembangunan wisata Pantai Ratu sudah dimulai 2016 melalui kesepakatan musyawarah desa yang menghadirkan tokoh masyarakat. Setelah itu, dana desa digunakan untuk pembukaan akses jalan mulai dari desa sampai lokasi wisata pantai sekitar 3,2 kilometer. Namun, pembangunan jalan ini sempat berkonflik dengan petani yang beranggapan lebih membutuhkan jalan untuk akses tani ketimbang pariwisata.

Untuk menunjang kepariwisataan, pada 2018 dibangun cottage yang berlanjut hingga 2019. Dalam dokumen laporan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Gorontalo dituliskan, dua unit cottage dikelola Bumdes [Badan Usaha Milik Desa] Tenilo bersama pihak ketiga bernama Elvis Nangi. Sementara satu unit cottage lagi milik Kasmat Huruji, Kepala Kecamatan Dulupi, yang berdekatan dengan Desa Tenilo.

Nasrudin, Kepala Bidang Pengkajian dan Penataan Lingkungan Hidup DLHK Provinsi Gorontalo mengatakan, lokasi wisata Pantai Ratu Boalemo serta bangunan sarana dan prasarana penunjang wisata tersebut berada di kawasan hutan lindung yaitu hutan mangrove. Sebagian arealnya masuk dalam PIPIB [Peta Indikatif Penundaan Izin Baru] Revisi XV.

Menurutnya, kegiatan wisata Pantai Ratu wajib dilengkapi dokumen amdal karena dalam kawasan hutan lindung. Ini sesuai Pasal 3 ayat [1] Permen LH Nomor 5 tahun 2015 tentang jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.

Baca: Forum Diskusi Mongabay: TORA dan Daftar Masalah Cagar Alam Tanjung Panjang

 

Mangrove dengan perakarannya yang melindungi area pesisir pantai. Foto: Ridzki R Sigit/Mongabay Indonesia

 

Sudah diperingatkan

Sebelum laporan Japesda ramai diberitakan, pengelolaan Pantai Ratu sudah dilaporkan otoritas lembaga berbagai pihak. Kamis, 13 Mei 2019, identifikasi lokasi Pantai Ratu dilakukan oleh Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum LHK Wilayah Sulawesi seksi Wilayah III Manado.

Hasil temuan menunjukkan, ada pembukaan jalan dari Desa Tenilo ke Pantai Ratu sebagai jalan masuk hutan lindung mangrove. Pembukaan itu menggunakan alat berat dengan lebar mencapai 5 meter. Juga, terjadi pembukaan lahan dengan cara diratakan untuk tempat parkir kenderaan di areal penggunaan lain (APL). Selain itu, terjadi reklamasi atau penimbunan kawasan pantai untuk kegiatan wisata seluas 1,4 hektar. Laporan Gakum LHK juga mencatat tiga bangunan cottage dengan nama pemilik Elvis Nangi.

Setelah itu, pada Jumat [24 Mei 2019], Kesatuan Pengelolaan Hutan [KPH] Wilayah IV Boalemo, melakukan identifikasi langsung ke lokasi Pantai Ratu. Hasilnya sama, telah terjadi pembukaan jalan dan pendirian bangunan di hutan lindung tanpa izin. Tiga hari kemudian, Kepala KPH Wilayah IV Boalemo, Irawati Adam, menyurati Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Gorontalo perihal tindak pidana kehutanan yang terjadi di Pantai Ratu. Surat juga ditembuskan ke Bupati dan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Boalemo.

Baca: Gorontalo Sebagai Provinsi Konservasi, Apa yang Harus Dibenahi?

 

Kawasan pesisir di Desa Tenilo yang diberi nama Pantai Ratu. Tempat ini jadi wisata baru namun berada di hutan lindung dan diduga telah terjadi penebangan mangrove. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Selain bertentangan dengan Perda Mangrove, berada di kawasan hutan lindung dan masuk Peta Indikatif Penundaan Izin Baru, kawasan Pantai Ratu juga bertentangan dengan aturan lain berdasarkan analisa Dinas Kelautan dan Perikanan [DKP] Provinsi Gorontalo.

Pada 20 Juni 2019, DKP Gorontalo melakukan rapat koordinasi dengan pihak-pihak terkait. Hasilnya, pengembangan Pantai Ratu bertentangan Perda Nomor 4 tahun 2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil [RZWP3K] di Provinsi Gorontalo. Dalam perda tersebut, kawasan Pantai Ratu masuk alokasi ruang untuk Kawasan Pemanfaatan Umum zona Perikanan Tangkap sub zona perikanan Demersal [KPU-PT-D].

“Sesuai perda, kegiatan yang boleh dilakukan setelah mendapatkan izin di kawasan pemanfaatan umum zona perikanan tangkap adalah pembangunan tambatan perahu untuk mendukung kegiatan perikanan tangkap,” kata Sutrisno, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan, Kamis, 20 Juni 2019.

Untuk mencari solusi polemik pengelolaan Pantai Ratu tersebut, pada 25 Juni 2019, dilakukan rapat koordinasi parapihak di level pemerintah provinsi dan kabupaten Boalemo, menghadirkan Japesda sebagai pelapor. Hasil rapat memutuskan, pengembangan Pantai Ratu harus dihentikan sementara waktu.

“Kami sudah memberikan surat ke pemerintah di Kabupaten Boalemo agar menghentikan pengembangan Pantai Ratu hingga semuanya sesuai perundang-undangan,” kata Bambang Trihandoko, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Gorontalo, saat itu.

Asisten I Sekretariat Daerah Kabupaten Boalemo, Burhan Hinta, mewakili pemerintah Boalemo hadir dalam rapat tersebut, bersama dinas terkait, pemerintah kecamatan, dan pemerintah desa. Pihaknya hanya berharap, ada jalan keluar penyelesaian.

“Sejak 24 Juni, kegiatan di Pantai Ratu sudah dihentikan. Tapi setiap Sabtu dan Minggu cottage penuh. Kami tidak bisa melarang orang-orang yang datang untuk melihat keindahan pantai,” ujar Burhan Hinta.

Baca: Mangrove di Gorontalo Ikut Menyusut, Begini Kondisinya

 

Kawasan wisata Pantai Ratu berada dalam kawasan hutan lindung dan masuk peta indikatif penundaan izin baru. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Mangrove kaya karbon

Direktur Japesda Gorontalo, Nur Ain Lapolo, menjelaskan, laporan mereka mengenai penebangan hutan mangrove di kawasan lindung tidak hanya berlaku di Pantai Ratu, melainkan juga seluruh pengrusakan mangrove yang dijadikan tambak, wisata, dan lainnya di kawasan hutan lindung [HL] dan hutan produksi [HP], di Kabupaten Gorontalo Utara, Pohuwato, dan Boalemo.

“Sebelumnya, pada Mei lalu, kami mengirim surat protes ke Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ibu Siti Nurbaya, tentang kondisi hutan mangrove di kawasan Cagar Alam Tanjung Panjang,” ungkap Nur Ain.

Baca juga: 7 Fakta Penting Mangrove yang Harus Anda Ketahui

 

Peta kawasan wisata Pantai Ratu. Sumber: DLHK Provinsi Gorontalo

 

Wetlands International Indonesia dalam Warta Konservasi Lahan Basah [April, 2016], menyebut bahwa eksploitasi sumber daya pesisir yang hanya mengejar keuntungan semata dengan tidak memperhatikan kelestarian dan keberlangsungan ekosistem pesisir, pada akhirnya terbukti gagal dan merugikan. Tidak hanya dampak ekonomi yang terganggu dan suhu lingkungan yang lebih panas, konversi juga menghilangkan peran, fungsi ekologi dan hidrologi pesisir [hutan mangrove].

Dalam laporannya, Wetlands International Indonesia, menjelaskan lebih 200 juta orang bergantung pada mangrove sebagai sumber makanan dan mata pencaharian. Selain melindungi erosi di pesisir dan bencana banjir, mangrove merupakan tempat hidup banyak spesies terancam punah. Mangrove adalah hutan paling kaya karbon di dunia. Satu hektar, dapat mengimbangi 726 ton emisi yang dihasilkan batubara.

Akan tetapi mangrove masih diremehkan perannya. Sekitar 67 persen mangrove yang dulunya ada, kini hilang atau mengalami degradasi. Ekosistem ini menghadapi risiko kepunahan keseluruhan.

 

 

Exit mobile version